Minggu, 19 Mei 2024
Home/ Berita/ Peran KH Ahmad Badawi dalam Pertarungan Ideologi di GKBI

Peran KH Ahmad Badawi dalam Pertarungan Ideologi di GKBI

Oleh: M. Abdul Amir

Sebelum diselengggarakan Rapat Anggota Gabungan Koperasi Batik Indonesia (GKBI) pada tanggal 1 Mei 1966, terjadi peristiwa monumental yang mungkin banyak orang tidak tahu. Yakni terjadinya pertarungan ideologi yang dibalut isu politik dan agama yang dihembuskan untuk menggembosi koperasi pengusaha batik, yang notabene mayoritas anggotanya adalah pengusaha muslim yang rutin mengeluarkan zakat untuk kegiatan sosial dan keberdayaan umat.

Di Indonesia, jika membincang perkara koperasi dan menyebutkan tokohnya pasti yang terlintas pertama kali adalah Mohammad Hatta, beliau diangkat sebagai Bapak Koperasi Indonesia saat Kongres Koperasi Indonesia di Bandung, Jawa Barat pada tanggal 17 Juli 1953. Meskipun demikian, kisah heroisme dalam urusan koperasi bukan hanya dilakukan oleh Bapak Proklamator itu saja, melainkan juga dilakukan oleh tokoh dari Muhammadiyah. Ia adalah K.H. Ahmad Badawi, Ketua Pimpinan Pusat Muhammaidyah periode 1962-1965.

Pada tahun 1960 an awal, atau di Masa Orde Lama Indonesia di bawah Ir. Soekarno, di mana pada masa itu Pemerintah Pusat menerapkan Nasakom (nasionalis, agamis, dan komunis) sebagai ideologi resmi yang dianut oleh negara. Di bawah demokrasi terpimpin yang dijalankan Bung Karno, ketiga ideologi tersebut disatukan dan didistribusikan keseluruh pelosok negeri sebagai ideologi resmi bagi semua warga bangsa Indonesia. Alih-alih digunakan sebagai alat untuk persatuan atau jalan tengah, namun arus bawah begitu deras dan kuat untuk ‘dijinakkan’.

Terjadi saling gunting dalam lipatan, Naskom yang merasa memiliki kedekatan dengan pemerintah, memiliki keinginan untuk merubah banyak hal, termasuk yang terkait dengan organisasi kemasyarakatan. Termasuk poros Nasakom ikut andil dalam penentuan kepengurusan GKBI. Melalui surat keputusan Mentri Transkop (Transmigrasi dan Koperasi) tahun 1965, Pengurus resmi GKBI hasil Rapat Anggota dibubarkan dan diganti pengurus yang berporos Nasakom.

Perlu diketahui, keberadaan GKBI waktu itu adalah sebagai wadah bagi pengusaha batik Indonesia. Keberadaan koperasi ini menjadi sendi kehidupan dan perekonomian warga yang tergabung di dalamnya, termasuk memberikan dampak ekonomi kepada yang lain melalui program kerja sosialnya. Sejak berdiri, GKBI menganut prinsip-prinsip koperasi pada umumnya, memiliki haluan non-politik dan non-religius. Meskipun demikian, banyak anggota GKBI yang berasal dari golongan muslim. Sehingga anggota-anggota ini menyalurkan zakat dan dana sesuai dengan ajaran dan pedoman Islam.

Model atau cara penyaluran dana dan zakat inilah yang kemudian menyulut rasa cemburu dan dipermasalahkan oleh kelompok poros Nasakom. Melalui kedekatan dengan penguasa, Nasakom kemudian mampu melakukan lobi politik kepada Mentri Transkop, Acmadi untuk mengeluarkan Surat Keputusan tentang penggantian pengurus GKBI resmi dengan pengurus baru yang ditunjuk oleh kelompok tersebut yang berporos Nasakom.

Mendapat laporan tersebut, K.H Ahmad Badawi yang pada waktu itu menjabat sebagai Ketua PP Muhammadiyah segera melakukan lobi ke beberapa mentri untuk meluruskan keberadaan GKBI. Dari lobi yang dilakukan tersebut, K.H Ahmad Badawi berhasil mendesak pemerintah untuk melakukan suatu pertemuan yang dihadiri perwakilan pengurus dari GKBI, H.A Djoenaid, Mentri Acmadi beserta stafnya, dirinya sendiri dan Presiden Soekarno.

Pertemuan yang terjadi pada hari Kamis tanggal 30 September 1965 pukul 12.00 siang ini, berhasil mendesak Presiden Soekarno untuk menyelesaikan permasalah yang terjadi di tubuh GKBI dalam waktu seminggu. Namun nahas, pada malam hari di hari yang sama terjadi tragedi besar Nasional, pemberontakan G.30.S/PKI. Tragedi tersebut memberikan pengaruh besar pada bangsa yang baru sekitar berusia 2 dekade ini, bahkan tragedi tersebut menggeser peta politik Nasional besar-besaran dan meninggalkan luka sampai hari ini.

Ketika terjadi huru-hara nasional, banyak pergerakan dan tokoh-tokoh pergerakan nasional harus melalui pengawasan dan pemeriksaan ketat oleh Biro Pusat Intelijen (BPI), termasuk pemeriksaan kepada pengurus GKBI. Meskipun demikian, K.H. Ahmad Badawi tidak bergeming dan tetap konsisten menemani pengurus GKBI untuk mendapatkan haknya. Bahkan, beliau rela menunggu diluar gedung, siang dan malam ketika pengurus diinterogasi oleh BPI. Perjuangan dan penantian tersebut tidak sia-sia, hinga pada tanggal 1 Mei 1966 GKBI kembali mendapat daulatnya dan berhasil melakukan Rapat Anggota untuk melakukan pemilihan Pengurus baru secara demokratis.

Sumber : PP Muhammadiyah, Riwayat Hidup K.H.A Badawi, Djakarta: 1971

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *