Oleh: M. Abdul Amir
Judul dari tulisan pendek ini terinspirasi dari judul salah satu bukunya Sapardi Djoko Damono, Melipat Jarak yang menghimpun beberapa pilihan puisinya. Akan tetapi Ahmad Dahlan melipat jarak antara manusia dengan Tuhan bukan melalui puisi, melainkan dakwah berkemajuan yang dijalankannya kepada umat yang masih diliputi kebekuan dan kekolotan.
Melipat jarak disini adalah memendekkan atau menghilangkan jarak antara ketertinggalan dengan modernitas dan menghapus jarak antara manusia dengan Tuhan. Di mana keadaan aqidah umat Islam di Nusantara akhir abad 19 sampai awal abad 20 masih memprihatinkan. Tuhan di masa itu dianggap sebagai entitas yang jauh ‘di sana’, salah satu cara untuk mendekat kepada Tuhan pada waktu itu adalah melalui tokoh agama yang memiliki otoritas untuk menerjemahkan kekarep (kehendak) Tuhan.
Sehingga manusia jika ingin ber-taqarub dengan Allah harus melalui perantara pihak-pihak otoritatif tersebut. Selain pengkultusan tokoh, kebiasaan yang sering terjadi pada umat Islam waktu itu adalah suburnya ajaran sinkretisme, ajaran ini di masa itu keberadaan masih sangat kental berasa dan menjadi mediet antara manusia dengan Tuhan dalam ritual/ibadah. Misalnya untuk meminta keberhasilan panen, para petani akan melakukan upacara nir-ilmiah yang mereka yakini bisa memperbaiki hasil panen dan menjauhkan penyakit tanaman.
Termasuk dalam meminta kesembuhan dari sakit, umat waktu itu akan mendatangi ‘orang pintar’ atau akan mengikat mahar dengan salah satu tempat atau pohon keramat yang ada dikampungnya, demi kesembuhan. Meskipun telah mengenal ramuan obat tradisional, mereka masih mengandalkan wasilah yang dikeramatkan untuk kesembuhan dari penyakit yang dideritanya. Padahal Allah lebih dekat dengan manusia melebihi urat lehernya, lihat QS Qaaf; 16.
Ahmad Dahlan mencoba meluruskan kebiasaan yang terjadi di kalangan umat Islam tersebut, diantaranya adalah melalui ‘program anti Takhayul, Bid’ah, dan Churofat (TBC)’. Cara yang dilakukan bukan dengan melakukan penghakiman dan membid’ahkan sana-sini. Ahmad Dahlan dengan bekal jaringan dan kecerdesan yang dikarunia Allah SWT mengubah kebiasaan nir-ilmiah/TBC dengan cara yang lembut dan mengakar, yakni masuk melalui pendidikan.
Ia menganggap pendidikan akan lebih efektif sebagai ruang penyadaran umat untuk memperbaiki kebiasaan dan ritual ibadah. Pendidikan yang diperuntukkan kepada umat Islam di masa tekanan kolonialisme tersebut berhasil menciptakan kesadaran relijius dan kesadaran kolektif. Umat Islam berhasil bangkit. Melalui pengajaran yang diberikan, umat Islam tidak lagi menempatkan Kitab Suci Al Qur’an hanya sebagai bahan bacaan, hafalan, dan suatu yang hanya memiliki sifat sakral. Melainkan umat Islam menempatkan Al Qur’an sebagai inspirasi untuk melakukan pekerjaan dan pemantik etos keilmuan.
Pelipatan jarak yang dilakukan oleh Ahmad Dahlan untuk mendekatkan umat Muslim Indonesia dengan moderintas diakui oleh seorang Guru Besar Sosiologi dan Sejarah Modern Indonesia di Universitas Amsterdam, Prof. W.F. Wertheim dalam bukunya yang berjudul Indonesian Society in Transition, 1956.
Menurutnya, penyesuaian Indonesia kepada dunia modern terdapat pada gerakan yang dilakukan oleh Muhammadiyah. Organisasi Islam yang bertujuan untuk mensucikan kepercayaan yang bercampur dengan adat dan formalisme. Yakni melalui harmonisasi antara kepercayaan (agama murni) dengan fikiran rasional. Keduanya bertujuan untuk membebaskan dari cengkraman adat atas kepercayaan dan menciptakan kebebasan yang kembali kepada sumber agama dalam menyelidiki nilai-nilai yang lebih baik sesuai dengan abad modern.
Cara berfikir rasional yang dilakukan oleh Muhammadiyah sebagai warisan Ahmad Dahlan memiliki dampak siginfikan. Harmonisasi sains dan agama yang terjadi di tubuh Muhammadiyah misalnya tercermin dari sigapnya organisasi ini dalam penanganan wabah covid-19. Kerja yang dilakukan melampui yang lain, keputusan berani juga diambil demi menyelamatkan jiwa manusia. Fatwa dikeluarkan, menutup masjid dan meniadakan ibadah-ibadah yang menimbulkan konsentrasi masa banyak.
Muhammadiyah seakan sudah hafal tabiat atau kebiasaan perdebatan di kalangan umat Islam Indonesia. Dikafirkan bukan lagi label baru bagi Muhammadiyah, organisasi ini tetap percaya diri pada keputusan-keputusannya, yang dikemudian hari orang baru menyadari kebenarannya. Kesempatan Ramadan di rumah aja ini harusnya menjadikan manusia semakin khusyu’ dan dekat dengan Allah. Karena telepas dari jebakan budaya populis yang rutin dilakukan pada bulan Ramadan.
Umat Islam melewati Ramadan dengan menanggalkan atribut keduniaan, mereka harusnya bersyukur karena tidak lagi disibukkan berburu takjil dan ngabuburit, alokasi waktu tersebut bisa dimanfaatkan untuk bertadarus dan menyelami makna ayat-ayat Al Qur’an yang dibaca. Ramadan tahun ini juga sebagai kesempatan baik untuk lebih giat membangun kedekatan diri dengan Allah, mediatif-kontemplatif. Ramadan di rumah saja juga sebagai kesempatan untuk melipat jarak antara manusia dengan Tuhan.