Oleh: Alimatul Qibtiyah (Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah)
Tanggal 19 Mei 2020 organisasi perempuan berkemajuan terbesar di dunia, 'Aisyiyah tepat berusia 103 tahun. Kiprah 'Aisyiyah yang lebih satu abad ini tidak diragukan lagi baik di kancah nasional maupun internasional. Milad tahun ini bertemakan “Gerakan Taawun Sosial Peduli Dampak Covid-19 untuk Keselamatan Bangsa". Diantara kegiatan milad yang menjadi gerakan nasional adalah melaksanakan kegiatan taawun sosial untuk guru-guru TK ABA dengan tajuk Aksi Bersama Sapa Guru PAUD-Taman Kanak-Kanak ‘Aisyiyah Bustanul Athfal (TK ABA). Puluhan ribu sembako dibagikan kepada pahlawan tanpa tanda jasa secara serentak di penjuru nusantara. Kebesaran 'Aisyiyah ini tidak lepas dari keterbukaan pemikiran Muhammadiyah sebagai organisasi induk dalam mengakui dan melibatkan ulama-ulama perempuan di berbagai level, termasuk di dalam lembaga fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah.
Persoalan umat Islam semakian hari semakin komplek, karena itu Pada Mukatamar ke 16 tahun 1927 di pekalongan diputuskan bahwa Muhammadiyah wajib mengadakan Majlis Trajih, tanfidz dan Taftisy (sekarang namanya Majelis Tarjih dan Tajdid-MTT), dengan tujuan menjadi suatu wadah untuk memutuskan satu hukum masalah keagamaan yang dapat dijadikan pegangan. Dalam hal pelibatan perempuan di MTT, keberadaan organisasi otonom perempuan, yaitu 'Aisyiyah sangat penting dielaborasi.
Sejak 1995 perempuan sudah mulai masuk di kepengurusan MTT Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Semua anggota perempuan MTT adalah Pimpinan 'Aisyiyah. Saat Ketua Umum 'Aisyiyah ibu Elyda Djasman, Ibu Profesor Chamamah menjadi anggota perempuan MTT pertama kali. Dan sejak saat itu selalu ada perempuan 'Aisyiyah yang menjadi anggota MTT, dengan prosentasi yang semakin meningkat di setiap periodenya. Periode 2015-2020 ini ada sekitar 6% perempuan, anggota pimpinan Pusat 'Aisyiyah yang menjadi anggota pimpinan MTT Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
'Aisyiyah didirikan pada tahun 1917 yang dipelopori oleh Nyai Siti Walidah (istri K.H.Ahmad Dahlan). Salah satu yang melatarbelakangi berdirinya 'Aisyyah adalah karena kondisi yang memprihatinkan terkait dengan posisi dan peran perempuan yang menempatkan perempuan sebagai konco wingking (teman untuk urusan rumah tangga saja). Kondisi ini menjadikan sumber kebodohan dan ketertinggalan. Seperti yang dikutip Haidar Nashir, menurut Junus Anis peran Nyai KH Ahmad Dahlan (Siti Walidah) sejak berdirinya Aisyiyah sebagai pemuka, ulama dan Mubalig Aisyiyah.
Nyai Ahmad Dahlan ini juga selalu menjadi pemegang palu persidangan dalam setiap peyelenggaraan Konggres Aisyiyah dan terakhir pada Konggres atau Muktamar Muhammadiyah ke-32 tahun 1934 di Yogjakarta. Berdasarkan amanat Muktamar Muhammadiyah ke-23 tahun 1953 di Purwokerto, Aisyiyah menjadi bagian Muhammadiyah yang berkedudukan otonom. Seperti yang tercantum dalam Anggaran Pokok Aisyiyah tahun 1956 Pasal 1 bahwa: “Aisyiyah adalah bahagian istimewa Muhammadiyah yang berkedudukan otonom. Aisyiyah dibentuk Muhammadiyah”. Pada tahun 1966 status organisasi Aisyiyah ditingkatkan lagi menjadi organisasi Otonom yang struktur organisasi berjenjang dari pusat (setingkat nasional), Wilayah (setingkat provensi), Daerah (setingkat kabupaten/kota), Cabang (setingkat kecamatan), Ranting (setingkat desa/kelurahan).
Pada Muktamar Muhammadiyah tahun 2000 di Jakarta, kemudian dimantabkan lagi pada Muktamar Muhammadiyah ke-45 tahun 2005 di Malang. Posisi Aisyiyah ditingkatkan lagi menjadi organisasi otonom Khusus yang berarti organisasi ini diberikan keluwesan dalam mengelola amal usaha tertentu seperti yang telah dikembangkan oleh Muhammadiyah. dan perempuan yang telah berusia 17 tahun”. Sejak tahun 2010, Ketua Umum Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah menjadi salah satu ketua di Pimpinan Pusat Muhammadiyah secara ex-officio. Kebijakan ini belum diikuti oleh semua Wilayah dan Daerah. Pada periode ini di Seluruh Indonesia baru ada tiga propinsi (9%) yang sudah melaksanakan kebijakan ini, namun di level Daerah lebih banyak yang sudah mengimplementasikan kebijakan ini. Belum meratanya pengakuan kiprah perempuan 'Aisyiyah sebagai bagian dari pimpinan tertinggi di berbagai Wilayah dan Daerah dikarenakan lebih pada persoalan sosialisasi bukan masalah ideologi.
Pengakuan dan pelibatan ulama perempuan dalam persyarikatan bukanlah hanya bersifat formalitas, tetapi memang didasarkan pada hal yang subtantif seperti kejelasan visi, misi dan amal usahanyanya. Saat ini ‘Aisyiyah sudah memasuki perjalanan satu abad dan mengembangkan empat pilar tersebut dalam berbagai bidang kehidupan, baik bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, kesejahteraaan sosial, penyadaran hukum, pendidikan politik, dan pemberdayaan perempuan. ‘Aisyiyah sebagai organisasi otonom perempuan Muhammadiyah bekerja di seluruh provinsi di Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Pada 10 Maret 2016 ‘Aisyiyah mendirikan universitas yang diberi nama UNISA (Universitas ‘Aisyiyah) di Yogyakarta. Ini universitas pertama di Indonesia yang dikelola oleh organisasi perempuan yang ada di Yogyakarta. Keberadaan universitas ini menunjukkan bahwa ‘Aisyiyah tidak hanya mengurus TK ‘Aisyiyah Bustanul Athfal (berdiri sejak 1922 dan saat ini berjumlah 19.181) saja tetapi juga dapat mengurusi perguruan tinggi.
Guna memajukan derajat perempuan dan mendorong partisipasi perempuan dalam bidang ekonomi, ‘Aisyiyah telah mendirikan 568 koperasi untuk perempuan dan melakukan pemberdayaan ekonomi keluarga melalui 1029 Bina Usaha Ekonomi Keluarga (BUEKA), mendirikan Baitul Maal wa Tamwil, dan pembinaan home industry. Selanjutnya, kontribusi dalam bidang kesehatan, ‘Aisyiyah mendirikan Rumah Sakit Umum, Rumah Sakit Bersalin, Pusat Kesehatan, Pusat Kesehatan Komunitas, Pusat Kesehatan Ibu dan Anak, serta Poliklinik. Secara keseluruhan amal usaha di bidang kesehatan yang dikelola Muhammadiyah–‘Aisyiyah sejumlah: 87 Rumah Sakit Umum, 16 RS Ibu dan Anak, 70 RS Bersalin, 106 Balai Pengobatan (BP), 20 Balkesmas, 76 BKIA, 105 Rumah Bersalin, serta posyandu yang tersebar di seluruh Indonesia (Sumber: Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah 2016). Kontribusi ‘Aisyiyah dalam bidang kesejahteraan sosial diwujudkan dalam bentuk pendirian Panti Asuhan, Panti Lansia, Balai Latihan Kerja, dan bantuan untuk anak miskin dan lansia di komunitas. Untuk mendorong perubahan kebijakan di tingkat lokal dan nasional yang berpihak kepada kelompok miskin dan perempuan serta anak-anak, ‘Aisyiyah mengembangkan dakwah advokasi dalam berbagai bidang.
‘Aisyiyah telah membangun sinergitas atau kerjasama dengan berbagai komponen, seperti pemerintah, masyarakat, dan organisasi baik lokal, nasional maupun internasional, antara lain: The Asia Foundation, The Netherlands Embassy, Global Fund for Childern (GFC), Global Fund, UNDP, UNICEF, USAID, John Hopkins University (JHU), AUSAID, MAMPU, dan lembaga lainnya untuk mencapai tujuan dakwah ‘Aisyiyah bagi bangsa dan negara. Kran pengakuan dan pelibatan ulama perempuan sudah dibuka lama oleh persyarikatan dan Pimpinan Pusat Muhammadiyah sudah memberikan contohnya. Pelibatan ulama perempuan dalam menyiapkan Tafsir Attanwir dan juga produk-produk fikih Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah semakin intensif. Pelibatan ilmuan perempuan (Stand Point Feminist) adalah hal yang tepat, karena ada banyak pengalaman perempuan yang terkait dengan tugas reproduski yang tidak dapat diwakilkan kepada laki-laki. Selamat Ulang Tahun ke 103. Semoga 'Aisyiyah semakin luas gerakannya dan semakin dalam nilainya. Aamin.