Oleh: Ilham Ibrahim
Hingga saat ini wabah virus belum menunjukkan tanda-tanda berakhir. Muhammadiyah sebagai organisasi Islam sejak awal telah menabuh genderang perang lawan wabah pandemi Covid-19 hingga akhir. Konsistensi ini terlihat begitu jelas dari sinkronnya berbagai putusan yang dikeluarkan PP Muhammadiyah. Tak ada putusan PP Muhammadiyah yang saling tumpah tindih apalagi membuat bingung masyarakat. Seruan tokoh-tokoh Muhammadiyah pun satu suara sebagai keseriusan menghadapi krisis global ini. Intinya, Muhammadiyah tak sudi bila harus berdamai dengan patogen yang telah menelan korban jiwa jutaan orang.
Konsistensi itu berlanjut pada tanggal 14 Mei 2020 M yang bertepatan dengan 21 Ramadan 1441 H Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah mengeluarkan fatwa tuntunan salat idulfitri dalam kondisi pandemi Covid-19. Fatwa tersebut kemudian disahkan Pimpinan Pusat Muhammadiyah menjadi sebuah keputusan resmi organisasi. Dalam Muhammadiyah, keputusan merupakan intruksi yang mengikat kepada segenap elemen warga Muhammadiyah. Karenanya baik kader, warga, simpatisan, karyawan dan pegawai mesti mengikuti semua prosedur putusan tersebut.
Solusi Kehidupan
Dalam putusan resmi PP Muhammadiyah ini menginstruksikan agar pelaksanaan salat Idulfitri di lapangan ditiadakan. Peniadaan tersebut dapat bermakna ganda: samasekali tidak melakukan salat id atau melaksanaan salat Id di rumah. Seruan edaran PP Muhammadiyah tentu tidak berangkat dari ruang kosong. Sebelum putusan itu dikeluarkan, ada diskusi alot yang mengundang berbagai pakar disiplin ilmu, meninjau situasi dan kondisi lapangan, dan menimbang antara kemaslahatan dan kemudaratan. Jadi, kelahiran surat edaran itu tak sesimpel komentar pedas netizen julid di luar sana.
Langkah yang diambil Muhammadiyah ini sebagai jalan bahwa agama selalu menjadi solusi terhadap problem kehidupan (QS. 21: 107). Ketika corona bukan sekedar penyakit yang menyerang kesehatan manusia, akan tetapi juga menyerang tatanan ekonomi, sosial dan politik seluruh dunia, agama dituntut untuk ikut berperan menghalau laju beragam krisis multidimensi ini. Dalam surat edaran PP Muhammadiyah menyebutkan bahwa agama adalah kendaraan yang membawa pada jalan yang mewujudkan kemaslahatan dan menolak kemudaratan (dar’u al- mafasid wa jalbu al-manafi’).
Dalam Islam, prinsip utama dalam melaksanakan perintah Allah adalah memudahkan (QS. 2: 185), dilaksanakan sesuai kemampuan (QS. 2: 282), dan sesuai dengan petunjuk Nabi saw (Qs. 64: 12). Karenanya, imbauan peniadaan salat Id di lapangan merupakan solusi agama lantaran ada kekhawatiran dari tenaga medis, virus Covid-19 kapanpun bisa menginfeksi seseorang ketika berinteraksi secara komunal. Boleh jadi nampaknya wabah corona mengajak kita ke substansi terdalam dari keberagamaan.
Menolak Berdamai
Substansi tersebut terlihat jelas dengan sikap tegas Muhammadiyah yang menolak berdamai dengan Covid-19. Muhammadiyah telah memahami antara apa yang harus dilakukan dan mana yang harus didahulukan. Para teorikus hukum Islam seperti al-Ghazali dan al-Syatibi mengatakan bahwa ketika kita ingin menuntaskan tujuan dari umat manusia secara syariah, kita harus melakukannya dengan mengurutkan tujuan tersebut dari yang paling penting terlebih dahulu. Dalam ushul fikih ini disebut sebagai Maqashid Syariah.
Maqashid Syariah menjadi indikator pencapaian maslahah yang terdiri dari tiga tingkatan yakni primer (daruriyyat), sekunder (hajiyyat), dan tersier (tahsiniyyat). Menurut al-Ghazali, aspek-aspek “al-mabaadi’ al-khamsah” yaitu perlindungan terhadap agama (hifzd al-din), jiwa (hifzd al-nafs), akal (hifzd al-‘aql), keturunan (hifdz al-nasl), dan harta (hifzd al-maal) adalah tingkatan primer. Dengan tegas al-Ghazali mengatakan bahwa setiap hukum yang mengandung tujuan memelihara kelima hal tersebut disebut maslahat, dan setiap hal yang membuat hilangnya lima unsur ini disebut mafsadah.
Bila kita kaitkan dengan situasi dan kondisi saat ini, maka permasalahan ini menyinggung Maqashid Syariah dalam kategori primer. Artinya, segala kegiatan yang membuka peluang ekspansi virus harus ditiadakan sampai benar-benar keadaan kembali normal. Ibadah sunnah salat Id sebaiknya tidak dilakukan di lapangan, budaya open house sebaiknya diganti dengan suplai dana ke lembaga kemanusiaan, dan bersalam-salaman sebaiknya dilaksanakan secara virtual. Karena berdamai dengan virus sama artinya dengan menyemai kemudaratan.
Melonggarkan aktivitas masyarakat bisa jadi membuat keadaan semakin memburuk. Kita tidak boleh lengah terhadap data landainya kasus Covid-19. Berdamai dengan wabah sama saja menyemai patogen-patogen baru sejenis Covid-19 yang akan terus mengancam kita di masa mendatang. Karena itu jangan sampai ketika pandemologi gaya baru datang lagi, penduduk negeri ini hanya bisa pasrah dan berujar, “Terserah!”