Oleh: Benni Setiawan
Anggota Majelis Pendidikan Kader (MPK) Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Ba'da Maghrib di penghujung Ramadan, Profesor Ariswan (Dekan FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta) yang juga Ketua Dikdasmen PDM Kota Yogyakarta mengirim pesan di group Jamaah Muhammadiyah-UNY. Profesor Ariswan bercerita tentang dialog istrinya dengan anggota Pimpinan Ranting Muhammadiyah (PRM) di wilayah Daerah Istimewa (DIY) Yogyakarta. Dialog itu terkait dengan anggota PRM yang tetap akan menyelenggarakan Salat Idul Fitri berjamaah di halaman masjid.
Cerita yang membuat pilu adalah pernyataan anggota PRM saat dijelaskan tentangEdaran Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Nomor 04/EDR/I.0/E/2020 tentang Tuntunan Salat Idul Fitri dalam Kondisi Darurat Pandemi Covid-19. Dia menjawab dengan enteng “Oh kalau orang-orang mengatakan saya bukan Muhammadiyah saya sangat senang Bu, pokoknya saya dan warga akan salat Idul Fitri di halaman masjid kami”.
Saya kira cerita ini tidak hanya terjadi di Yogyakarta. Daerah lain pasti juga mengalami hal serupa. Ini adalah sebagian kecil potret warga Muhammadiyah. Warga yang tidak patuh dan taat terhadap Persyarikatan. Bahkan mereka dengan berani melawan putusan Muhammadiyah.
Muhammadiyah tentu tidak akan kehilangan kebesarannya dengan penolakan itu. Muhammadiyah tetap menjadi organisasi besar dengan segala dinamikanya.
Masyarakat Abai
Potret kecil itu menjadi penanda bahwa masyarakat hari ini masih menganggap coronavirus sebagai hal biasa. Padahal sudah banyak korban; sudah banyak biaya yang dikeluarkan; sudah banyak waktu dan tenaga tercurah untuk menangani hal ini. Namun, masyarakat masih abai.
Abainya masyarakat ini tak lepas dari ketidaktegasan pemerintah. Pemerintah seakan belum satu suara dalam mencegah dan menanggulangi Covid-19. Hal itu terbukti dengan kebijakan yang sering berubah dan tidak sinkron satu dengan yang lain. Maka ada guyonan di tengah masyarakat tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Masyarakat menyebutnya sebagai Peraturan Sering Berubah dan Berganti.
Kembali pada persoalan di atas, abainya masyarakat terkait seruan/himbauan PP Muhammadiyah menjadi bukti ketidaktaatan warga terhadap pimpinan. Ketidaktaatan itu tentu dapat menimbulkan masalah. Pasalnya, batas antara zona hijau dan zona merah itu sangat tipis. Zona hijau Covid-19 yang ditandai tidak adanya pasien suspect dan pasien dalam pantauan (PDP) Covid-19 bisa berubah dengan cepat menjadi zona merah. Hal ini dikarenakan, kita tidak dapat mendeteksi dengan cepat apakah orang yang ada didekat benar-benar sehat atau tidak.
Merepotkan Orang Lain
Sebagian masyarakat yang mengabaikan seruan PP Muhammadiyah untuk Salat Id di rumah seakan mempunyai banyak nyawa. Mereka masih bisa hidup di dunia lagi saat nanti sudah mati. Mereka pun seakan sudah mempunyai obat mujarab saat Covid-19 menyapa dirinya. Sehingga mereka tenang-tenang saja.
Ketidakpatuhan terhadap seruan PP Muhammadiyah pun dapat merepotkan orang lain. Pasalnya, saat sakit, tentu mereka tak bisa sendiri. Mereka harus datang ke rumah sakit, memeriksakan dan menyehatkan diri. Tentu kita tahu bahwa daya tampung rumah sakit terbatas. Sudah banyak tenaga kesehatan wafat karena merawat pasien Covid-19. Dan yang pasti biaya pengobatannya yang ditanggung pun akan meningkat.
Ketidaktaatan warga terhadap seruan PP Muhammadiyah pun dapat menjadi pemantik tumbuhnya klaster baru Covid-19. Cukuplah klaster tempat perbelanjaan sebagaimana terjadi di Sleman, Yogyakarta. Cukuplah klaster pertemuan Gowa dan rumah ibadat di Bandung yang menjadi berita media.
Masyarakat Berkemajuan
Umat Islam umumnya dan warga Muhammadiyah selayaknya menjadi masyarakat cerdas dan berkemajuan. Artinya, warga Muhammadiyah adalah penganut ideologi berkemajuan. Mereka berpikir strategis demi kemaslahatan bersama.
Warga Muhammadiyah selalu memelihara akal warasnya daripada mengedepankan nafsu. Mereka taat beribadah dengan hasil ijtihad, bukan berdasarkan kebiasaan yang sudah lama dilakukan.
Seruan PP Muhammadiyah merupakan hasil ijtihad (baca: jihad) di tengah pandemi. Seruan itu bermuara pada pemeliharaan jiwa manusia (hifdz nafs). Menyelamatkan jiwa/nyawa merupakan hal pokok dalam agama. Namun, jika yang ingin diselamatkan tidak mau ya sudah.
Mungkin hidayah Allah belum sampai padanya. Mungkin fungsi puasa sebagai pengekang nafsu masih jauh dari mereka. Mungkin amaliyah Ramadan masih sekadar formalitas minus substansi.
Manusia taat hasil didikan Ramadan memang tidak banyak. Hanya mereka yang menikmati dan menjalankan ibadah Ramadan dengan iman dan penuh perhitungan saja (imanan wahtisaban).
Pada akhirnya, kepatuhan dan ketaatan warga Muhammadiyah terhadap aturan Persyarikatan memang sedang diuji saat ini. Siapa yang taat, insyaalah, Allah menolong dan menyelamatkan mereka. Dan warga Muhammadiyah yang tidak taat, semoga Allah mengampuni dan memberi hidayah kepada mereka. Wallahu a'lam.