Oleh: Ilham Ibrahim
Pada tanggal 27 Maret 1993—meski saya belum lahir namun bisa merasakan betapa fenomenalnya tulisan Abdurahman Wahid (Gus Dur) di Majalah Tempo dengan judul ‘Tiga Pendekar Chicago’. Tulisan dari Gus Dur itu lahir saat beliau agak gemas dengan gerakan muslim modernis yang bersekutu dengan rezim Orde Baru di bawah payung ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia).
Dengan gaya khasnya yang “nakal”, Gus Dur menceritakan tiga raksasa cendekiawan muslim Indonesia lulusan Chicago yang dianggap “tidak kompak” dalam menuaikan gagasan-gagasannya. Ketiga intelektual tersebut yakni Amien Rais, Nurcholis Majdid, dan Syafi’i Maarif yang bagi Gus Dur tak sekompak gembong McGill seperti Mukhti Ali dan Harun Nasution.
“Mafia McGill”, kata Gus Dur, berhasil menguasai Departemen Agama. Sementara para pemikir dari Chicago memiliki jalan pemikiran masing-masing. Cak Nur memiliki pemikiran tentang pluralisme agama; Amien Rais mengembangkan konsep tauhid sosial; dan Syafi’I Maarif berpegang teguh pada prinsip toleransi. Menurut Gus Dur, walau pemikiran Cak Nur dan Syafi’i Maarif memiliki kedekatan, namun pada saat Cak Nur “dikuliti” Ridwan Saidi dan Daud Rasyid, kedua tokoh Muhammadiyah yang sama-sama lulusan Chicago tersebut tak ikut membela. Bagi Gus Dur hal ini jadi semacam pertanda bahwa ketiga pendekar Chicago tak memiliki kohesi sekuat “Mafia McGill”.
Hakikat Takwa
Tulisan Gus Dur di atas sedikit banyak memotret pokok pemikiran Syafi’i Maarif yang kemudian berbuah polemik di antara pemuja dan pengkritik. Saya akan menambahkan sedikit curahan pemikiran Buya selain konsisten mewacanakan isu toleransi antar umat manusia. Jadi, beberapa hari yang lalu saya intens membaca tulisan-tulisan Buya Syafii di Republika. Ada satu tulisan yang bagi saya sangat menarik yaitu penjelasan beliau tentang “takwa”. Bahasan ini sering terlewat dari lalu lintas perkelahian antara pihak pemuja dan pengkritik.
Menurut Buya Syafii, “takwa” bukanlah tujuan melainkan perjalanan. Selama jantung berdetak, takwa merupakan jalan yang tak memiliki ujung. Perlu pergumulan spiritual yang terus menurus dan tanpa henti. Sebagai seorang muslim, kata Buya, alangkah tidak mudah berlayar di samudra takwa ini. Ada badai maksiat yang perlu diatasi, ada ombak dzalim yang akan menghantam geladak. Seorang muslim yang memiliki keimanan yang otentik dan tulus memiliki kesempatan yang jauh lebih baik dalam menaklukan badai maksiat dan ombak dzalim. Bertakwa berarti terealisasikannya semua syariat Islam dalam kehidupan seorang muslim.
Buya juga menerangkan bahwa takwa bukanlah rasa takut kepada Allah melainkan rasa rindu kepada sang Khalik. Ketika takwa itu dimaknai sebagai rasa takut, seseorang akan menjauhkan diri dari yang ditakuti. Kalau takwa diartikan sebagai rasa rindu, kita akan senantiasa mendekat kepada-Nya. Sekiranya dalam perjalanan hidup seorang muslim tak memiliki rasa rindu yang menggebu kepada Allah, artinya kualitas iman belum beranjak jauh. Namun jika suatu kondisi pikiran dan jiwa seorang mukmin merasakan kehadiran Allah di mana saja dia berada, bagi Buya Syafii, inilah hakikat sesungguhnya dalam perjalanan takwa.
Penjelasan Buya Syafii membuat saya merenung bahkan untuk sebagian menjawab keresahan saya terkait alasan mengapa pelaksanaan salat seperti rutinitas harian yang tidak berdampak apa-apa. Salat seperti kegiatan biasa yang dilakukan sehari lima kali. Kadang saalat yang saya kerjakan seperti hanya sebatas yang bersangkut paut dengan hukum-hukum tentang syaratnya, rukunnya, sah dan batalnya saja. Saya seperti laiknya mesin yang diprogram untuk menegakan salat tanpa merasakan kesan setelahnya.
Kalau kita merenungi lagi penjelasan Buya tentang takwa, hal tersebut terjadi lantaran saya tak menghadirkan Allah acapkali salat yang saya lakukan. Hasilnya, shalat hanya sebatas pengugur kewajiban, tidak lebih.
Indikator Takwa
Indikator seseorang sedang dalam perjalanan takwa menurut Buya terdapat dalam QS. Ali Imran ayat 133-136, yaitu: pertama, orang yang memberikan infaq di saat lapang dan sempit; kedua, orang-orang yang mampu mengendalikan amarah dan bersedia dengan tulus memaafkan orang lain; ketiga, mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan; dan keempat, orang yang selalu memohon ampunan kepada Allah atas segala dosa-dosanya.
Kalau disimak secara baik-baik, rasanya saya sendiri belum pernah memiliki indikator itu secara utuh dan sempurna. Keadaan dompet saya yang memang selalu sempit menjadi satu paket alasan untuk tidak berinfak. Saya juga sulit mengontrol amarah bahkan kadang memaki-maki seseorang di sosial media ketika terlibat dalam duel twitwar. Bahkan dalam hati kadang ada rasa benci pada seseorang yang selalu berbuat baik. Dosa saya juga menumpuk tapi doa pengampunan kepada Allah hanya asal bicara tanpa selalu disertai hati yang khusyu’, bening, dan rindu.
Saya merasa perjalanan takwa saya belum beranjak jauh atau mungkin tak bergerak kemana-mana. Duh, Gustiii.