Jum'at, 20 September 2024
Home/ Berita/ Tuntunan Ibadah Salat Jumat di Tengah Wabah

Tuntunan Ibadah Salat Jumat di Tengah Wabah

MUHAMMADIYAH.ID, YOGYAKARTA- Pengajian Tarjih Muhammadiyah Edisi ke-88 mengangkat tema terkait tuntunan ibadah di tengah wabah. Wawan Gunawan Abdul Wahid yang bertindak sebagai pemateri menyampaikan bahwa Surat Edaran Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang berasal dari fatwa Majelis Tarjih terkait tuntunan ibadah pada masa pandemi global harus diposisikan dengan beberapa cara.
 
“Cara yang pertama yang harus dilakukan, fatwa dihasilkan dengan pendekatan tiga ijtihad sekaligus: pertama, ijtihad bayani. Ada bayan, keterangan ayat-ayat al-Quran, nash-nash Hadis Rasul, bahkan disertai beberapa kaidah fiqhiyah yang secara kolaboratif mendasarkan pendalilan yang merujuk pada satu pemaknaan yang tegas tentang situasi pada satu makna hukum,” tutur Wawan yang disampaikan secara daring pada Rabu (10/6). 
 
Wawan mengatakan bahwa ijtihad bayani yang dilakukan Majelis Tarjih didasarkan pada ijtihad burhani yang dilakukan atas telaah di lapangan yang dilakukan oleh Muhammadiyah Covid-19 Command Center (MCCC). Menurut Wawan, peran MCCC memasok informasi burhani kepada Majelis Tarjih tentang Covid-19 untuk membangun logika argumentasi fatwa.
 
“Sebagai misal, mengapa Majelis Tarjih tidak menggunakan penzonaan di dalam fatwanya, itu didasarkan pada asumsi yang kuat, yang merujuk pada ijtihad burhani di lapangan yang diperoleh kawan-kawan muda, para dokter, para ahli dari Muhammadiyah yang tergabung dalam MCCC. Jadi, ketika dinyatakan bahwa wabah virus Covid-19 ini adalah sebagai pandemi global, maka itu bermakna virus itu masuk ke setiap negara sehingga ada di sekitar kita,” terang anggota divisi fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah ini.
 
Dalam ikhtiar menghentikan penyebaran virus, kata Wawan, maka berlakulah kaidah hukum saddu dzariah. Wawan menerangkan bahwa saddu dzariah  merupakan salah satu metode dalam penggalian hukum Islam yang aplikasinya senantiasa bersandar pada konsep maslahat dan menutup rapat-rapat terjadinya kemudaratan.
 
“Lebih bagus untuk melakukan antisipasi terhadap peluang terjadinya wabah. Mengapa demikian, karena potensi-potensi itu sangat terbuka. Bahkan ketika saat ini sudah ditemukan istilah orang tanpa gejala, yang merasa sehat, ternyata di dalam dirinya terdapat virus. Ketika berkemurun di suatu tempat, bahkan di tempat ibadah itu bisa menularkan pada orang lain. Nah, peluang itu harus ditutup,” ujar Wawan.
 
Karena saat ini terjadi wabah global, Wawan juga menguaraikan bahwa menunaikan ibadah yang idealnya di masjid, dipindahkan ke rumah masing-masing. Menunaikan ibadah di masjid tentu maslahat, namun ketika diyakini ada peluang penyebaran virus, maka harus mengedepankan kemaslahatan dan menghindari mara bahaya.
 
“Keliru kalau dikatakan kita meninggalkan salat Jumat. Kita mengganti salat Jumat. Maka kaidah yang digunakan: ketika hukum pokok tuntunan salat Jumat tidak bisa dikerjakan, maka beralih pada penggantinya. Penggantinya adalah salat dzuhur empat rakaat,” imbuh Wawan.
 
Hal tersebut, sambung Wawan, persis dengan kejadian Rasul Saw ketika beliau dalam keadaan safar karena menunaikan ibadah haji. Ketika itu Rasul Saw mengganti salat Jumat jadi salah dzuhur dua rakaat sebagai musafir. Bahkan Rasul tarik waktu ashar ke dzuhur sehingga terjadilah salat jamak dzuhur dan ashar dengan cara qashar.
 
“Yang kedua alasan mengganti salat Jumat menjadi salat dzuhur, karena hujan virus. Sehingga adzannya pun berganti, tidak hayya ‘ala-shalat tapi shallu fi buyutikum, salatlah kalian di rumah kalian. Apa itu? Saat itu alasannya hujan. Itu alasan hujan air, sekarang hujan virus. Maka, itu lebih kuat alasannya untuk kita menunaikan salat Jumat di rumah,” tutur Wawan.
 
Selanjutnya Wawan menjelaskan tentang surat edaran terbaru dari PP Muhammadiyah No. 05/EDR/I.0/E/2020 yang diterbitkan pada tanggal 12 Syawal 1441 H/04 Juni 2020 M. Dalam edaran tersebut terdapat fatwa baru bahwa salat Jumat yang idealnya di masjid dapat dilakukan di rumah. Artinya, kata Wawan, pelaksanaan salat Jumat tidak diganti dengan salat dzuhur empat rakaat melainkan memindahkan salat Jumat di rumah masing-masing sebagaimana salat Jumat di masjid. 
 
“Pendalilannya ketika itu Musab bin Umair meminta pengetahuan bahkan meminta izin Rasulullah Saw untuk menunaikan salat Jumat bersama sahabat Anshor di rumah Saad Khaisamah bersama dengan 12 orang Sahabat. Alasannya waktu itu belum ada masjid karena saat itu posisinya masih pada awal penyebaran Islam di Yastrib,” ujar Wawan.
 
Pelaksanaan tuntunan ibadah ini akan berakhir, kata Wawan, sampai para ahli mengumumkan sudah wabah pandemi Covid-19 tuntas. Jika otoritas kesehatan dan pemerintah telah secara resmi menyatakan bahwa bumi telah terbebas dari virus, maka status kedaruratan syar’iyyah bisa dicabut dan umat Islam dapat kembali melaksanakan ritual peribadatan secara normal.  
 
“Kita tunggu MCCC menguatkan informasi ada pengumuman bahwa keadaan sudah normal seperti semula. Tapi karena pengertian ‘normal’ bermakna virus sama sekali tidak hilang di hadapan kita, maka tentu saja, tatacara kehidupan dengan cara yang baru. Kalau keadaan sudah pulih, ibadah kembali ke format ‘azimah, format semula,” kata Wawan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *