Kamis, 19 September 2024
Home/ Berita/ Merintis Sekolah Hijau ala Muhammadiyah?

Merintis Sekolah Hijau ala Muhammadiyah?

Oleh: Ilham Ibrahim

Perubahan iklim merupakan ancaman eksistensial manusia yang paling nyata hari ini. Sangat penting bagi siapa pun mengambil inisiatif merespon krisis ekologi. Para saintis bersekapat ada sembilan ambang batas perubahan ekologi: perubahan iklim, pengasaman air laut, penipisan ozon, batas aliran biogeokimia, krisis air bersih global, perubahan pemanfaatan lahan, hilangnya keanekaragaman hayati, pelepasan aerosol ke atmosfer, dan polusi kimia.

Peran lembaga pendidikan sangat penting sebagai upaya perbaikan kerusakan lingkungan. Problem ekologi bukan persoalan yang bersifat parsial, tapi persoalan bumi yang bersifat global. Semua orang harus terlibat bersama-sama bergandengan tangan mewujudkan kelestarian alam agar kualitas bumi tempat berpijak terus layak dihuni.

Sekolah sebagai ruang akademik harus mulai lebih serius mempromosikan prinsip-prinsip kelestarian lingkungan. Jangan sampai, lembaga pendidikan justru menyumbang pada percepatan pengrusakan ekologi melalui pemborosan energi, produksi sampah tak-terurai dan tidak memiliki cadangan oksigen serta air secara mandiri.

Banyak sekolah tidak memperhatikan aspek daya-tahan ekosistem lingkungan. Sekolah dibangun atas orientasi non-berkelanjutan. Akhirnya sekolah sangat bergantung pada seberapa besar sumber daya dari luar tersedia. Sebagai contoh, sekolah yang tidak mempersiapkan cadangan air bersih sendiri akhirnya dipaksa untuk mengakses dari sumber eksternal. Akhirnya, pemborosan ekonomi juga tak terelakkan. Contoh lain, pada siang hari, sekolah masih harus mengalokasikan konsumsi energi untuk penerangan cahaya kelas dibarengi dengan penggunaan alat penyejuk ruangan. Sekolah menjadi gelap walau pada siang hari, dan menghasilkan suhu tinggi. Ini semua  diakibatkan oleh desain keruangan sekolah yang tidak sesuai dengan prinsip pemanfaatan lingkungan.

Sekolah Hijau dan Sekolah Islam

Pengelola sekolah saat ini harus mulai mempertimbangkan konsep belajar yang ramah lingkungan. Mereka memiliki tanggungjawab etis untuk mulai menggerakkan roda pendidikan menuju “sekolah hijau” (green school). Di Indonesia, ada beragam bentuk “sekolah hijau”, misalnya konsep “sekolah adiwiyata” atau “sekolah alam”. Bentukan “sekolah hijau” sangat beragam, tergantung pada orientasi ideologi pendidikan yang dianut. Konsep “sekolah hijau” ada yang mengdopsi nilai-nilai etika pembangunan berkelanjutan ala PBB dan adapula yang mengadaptasi nilai-nilai pendidikan kritis (critical pedagogy movements). Kebanyakan sekolah formal, menerapkan prinsip agenda “pembangunan berkelanjutan” sebagaimana yang tercantum dalam Tujuan Pembanguan Milenium (Millenium Development Goals) dan (Sustainable Development Goals). Intinya, konsep “sekolah hijau” menekankan pada keterlibatan lembaga pendidikan untuk membekali kaum muda tanggungjawab perbaikan ekologi.

Di Indonesia, sekolah-sekolah Islam non-kepesantrenan masih belum maksimal dalam merespon krisis ekologi. Sebagian besar lembaga pendidikan Islam saat ini berkutat pada program-program unggulan seperti “tahfidz Qur’an” atau pengembangan keterampilan “teknologi informasi”. Memang menghafal Quran dan menguasai teknologi informasi sangat baik, namun cukup sulit mengembangkan kurikulum pendidikan Islam ekologi.

Ketika sekolah Islam tidak melibatkan diri dalam upaya mengerem kerusakan ekologi, hal tersebut justru bertentangan dengan perintah dalam tradisi Islam sendiri. Al-Qur’an menegaskan dalam surat Al-A’raf ayat 74 dan surat Al-Qashas ayat 77, Allah mengingatkan agar manusia tidak melakukan pengrusakan di muka bumi. Dalam surat Ibrahim ayat 71 Allah mengingatkan bahwa menjaga alam merupakan tindakan yang bernilai syukur, sedangkan merusaknya merupakan tindakan kufur. Banyak hadis juga yang secara eksplisit menganjurkan menanam pohon, mengutuk penebangan pohon sembarangan, melarang mengotori air tergenang termasuk laut dan sungai, memerintahkan menyayangi hewan, dan sebagainya.

Landasan tradisi pengetahuan keagamaan normatif di atas cukup menjelaskan bahwa Islam mengajarkan tentang pentingnya menjaga kelestarian lingkungan. Mengajarkan murid untuk tidak menebang pohon sembarangan, membuang sampah pada tempatnya, dan meminimalisir penggunaan plastik merupakan tindakan-tindakan amal salih. Dengan demikian berdasarkan landasan normatif dari nash-nash al-Quran dan hadis-hadis Nabi telah menunjukkan arah bahwa sekolah harus beriorientasi pada alam lestari.

Sekolah Muhammadiyah perlu memaknai bahwa memperbaiki lingkungan merupakan bagian dari dakwah “amar ma’ruf nahi munkar”. KH. Ahmad Dahlan dikenal sebagai orang yang menyukai kebersihan dan tanaman. Bahkan simbol organisasi ini adalah “matahari” yang bermakna “kebaikan untuk alam”. Sebagai organisasi yang bergerak pada ranah amal sosial seperti pendidikan, persyarikatan harus mulai memikirkan bagaimana mengkonsep sekolah yang berbasis ekologi. Hal tersebut bisa dimulai dengan mengubah pandangan yang keliru tentang pemanfaatan alam. Menurut Azwar Anas, Guru Sekolah Sukma Bangsa Lhokseumawe, krisis ekologi yang mendominasi kita saat ini bermuara dari cara pandang manusia yang melihat alam sebagai objek untuk dikaji, dianalisis, dimanipulasi, direkayasa, bahkan dieksploitasi sedapat mungkin.

Masih ada harapan untuk berbenah sebelum bumi musnah. Hal tersebut terlihat dari geliat Muhammadiyah yang mulai memahami arti penting melestarikan lingkungan. Di Majelis Tarjih, misalnya, gembar-gembor krisis lingkungan ini beririsan dengan penyusunan Fikih Agraria. Sementara dalam Fikih Etika Bisnis yang dikeluarkan Majelis Tarjih menyebut bahwa  bisnis tidak boleh mengarah kepada dharar atau kerusakan. Belum lama ini bahkan terbentuk wadah komunitas aktivis Muhammadiyah bernama Kader Hijau Muhammadiyah (KHM) yang menunjukkan komitmen pada advokasi lingkungan.

Banyak pihak tentu berharap Muhammadiyah bisa terlibat aktif mengembangkan bentuk institusi layanan pendidikan yang bernafaskan pada ajaran Islam ekologi. Sebuah cita-cita besar yang akan menandai pembaruan pemikiran dalam organisasi keislaman terbesar di Indonesia ini.

Jika Islam telah menganjurkan untuk peduli lingkungan, beramai putusan-putusan Muhammadiyah juga  mengarah pada kelestarian ekologi, dan disandingkan dengan fakta krisis kelestarian alam di berbagai penjuru, masihkah kita perlu menunggu bumi sampai hangus karena kita terlambat bergerak?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *