MUHAMMADIYAH.ID, YOGYAKARTA - Iman kepada Qada dan Qadarberarti percaya serta meyakini sepenuh hati bahwa Allah SWT memiliki kehendak, ketetapan, keputusan atas semua makhluk-Nya. Pembahasan tentang Qada dan Qadar bagaikan menyelami lautan yang tak bertepi, permasalahan tentang takdir ini telah menjadi pembahasan sejak zaman klasik hingga kontemporer. Demikian tuturan Ali Yusuf dalam Pengajian Tarjih edisi ke-90 pada Rabu (1/7) dengan tema Qada dan Qadar dan Kaitannya dengan Pandemi Covid-19.
“Dalam Himpunan Putusan Tarjih yang terdapat dalam Jilid I bab al-Imanu bi al-Qadai wa al-Qadari halaman 21-22, yang berbunyi: wajib bagi kita untuk mengimani bahwasannya Allah telah menciptakan segala sesuatu, Allah melarang dan memerintahkannya, dan segala perintah Allah itu adalah sesuatu yang sudah ditetapkan. Semua yang telah ditentukan Allah itu, berdasarkan pada pengetahuan, kehendak, dan hikmah Allah,” kata Ali.
Ali menerangkan bahwa pengertian Qada berarti ketetapan Allah SWT, sedangkan Qadar berarti ukuran atau ketentuan Allah SWT terhadap segala sesuatu. Ali menegaskan bahwa Pandemi Covid-19 yang terjadi di seluruh dunia ini merupakan bagian dari Qada atau ketetapan Allah karena fenomena ini telah dan sedang terjadi.
“Takdir itu tidak akan terlepas dari empat hal: 1) al-‘ilm; 2) al-kitabah; 3) al-masya; dan 4) al-khalq. Artinya, segala sesuatu yang disebut takdir itu adalah segala perbuatan manusia atau makhluk-Nya berdasarkan ilmu Allah, Allah tahu segala yang terjadi. Kemudian al-kitabah, semua yang terjadi itu telah ada catatannya di Lauhul Mahfudz. Dan tentu, apa-apa yang telah terjadi itu karena masya atau kehendak Allah. Jelas, al-khalq, artinya sesuatu yang diciptakan,” terang Ali.
Dengan demikian menurut Ali, kata kunci dari konsep takdir itu adalah atas dasar pengetahuan Allah (al-‘ilm), catatan di Lauhul Mahfudz (al-kitabah), kehendak dan keinginan Allah (al-masya), dan diciptakan Allah (al-khalq). Ali mengakui bahwa sisi hikmah keberadaan Covid-19 ini mengangkat kembali tema yang telah lama diperbincangkan para ulama klasik.
“Fenomena Covid-19 ini banyak memantik diskusi. Sisi positifnya menjadikan kita banyak berdiskusi salah satunya tentang konsep takdir. Covid-19 ini merupakan ujian kesehatan, ekonomi, dan sosial, bahkan yang lebih jauh dari itu adalah ujian keagamaan kita. Cara beragama kita itu teruji dengan adanya pandemi ini,” kata Ali.
Setelah itu Ali menerangkan tentang hubungan manusia dengan takdir. Menurutnya, manusia dan takdir terbagi dua macam: 1) manusia sebagai makhluk mukhayyar, yang berarti ketentuan Allah tetapi manusia dapat ikut berperan dalam menentukan nasibnya; dan 2) manusia sebagai makhluk musayyar, yang berarti ketentuan mutlak dari Allah dan manusia tidak dapat merubahnya.
“Jadi artinya mukhayyar itu pilihan, manusia memiliki pilihan atau kebebasan untuk menerima atau menolak sesuatu. Contohnya orang pintar dan orang bodoh. Orang bodoh belum tentu itu takdir dari Allah memang bodoh, sementara dirinya tidak belajar bersungguh-sungguh. Karenanya, pintar dan bodoh itu, kategori mukhayyar. Ingin pilih pintar, ya belajar,” kata Ali.
Ali menegaskan bahwa ikhtiar manusia sering diidentikkan dengan bentuk usaha yang dilakukan seseorang dalam rangka mencapai apa yang diinginkannya. Pemisalan ini kemudian dikontektualisasikan dengan kondisi pandemi corona. Menurut Ali, Covid-19 merupakan takdir dalam kategori mukhayyar sehingga kalau ingin mencari takdir yang baik, maka syariatnya di samping berdoa kepada Allah, juga berusaha untuk tetap mengikuti protokol kesehatan.
“Karenanya fatwa-fatwa yang dikeluarkan sejak Covid-19 ini banyak menganjurkan ibadahnya di rumah. Tentu pengambilan putusan bahwa ibadah di rumah itu juga salah satu dari ikut andilnya dalam menentukan takdir ini. Inilah yang disebut dengan manusia sebagai mukhayyar, yang berarti bahwa Covid-19 memang ketentuan dari Allah tetapi harus diiringi dengan usaha manusia,” ujarnya.