MUHAMMADIYAH.ID, YOGYAKARTA – Rembug Nasional Majelis Hukum dan HAM (MHH) Pimpinan Pusat Muhammadiyah menghadirkan Emil Salim, ahli ekonomi dan Menteri Negara Pengawasan Pembangunan Lingkungan Hidup Indonesia tahun 1978-1993 serta guru besar emeritus Universitas Indonesia. Ini adalah seri kedua Rembugnas dengan tema “Pemberdaulatan Sumber Daya Alam untuk Kesejahteraan Rakyat” yang digelar secara daring pada hari Jumat tanggal 17 Juli. Sebagaimana diketahui, Emil Salim dianggap sebagai tokoh pengelolaan lingkungan hidup Indonesia.
Dalam pemaparannya, Emil mengatakan tren kebijakan ekonomi dan lingkungan di Indonesia bersifat paradoks. Potensi besar Indonesia mandiri secara pangan berbenturan dengan kebijakan impor pangan dan kurangnya dorongan untuk swasembada pangan. Selain itu, angka penderita gizi buruk dan malnutrisi sangat tinggi.
Emil menambahkan bahwa ketersediaan pangan di Indonesia sangat tergantung dengan impor luar negeri dan rendahnya kesejahteraan petani. Menurut Emil, Indonesia merupakan negara tersubur kedua di dunia setelah Brazil.
“Maka ada hal yang aneh, kita berlimpah kekayaan alam. Cukup untuk kekayaan pangan, tapi dalam konsensi pangan, kita menjadi negara yang berkekurangan dan menderita. Lebih mengherankan lagi kita tergolong negara yang mengalami swasembada beras hanya sekali pada 1984. Beras, gandum, jagung, kedelai, ubi, bawang putih, kacang tanah, gula, semua kita impor. 21,9 juta ton di 2014 menjadi 27,6 ton 2018” komentar Emil.
Emil mengatakan bahwa problem utama yang saat ini dihadapi Indonesia adalah kapasitas birokrasi mengelola sumber daya alam. Emil mempertanyakan besarnya porsi kebijakan sektor ekstraktif daripada sektor pertanian, kehutanan dan perikanan. Padahal, ketiga sektor yang disebut terakhir itu justru menyumbang PDB pada kuartal pertama nyaris tiga belas persen dibandingkan sektor pertambangan ekstraktif yang hanya mampu menyentuh angka enam persen.
“Tapi mengapa di dalam perkembangan pengolahan resource, bidang pertambangan tancap tinggi, sementara pertanian terhambat. Buktinya RUU Minerba tiba-tiba mulus sekali dan di dalam kemulusan itu kita termenung, ada pasal bahwa perusahan-perusahaan yang ada otomatis berlanjut” jelas Emil.
Emil menyarankan supaya pemerintah mempertimbangkan dengan baik-baik kebijakan sumber daya alam yang telah diambil. Apakah kebijakan itu berbuah kesejahteraan bagi rakyat atau justru berdampak buruk pada ketahanan pangan. Apalagi, menurut Emil, Indonesia akan menghadapi bonus demografi pada tahun 2040. Hal ini tentu berkaitan langsung dengan persediaan pangan yang tercukupi secara nasional. Menurut Emil, paradigma kebijakan sumber daya alam harus adil dan berorientasi pada kesejahteraan banyak orang serta daya tahan ekosistem lingkungan hidup.
Menutup ceramah, Emil berpesan tiga hal untuk pemerintah. Pertama, perbaikan dan peningkatan kualitas pendidikan serta prasarana umum seperti listrik, air dan jaringan telekomunikasi harus maksimal. Perbaikan pada sektor pendidikan akan bertautan langsung dengan pemerataan kesejahteraan. Sedangkan perbaikan akses atas prasarana umum merupakan syarat mutlak pelayanan pada hajat hidup orang banyak.
Kedua, menurut Emil, pemerataan pembangunan harus selalu memperhatikan konteks budaya, adat, alam, dan keragaman wilayah di seluruh Indonesia. Penyeragaman agenda pemerataan pembangunan jangan sampai salah kaprah. Sebab paradigma dan potensi antar daerah berbeda-beda.
“Singkatnya Indonesia bisa maju karena kekayaan alamnya sangat subur. Pola pikir Bhineka Tunggal Ika. Jangan Jawasentris. Kembalikan penggunaan SDA sesuai dengan posisi ekosistemnya didukung SDM yang memungkinkan Indonesia mencapai kesejahteraan bangsanya. Jadi kata kunci memahami kekayaan Indonesia adalah keanekaragaman, diversity,” imbuh Emil menyitir tiga perbedaan wilayah Indonesia yang tidak bisa dipukul rata” ujar penerima penghargaan bergengsi internasional Blue Planet Prize dan The J. Paul Getty Award for Conservation Leadership itu.
Terakhir, Emil berpesan bahwa kedaulatan pangan hanya bisa diwujudkan dengan kebijakan yang berpihak pada petani. Baik dalam konteks kualitas teknologi pertanian maupun kesejahteraan petani. Bagi Emil, peran penting petani sangat besar bagi pertumbuhan nyata ekonomi Indonesia.
“Nilai tukar petani jika dihitung antara 105 hingga 108 dari hasil produknya tetapi ongkos yang dikeluarkan 100. Sehingga sulit mengembangkan pendidikan anak, kesejahteraannya kebudayaannya. Di perkebunan 130 ongkosnya 100. Berarti produsen pertanian pangan kita mendapatkan imbalan yang tidak memadai karena itu (mereka) tertinggal. Petani kita tidak bodoh. Buktinya swasembada pangan tahun 1984. Kuncinya mendidik petani. Terbesar jumlah tenaga kerja 60 persen masih petani. Naikkan kualitas petani, maka seluruh bangsa akan naik juga” tutup Emil. (afn)