Minggu, 19 Mei 2024
Home/ Berita/ Teladan 111 Tahun Muhammadiyah: Dari Wakatobi hingga Papua

Teladan 111 Tahun Muhammadiyah: Dari Wakatobi hingga Papua

MUHAMMMADIYAH.ID, YOGYAKARTA – Berdasarkan kalender tahun hijriyah, Muhammadiyah telah berusia 111 tahun. Dengan demikian, sudah lebih dari satu abad, organisasi keislaman ini mengusung misi dakwah pencerahan dan pembaharuan. Melalui ribuan amal usaha berupa lembaga pendidikan, kesehatan dan filantropi yang tersebar di seluruh Indonesia, Muhammadiyah berupaya semaksimal mungkin menjawab tantangan zaman. Hal ini tidak lain sesuai dengan amanat pendirian Muhammadiyah pada tahun 1912, yakni menjadikan Islam sebagai rahmat bagi alam semesta. 

Hal tersebut disampaikan Haedar Nashir, Ketua Umum PP Muhammadiyah dalam Refleksi Milad ke-111 Muhammadiyah di Pimpinan Daerah Muhamamdiyah (PDM) Bantul pada Selasa (28/7) melaui Webinar Daring.

Haedar Nashir, menegaskan bahwa Muhammadiyah telah berupaya menjadi teladan yang baik dan bermakna bagi kehidupan keummatan, kebangsaan, kemanusiaan dan alam semesta. Maka wajib bagi Muhammadiyah tampil terdepan dalam memberikan pelayanan keagamaan, sosial, budaya, ekonomi, perbaikan lingkungan, melalui prinsip Islam Wasathiyah. Bagi seluruh warga persyarikatan Muhammadiyah, organisasi adalah sarana berdakwah multiaspek

Bahkan kata Haedar, ketika situasi nasional penuh dinamika menjelang Piplres tahun 2019, Muhammadiyah tidak goyah dan tetap solid. Apalagi pada saat itu, gelombang polarisasi politik begitu terasa di ruang publik. Kendati demikian, banyak warga persyarikatan Muhammadiyah yang berhasil menunjukkan sikap kedewasaan dan moderat demi menjaga nuansa persaudaraan. Bahkan tidak jarang, demi menjaga ukhuwah keummatan, warga persyarikatan berupaya menghilangkan perbedaan pandangan politik.

“Nah semua ini terjadi karena fondasi yang diletakkan oleh Kiyai Dahlan dan generasi sabiqunal awwalun (generasi awal) itu begitu kokoh,” kata Haedar.

KH. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, menurut Haedar adalah teladan bagi seluruh warga persyarikatan. Menjelang akhir hayat, KH. Ahmad Dahlan menolak mengurangi aktivitasnya dari Muhammadiyah. Bahkan ketika kondisi sakit pun, KH. Ahmad Dahlan tidak ingin beristirahat. Pernah suatu kali saat para murid dan sahabatnya meminta beliau untuk beristirahat, KH. Ahmad Dahlan menjawab, “Saya sedang meletakkan pondasi dari pergerakan kita yang penting ini kalau tidak saya tuntaskan pondasi ini maka nanti akan menjadi berat bagi yang akan datang tetapi kalau saya selesaikan maka yang sedikit dari apa yang tersisa itu akan lebih mudah ditunaikan oleh generasi sesudah saya.”

Bagi Haedar, teladan utama dari KH. Ahmad Dahlan adalah menyusun fondasi kokoh organisasi. Terbukti, meski telah berusia lebih dari satu abad, fondasi Muhammadiyah masih kokoh dan berkelanjutan. KH. Ahmad Dahlan menurut Haedar memiliki pemahaman mendalam mengenai masa depan umat dan bangsanya. Betapa beliau telah berhasil merumuskan suatu bentuk organisasi yang berdaya tahan dengan spirit memberikan dan mencerahkan kehidupan. Maka wajar jika Muhammadiyah merupakan satu-satunya organisasi Islam yang tersebar merata di seluruh nusantara. Sebab, Muhammadiyah sangat inklusif dalam berbagai hal, sehingga penerimaan atas Muhammadiyah lebih luas. Bahkan belum lama setelah Muhammadiyah berdiri di Kauman, Yogyakarta, para mubaligh Muhammadiyah sudah diterima berdakwah dan mengembangkan organisasi hingga ke masyarakat pesisir dan pegunungan Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, Maluku, dan kawasan Timur.

Muhammadiyah, Wakatobi dan Papua

Masih dalam forum milad daring bersama PDM Bantul, guru besar sosiologi UMY ini menceritakan pengalaman menarik tatkala berkunjung ke Wakatobi, destinasi terkenal bagi turis Eropa dan Asia. Di Wakatobi kata Haedar, sudah ada sekolah Muhammadiyah yang didirikan oleh Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM). Mengejutkan bahwa di sana Muhammadiyah sudah punya lembaga pendidikan dan aktif mengadakan kegiatan keagamaan dan sosial. Menurut Haedar, seperti itulah cara Muhammadiyah berbakti pada bangsa Indonesia, bergerak tanpa henti menjadi suluh peradaban.

Muhammadiyah tidak cuma gerakan perkotaan sebagaimana banyak orang menduga. Sebab, Muhammadiyah juga dikenal punya sekolah hingga ke kawasan pesisir dan menjangkau hingga masyarakat adat. Wakatobi adalah salah satu kisah mengenai kehadiran Muhammadiyah di kawasan kepulauan. Maka wajar jika Muhammadiyah juga punya “warga persyarikatan” yang berasal dari agama berbeda. Hal ini lumrah karena Muhammadiyah memiliki amal usaha berupaya sekolah dan perguruan tinggi di daerah mayoritas Kristen seperti di Papua dan NTT. Tapi itu tidak pernah menjadi kendala. Bahkan, merupakan praktik keberagaman yang otentik lahir dari keterbukaan Muhammadiyah mengabdi bagi bangsa.

Haedar bercerita, ketika ia tiba di Pulau Arar Papua, sambutan hangat dari warga sangat terasa. Mereka menerima rombongan Haedar dengan mempersembahkan tarian adat. Bukti bahwa Muhammadiyah juga mendapatkan tempat bagi masyarakat Papua. Penerimaan semacam itu lahir karena Muhammadiyah lebih dikenal sebagai gerakan pendampingan masyarakat yang berbuat karena inisiatif sosial, bukan atas program bantuan dan lain sebagainya. “Luar biasa, ketika kami menyebrang ke situ disambut oleh kelompok non-muslim dengan tariannnya dan sebelum memulai acara Muhammadiyah,” kenang Haedar.

Di Pulau Arar Muhammadiyah sudah mendirikan TK ABA, SMP dan SMA Muhammadiyah. Keberadaan sekolah Muhammadiyah menjadi kebanggan penduduk setempat sehingga mereka tidak perlu menyebrang ke pulau lain. “Dan menariknya, ketika warga non-muslim bangun gereja, warga Muhammadiyah turut serta ikut membantu, dan ketika warga Muhammadiyah bangun masjid warga non-Muslim ikut membangun,” kata Haedar. 

Poin pentingnya, kata Hedar adalah Muhammadiyah bisa diterima masuk dan berbau dengan berbagai karakter bangsa yang ada di Indonesia. termasuk dengan perbedaan sosial, geografis, ekologi dan kepercayaan. Setidaknya, amanah KH. Ahmad Dahlan bagi aktivis Muhammadiyah untuk menyebarkan dakwah pencerahan sudah terlaksana sedikit demi sedikit. KH. Ahmad Dahlan tentu tidak membayangkan bahwa Muhammadiyah akan sampai kepelosok-pelosok terjauh seperti itu.

Haedar mengatakan bahwa keberadaan Muhammadiyah menunjukkan karakter alamiah organisasi ini yang sangat inklusif dan penuh inisiatif. Sehingga Muhammadiyah bahkan bisa hadir hingga ke perbatasan terpencil di ujung kawasan timur Indonesia tersebut. Muhammadiyah punya ranting di antara perbatasan Papua Nugini dan Merauke. Jaraknya bahkan lebih jauh daripada tempat pembuangan Mohammad Hatta, proklamator kemerdekaan RI, yakni Digul. 

“Saya tidak bisa membayangkan bagaimana Muhammadiyah sudah tersebar seluas itu, dan menembus kawasan terjauh. Bahkan Muhammadiyah ada di Merauke pada tahun 1926. Nah, kondisi ini mengambarkan betapa Muhammadiyah telah menjadi harokatul islam yang bisa menembus batas-batas wilayah batas batas golongan dan suku bangsa,” kata Haedar.

Reporter            : Andi

Editor                  : Fauzan AS

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *