Kamis, 16 Januari 2025
Home/ Berita/ Muhammadiyah dari Kacamata Seorang Guru Lamongan

Muhammadiyah dari Kacamata Seorang Guru Lamongan

Oleh: Hendra Hari Wahyudi

Belasan tahun yang lalu, saya belum mengerti apa itu Muhammadiyah. Namun saya sudah mulai merasakan kehadirannya ketika orang-orang di sekelilingku mulai berdiskusi mengenai “pedoman organisasi” (AD/ART), “qunut”, hingga tata cara praktis dan khilafiyah seputar ibadah dan praktik muamalah. Sebagian dari mereka sangat getol mempertahankan prinsip dan identitas organisasi, atau yang sering kita sebut fanatik.

Tidak jarang, bagi saya, mereka terlihat ingin memperjelas perbedaan atau sekedar ingin bersaing dengan organisasi lain. Mereka memacu diri untuk tidak kalah dengan “organisasi tetangga.” Pada saat itu saya resah, mengapa orang-orang bersaing semata-mata karena hanya ingin tampak berbeda. Meskipun saya merasa wajar saja jika orang hidup dengan berbagai perbedaan mereka masing-masing. Termasuk berbeda dalam berorganisasi. Waktu itu, saya menyimpulkan secara sederhana bahwa latar belakang orang melibatkan diri dalam organisasi adalah semata ingin mengindentifikasi diri secara berbeda dengan komunitas lain, atau hendak mencari sesuatu dari organisasi tersebut. Motif apa pun sah-sah saja bukan?

Saya kira, mungkin begitu gambaran sebagian orang yang melihat aktivis Muhammadiyah dengan kacamata “luar” dalam kerangka “fanatik berorganisasi.” Mereka cuma menangkap bagian kulit luar yang mudah diperhatikan, yakni bagaimana orang Muhammadiyah memang akan selalu “kelihatan berbeda” atau “ingin menampakkan diri berbeda.” Bagi banyak orang yang belum mengenal Muhammadiyah, mereka cenderung salah memahami apa makna “taat pada organisasi” sebagaimana yang dipahami oleh aktivis Muhammadiyah. Sehingga mudah ditebak, dengan mudah mereka mengkerangkainya sebagai “fanatisme.” Apakah memang demikian?

Saya kira, tidak, dan memang tidak mungkin seperti itu sebagaimana adanya. Sejatinya ghirah bermuhammadiyah tidak sama dengan fanatisme yang sudah terlanjur bernada peyoratif. Apalagi pesan KH. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah jelas: "Kita boleh punya prinsip, tapi jangan fanatik. Karena fanatik adalah ciri orang bodoh." Tidak kurang juga bahwa Muhammadiyah didirikan justru untuk menghentikan budaya “ikut-ikutan” dalam beragama maupun dalam menentukan nasib sendiri dan umat. Sehingga KH. Ahmad Dahlan mengatakan tidak ada yang patut diikuti kecuali kebenaran hakiki dari al-Qur'an dan Sunnah. Manusia tidak mungkin sekedar “ikut-ikutan” dengan apa yang dilakukan manusia lain tanpa landasan yang diyakini sedalam-dalamnya melalui pemikiran dan pemahaman jernih.

Begitulah akhirnya saya kemudian “bertemu” dengan Muhammadiyah. Rasa penasaran mengantarkan saya mencari lebih dalam apa itu Muhammadiyah, sebuah persyarikatan Islam yang didirikan pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H. Perlahan saya mulai belajar prinsip dasar Muhammadiyah, yakni “mengikuti Sunnah Nabi Muhammad Saw.” Dan ternyata, Muhammadiyah tidak cuma mendayagunakan ayat-ayat al-Qur'an atau hadits sebatas hafalan, namun menggunakannya sebagai sumber perubahan sosial. Maka makna tujuan Muhammadiyah mewujudkan masyarakat Islam yang sebenarnya, yaitu yang melakukan amalan sebagaimana isi dari Al Qur'an dan contoh dari Nabi Muhammad SAW, bisa dipahami dengan lebih baik.

Saya juga mulai menangkap makna lain bahwa Muhammadiyah berupaya memadukan ajaran agama dan kemajuan zaman, sehingga sering dikenal dengan jargon gerakan Islam berkemajuan. Bagi Muhammadiyah, inovasi dan kreasi adalah kunci penting dalam melayani umat. Dengan segala kekurangan dan kelebihan, Muhammadiyah setidaknya berusaha sekuat tenaga menghadirkan Islam yang independent, mandiri dan kuat. Bagi Muhammadiyah, jika umat Islam bisa mandiri, maka sebagai komunitas berbangsa-bangsa pun kita akan mampu berdiri dengan kekuatan kaki sendiri. Maka tidak heran, Muhammadiyah dikenal tidak meminta tapi memberi. Dan kalaupun “diberikan”, maka dengan sekuat upaya akan menghadirkan yang terbaik. Contohnya yang terbaru ini adalah berbakti untuk umat dan bangsa selama masa pandemi Covid-19. Itu adalah bukti implementasi konsep “ta’awun” bagi Muhammadiyah. Tentu juga dengan semua bakti Muhammadiyah ribuan Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) berupa lembaga pendidikan (sekolah hingga perguruan tinggi), lembaga pelayanan kesehatan (klinik, rumah sakit dst.) dan gerakan sosial hingga filantropi.

Dari berbagai peranan itulah, akhirnya saya mengetahui dan mengenal apa itu Muhammadiyah. sejak awal berdiri, spirit dakwah yang melintasi zaman dan berlaku “amar ma'ruf nahi munkar” tak hilang ditelan zaman. Sejak dulu hingga kini, Muhammadiyah masih sama dalam spirit berkemajuannya. Kini, makin anyak orang bernaung di bawah “sinar sang surya” dari berbagai latar belakang suku, bangsa dan ada pula yang berasal dari agama berbeda. Namun sinar “sang surya” memancarkan terang kemana pun mengarah. Mungkin ini yang dibilang rahmatan lil alamin, semangat membangun ukhuwah, membumikan ajaran Islam di tengah masyarakat serta memajukan bangsa tak surut diterpa berbagai ujian.

Muhammadiyah telah menjadi teladan hingga di usianya yang ke 111 tahun Hijriyah, selalu menghadirkan yang terbaik bagi umat dan bangsa. Tiada henti memberi untuk negeri, dan tiada pula lelah berbuat untuk sesama. Selalu konsisten dalam bersikap, tanpa perlu berteriak meminta pengakuan, terus bekerja senyata-nyatanya dalam menjaga Indonesia. Muhammadiyah, sebuah nama yang disandarkan pada nama Rasul Muhammad Saw., bermaksud untuk mengamalkan ajaran keutamaan dan keteladanannya. Dengan prinsip “sedikit bicara banyak bekerja”, Muhammadiyah selama lebih dari satu abad memberikan apa yang mampu diberikan bagi negeri. Semuanya demi cinta yang didasari atas iman dan keikhlasan. Saya sendiri semakin menyadari bahwa Muhammadiyah tidak hanya sekedar nama yang dipertentangkan dalam perkara yang tak perlu. Muhammadiyah lebih dari sekedar nama.

Kini banyak orang mengenal Muhammadiyah, meski kadang hanya sebagai organisasi masyarakat. Namun bagi saya sendiri, Muhammadiyah adalah cara dan wadah untuk membaktikan diri untuk agama dan masyarakat. Muhammadiyah bukan aliran agama, sebagaimana yang masih dipersangkakan sebagian kecil orang. Justru Muhammadiyah memberi alternatif pemahaman tentang apa makna agama bagi kehidupan kita pribadi dan sosial. Jadi Muhammadiyah tidak mengajarkan mana yang paling benar, tapi mengajak kita melihat lebih dalam alternatif cita-cita Islam.

Muhammadiyah tidak pernah merasa sebagai organisasi Islam paling benar. Itulah sebabnya organisasi ini sangat terbuka dengan dinamika yang ada. Namun prinsipnnya tetap saja yakni berijtihad untuk mendapatkan sebuah kebenaran. Ketika kita sudah berada dalam sinarnya, sudah sepatutnya kita yang merasa bagian dari Muhammadiyah mengikuti apa yang telah digariskan oleh Persyarikatan. Ini penting, karena dalam sebuah organisasi, solidaritas dan kebersamaan dalam satu sikap sangatlah dibutuhkan. Masuk usia yang ke 111 tahun Hijriyah ini, kita semua yakin bahwa Muhammadiyah tidak akan redup dalam menyinari negeri. Muhammadiyah tidak akan lelah untuk memajukan bangsa. Dan Muhammadiyah, tetap menjadi gerakan Islam yang berkemajuan berdasarkan amanah al-Quran dan Sunnah untuk kemaslahatan umat, mencerahkan semesta, dan memajukan Indonesia.

Selamat Milad Persyarikatan Muhammadiyah yang ke 111 tahun Hijriyah.

*Penulis adalah guru MI Muhammadiyah 06 Tebluru Solokuro Lamongan

Editor: Fauzan AS

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *