MUHAMMADIYAH.ID, YOGYAKARTA - Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah (PUTM) Pimpinan Pusat Muhammadiyah dalam pendidikannya diwajibkan mengabdi 3 tahun setelah selesai masa pendidikan. Pengabdian itu ditempatkan di Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) seluruh Indonesia.
Pada hari Selasa (04/8) di ruang Pusat Syiar Digital Muhammadiyah (PSDM) gedung Pimpinan Pusat Muhammadiyah Yogyakarta, PUTM melepas thalabah-nya ke tempat-tempat pengabdian. Acara yang diadakan secara daring itu, mengundang beberapa AUM yang telah meminta untuk ditempati para thalabah sebagai tempat mengabdi. Permintaan yang masuk pada tahun 2020 ini sebanyak 79 thalabah (46 putra dan 33 putri), tapi PUTM baru bisa memenuhi 49 thalabah (putra 22 dan putri 27).
Busyro Muqaddas, Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengatakan bahwa jarak antara permintaan dan pemenuhan ini memberikan makna perlu dan semakin mendesak untuk dipersiapkan secara matang disemua aspeknya. Permintaan yang meliputi Sumatera sampai Papua, ini bermakna sebaran ulama tarjih semakin dirasakan secara nasional. Ditengah-tengah kebutuhan ulama tarjih yang semakin meningkat di daerah, Busyro berpesan kepada thalabah agar bersikap integratif dalam merespon setiap persoalan, baik yang menyangkut kepentingan dakwah amar makruf nahi mungkar, kepentingan kebangsaan, dan kepentingan kemanusiaan. Islam menjadi bagian kebangsaan, problem kebangsaan pun direspon dalam perspektif Islam.
Sebagai KOPASSUS-nya Muhammadiyah, para thalabah dituntut untuk mempunyai spesifikasi yang secara khusus mampu memadukan pemikiran puritan yang sesuai kemurnian al-Quran dan as-Sunnah dengan perkembangan-perkembangan atau dinamika serta problem yang dihadapi dunia, tidak hanya indonesia. Hal ini dikarenakan umat bahkan dunia memerlukan kehadiran ulama-ulama yang mempunyai spesifikasi tersebut, supaya dapat menjadi problem solving atas masalah-masalah yang ada di tengah-tengah masyarakat.
“Problem-problem yang ada selain pandemi covid-19, ada pandemi politik. Yaitu sistem politik aturan aturan perundang-undangan, kebijakan-kebijakan di bidang politik yang sekarang ini faktanya lebih banyak memberikan atau menghadirkan sistem-sistem politik atau aturan atau tata cara menata hubungan negara dengan rakyatyang tidak sesuai atau belum sesuai dengan tuntunan ajaran agama Islam sekaligus belum sesuai dengan Pancasila, apalagi dengan pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang empat paragraf kalimatnya itu selalu mempunyai nilai-nilai keluhuran yang sejiwa dengan al-Quran dan as-Sunnah”, ungkap Busyro.
Menurut Busyro, problem-problem inilah kemudian melibatkan atau menghasilkan satu proses-proses politik yang disebut dengan proses Pemilu. Proses Pemilu itu sebetulnya lebih merupakan praktIk demokrasi yang transaksional. Demokrasi yang di belakangnya dipengaruhi, diatur, diarahkan oleh kekuatan-kekuatan modal. Akibatnya sistem politik itu menghadirkan kekuasaan yang tidak sesuai dengan prinsip Islam, antara lain prinsip keadilan sosial, sila terakhir dari Pancasila bangsa ini yang sudah final itu.
Selain itu, Busyro juga menyampaikan bahwa Majelis Tarjih dan PUTM sekarang ini sesungguhnya sudah menjadi modal yang cukup strategis, bukan hanya untuk kebutuhan dakwah Islam amar makruf nahi mungkar yang itu hakekatnya kebutuhan secara umum tapi lebih daripada itu. Kepentingan pendidikan ulama tarjih sebagai korps pasukan alim ulama ke dalam kebutuhan-kebutuhan yang akan datang tidak hanya kebutuhan-kebutuhan pendidikan yang konvensional tapi komprehensif.
“Oleh karena itu, di masa yang akan datang Pimpinan Pusat Muhammadiyah dirasa perlu memandang PUTM mempunyai makna yang lebih ditekankan yaitu kebutuhan. Muhammadiyah tidak bisa dilepaskan dari pendidikan ulama tarjih, sama sekali tidak bisa, bahkan lebih memerlukan pendidikan ini, agar dapat disempurnakan dari waktu ke waktu. Disitulah PWM, PDM, dan semua pengelola amanat AUM ikut bertanggung jawab sebagai wajib kifayah ini, bagaimana program PUTM menjadi agenda nasional secara integratif, sistemik holistik sehingga apa yang kita lakukan adalah dalam rangka untuk menciptakan pendidikan pemimpin yang handal dan soleh apalagi saat sekarang ini, bangsa yang seharusnya lebih dipimpin secara profesional berakhlakul karimah”, tegas Busyro.
Busyro juga menambahkan bahwa mempersiapkan kader ulama tarjih berarti adalah mempersiapkan pemimpin yang mampu memimpin dengan ketajaman kalbu dan kepekaan sosial. Kalau tidak begitu, baik sadar atau tidak, bangsa ini tidak akan lagi dipimpin oleh orang-orang yang memenuhi otoritasnya yang ahli tapi akan dipimpin oleh masa depan yang lebih diminati oleh dinasti-dinasti neofeodalisme. Hal itu jelas bertentangan dengan prinsip kepemimpinan dan ajaran Islam.
“Pimpinan Pusat Muhammadiyah perlu menggaris bawahi bahwa PUTM tidak sama sekali berorientasi pada Rupiah, dollar ataupun yang lain. Tidak sebagai ulama atau ilmuwan tukang transaksional yang hanya akan peduli jika melihat nilai rupiah. Namun, sebagai ulama yang mempunyai watak tanggungjawab pada masyarakat. Sudah banyak alumni PUTM yang memiliki watak seperti itu, inilah yang diperlukan oleh bangsa dan Muhammadiyah”, pungkas Busyro.
Senada dengan Busyro Muqaddas, di acara yang sama Syamsul Anwar mengatakan bahwa Majelis Tarjih dan Tajid Pimpinan Pusat Muhammadiyah bertugas melakukan pengakajian agama islam yang dilakuakn oleh orang-orang yang ahli dalam bidang itu. Karena keahlian itu tidak tercipta dengan sendirinya, maka harus juga diusahakan, salah satunya dalam kajiaan itu ialah menyiapkan tenaga-tenaga untuk mengkaji itu sendiri. Itulah yang kami laksanakan melalui pendidikan ulama tarjih.
Di antara tugas Majelis Tarjih selain melakukan pengkajian untuk menuntun masyarakat, baik di dalam atau di luar Muhammadiyah adalahmelakukan pembinaan kader ulama tarjih Muhammadiyah yang diwujudkan dalam kehadiran lembaga pendidikan ulama tarjih. Sesungguhnya PUTM ini berada di bawah Pimpinan Pusat Muhammadiyah, tapi mendelagasikan kewenangan itu kepada Majelis Tarjih dan Tadjdid Pusat untuk penyelenggaranya, Majelis Tarjih dan Tadjdid Pusat membentuk Badan Pembina Harian (BPH) yang bertanggungjawab langsung untuk melaksanakan PUTM.
Mengutip perkataan almarhum Prof. Dr. H. Mukti Ali, “Ulama itu tidak diciptakan, tapi dia hadir, maksudnya ulama itu tidak bisa dididik dia akan jadi dengan sendirinya, tapi proses pendidikan itu penting. Proses pendidikan merupakan saringan bagi siapa yang masuk disitu akan digodok. Nanti keluar ada yang jadi ulama, politikus, atau pebisnis. Ulama tidak akan tercipta tanpa melalui lorong pendidikan itu, PUTM itu adalah salah satu lorong pendidikan. Saya berharap menjadi ulama semua sesuai tingkatnya masing-masing,” ujar Syamsul.
Kontributor: Arief Rakhman Aji