Oleh: Fauzan Anwar Sandiah
Belum pernah ada organisasi Islam yang terang-terangan mendukung Pancasila selain Muhammadiyah. Apalagi jika diukur berdasarkan komitmen teologis, ideologis dan sejarah kerja pelayanan kewargaan. Penerimaan Muhammadiyah atas visi Pancasila tertuang dalam konsep Dar al-Ahdi wa Dar al-Syahadah (secara literer bermakna “negara nasional dan tempat pembuktian atau kesaksian”). Konsep tersebut memang dirumuskan belakangan setelah era reformasi. Tapi bukan berarti Muhammadiyah tidak punya kerangka “pemikiran Pancasila” sebelumnya. Ketua PP Muhammadiyah era 1990an, Prof. Dr. KH. Ahmad Azhar Basyir mengatakan, “sila-sila dalam Pancasila tidak ada yang bertentangan dengan agama Islam” (1993:250). Buya Hamka juga pernah menulis buku Urat Tunggang Pantjasila (1951), buku terpenting untuk meredam ketegangan antara Soekarno dan kelompok Islam selama dekade 1950an. Secara luas penerimaan Muhammadiyah terhadap Pancasila bermuara pada konsep “Baldatun thayyibatun warabbun ghafur” sebagaimana dimaknai dalam AD/ART Muhammadiyah tahun 1954 (Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga) yakni “Negara jang bagus dan Tuhan jang Maha Pengampun.”
Muhammadiyah, Indonesia dan Pancasila
Hubungan Muhammadiyah dan “Indonesia” sebagai suatu imajinasi identitas tentang kesatuan bangsa-bangsa di nusantara sudah dimulai pada tahun 1925. Halaman sampul Majalah Soewara Moehammadijah (sampai sekarang masih terbit) dengan jelas sudah menggunakan kata “Indonesia” tiga tahun lebih awal daripada teks Sumpah Pemuda yang sering dianggap sebagai tonggak Nasionalisme Indonesia. Bahkan kelahiran Indonesia sebagai negara-bangsa dengan proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 juga melibatkan banyak aktivis Muhammadiyah. Bulan Februari 1945, tiga orang “pemimpin Bangsa Indonesia” diberi kesempatan untuk bertemu Kaisar Hirohito untuk membicarakan “janji kemerdekaan.” Tiga orang tersebut yakni Ir. Soekarno, Ki Bagoes Hadikoesoemo dan Drs. Mohammad Hatta. Sebagaimana diketahui, Soekarno dan Ki Bagoes Hadikoesoemo adalah aktivis Muhammadiyah. Soekarno pernah mengurus Muhammadiyah selama pengasingan di Bengkulu pada tahun 1938, sedangkan Ki Bagoes Hadikoesoemo adalah Ketua Umum Muhammadiyah (periode 1944-1953). Aktivis Muhammadiyah lain yang terlibat selama masa-masa penting kemerdekaan Republik Indonesia di antaranya yakni KH. Mas Mansyur, Kasman Singodimedjo, dan Abdul Kahar Moezakir.
Posisi Muhammadiyah terhadap “Pancasila” dan “Indonesia” harus diperhatikan secara khusus. Sebab banyak sejarawan yang menganggap bahwa peran kebangsaan gerakan Islam modernis seperti Muhammadiyah baru muncul pada dekade 1940an. George McTurnan Kahin (Nationalism and Revolution in Indonesia, 1952) misalnya meyakini bahwa sejarah kebangsaan Indonesia lebih terkait dengan trajektori gerakan nasionalis-kultural yang dipelopori kalangan bangsawan dan priyayi di Jawa. Dia mencontohkan visi gerakan pendidikan yang diimajinasikan oleh Raden Adjeng Kartini. Meski menentang Kahin mengenai asal usul nasionalisme di Indonesia, Indonesianis lain seperti Benedict Anderson (Imagined Communities, 1983) juga gagal melihat peran Islam modernis dalam gerakan nasionalisme, dan lebih fokus pada pergolakan krisis pemuda. Di bawah ini akan saya uraikan tiga alasan mengapa “hilangnya” jejak ulama modernis dalam kebangkitan nasionalisme menyimpan masalah.
Pertama, sebagai gerakan Islam modernis yang mendirikan lembaga pendidikan, pers Islam dan pelayanan kesehatan, Muhammadiyah sudah merambah keluar Jawa sejak awal dekade 1920an. Hal ini jelas berhubungan dengan imajinasi geografis penyebaran gerakan Islam dan visi “kebangsaan” yang barangkali belum bisa dirumuskan dalam konteks gerakan antikolonial. Muhammadiyah hingga kini pun masih satu-satunya gerakan Islam non-politik yang punya anggota tersebar di luas di seluruh Indonesia. Belum pernah ada gerakan Islam yang punya daya sebar gerakan keagamaan lebih luas dari Muhammadiyah. Melalui para aktivisnya, pesisir dan kawasan kepulauan di utara Indonesia, Muhammadiyah bahkan sudah punya sekolah lebih awal ketimbang pemerintah pusat dan daerah. Visi “ke-Indonesia-an” Muhammadiyah bahkan terlihat jelas pada penggunaan Bahasa Melayu dalam majalah dan terbitan resmi organisasi. Ada empat Bahasa yang digunakan Muhammadiyah, Bahasa Jawa, Bahasa Melayu, Bahasa Arab dan Bahasa Belanda. Penggunaan empat Bahasa ini jelas adalah tindakan kebahasaan untuk melingkupi sebesar-besarnya pembaca sehingga dengan demikian ada bayangan tentang “bangsa” di sana. Juga merupakan penanda betapa besarnya lingkup yang hendak dicapai oleh Muhammadiyah.
Kedua, gerakan kebudayaan melalui pendidikan tidak satu-satunya digerakkan oleh “nasionalis-kultural” yang disebut Kahin. Pada tahun 1914, KH. Ahmad Dahlan bersama Nyai Siti Walidah mendirikan pengajian Sopo Tresno yang menjadi cikal bakal organisasi Perempuan Muhammadiyah (disebut Aiysiyah) dan inspirasi organisasi perempuan muda di Muhammadiyah (disebut Nasyiatul Aisyiyah). KH. Ahmad Dahlan bersama Nyai Walidah mendirikan mushala perempuan dan pemondokan khusus putri. Tema pengajaran dan pendidikan sangat sentral sejak awal berdirinya Muhammadiyah pada tahun 1912. Karena sosok “nasionalis-kultural” Kahin adalah Kartini, maka kita bisa menyandingkannya dengan Nyai Walidah yang juga istri KH. Ahmad Dahlan. Nyai Walidah termasuk perempuan pertama yang tampil di panggung pada sidang Muhammadiyah tahun 1926. Nyai Walidah turun tangan mendidik perempuan-perempuan muslim muda menjadi pendakwah di kampung-kampung. Mengherankan bahwa peran-peran kultural semacam ini sama sekali tidak terbaca dalam banyak karya penting mengenai asal-usul nasionalisme di Indonesia.
Ketiga, “nasionalisme” sendiri adalah konsep penuh paradoks yang belum sepenuhnya dipahami. Benedict Anderson merumuskan “nasionalisme” sebagai “komunitas terbayang” yang inheren sekaligus berkedaulatan. Kerangka “komunitas terbayang” ini juga bisa diterapkan secara longgar dan jauh dari maksud Anderson. Contohnya dengan membaca bahwa Muhammadiyah senantiasa menyandarkan diri pada doktrin “dan hendaklah di antara kamu ada sekelompok orang yang mendorong pada kebaikan dan mencegah pada kemungkaran” (kutipan arti surat Ali Imran ayat 104, pegangan doktrinal teologis Muhammadiyah). “Komunitas terbayang” itu sebagai “pembayangan yang terbatas” (limited imaginings) adalah kunci memahami asal-usul rasa kebangsaan (bdk. Anderson, 1983). Sepanjang sejarahnya, Muhammadiyah mendoktrin diri untuk terus menerus menjadi suatu bentuk “sekelompok orang” yang punya visi pada “menganjurkan kebaikan” dan “mencegah kejahatan”. Menariknya lagi, pemikiran KH. Ahmad Dahlan banyak berhubungan dengan konsep-konsep keterhubungan antar manusia. Contohnya berdasarkan Schrieke (dikutip dari Nakamura, 1983) KH. Ahmad Dahlan pernah menulis brosur berjudul Kesatuan Manusia yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Belanda oleh R. Kamil menjadi Het bindmiddle der menschen. Landasan doktrin keagamaan dan dorongan sebagai “sekelompok orang” tersebut telah memacu KH. Ahmad Dahlan mengemban watak perubahan sosial baru di Nusantara melalui pendidikan, layanan sosial dan kesehatan. Suatu penemuan modern bagi organisasi Islam yang kemudian disebut “modernis.”
Berdasarkan tiga konteks tersebut, nyaris tidak mungkin melepaskan posisi eksistensial organisasi Islam modernis seperti Muhammadiyah dalam gerakan kebangsaan bagi Indonesia modern. Relasi kebangkitan nasionalisme Islam selain merambah melalui pemberontakan petani dan ulama di pedesaan, juga melibatkan peran intelektual ulama modernis yang menguasai Bahasa Melayu dan Belanda. Sekurangnya-kurangnya hampir semua tokoh dan ulama Muhammadiyah menguasai Bahasa lokal, Melayu dan Belanda. Buku-buku yang ditulis oleh Farid Ma’roef dan KH. Mas Mansur menunjukkan kapasitas yang sulit dibayangkan ada pada masa itu. Mengutip Aiko Kurasawa (Mobilization and Control, 1988), kebanyakan ulama pada masa itu kurang menguasai Bahasa Melayu (dan Belanda). Pada umumnya mereka hanya bisa menggunakan Bahasa Arab dan Bahasa Daerah (Jawa, Sunda dan Madura).
Jadi ada kegagalan besar dalam “menghilangkan” jejak aktivis Islam modernis vis a vis dengan kelompok priyayi. Kelompok yang pertama ini sering dianggap kurang berkontribusi karena alat utama pembangkit semangat nasionalisme adalah penguasaan Bahasa dan huruf latin. Singkatnya kosmopolitanisme itu dianggap sangat terbatas pada kelompok Islam, termasuk yang berhaluan modernis. Kesimpulan ini pada akhirnya nanti akan berhubungan dengan hilangnya jalan nasionalisme yang ditempuh oleh organisasi Islam modernis pada politik identitas Indonesia kontemporer.