Kamis, 16 Januari 2025
Home/ Berita/ Sekolah Muhammadiyah Harus Bisa Menampilkan Daya Tarik Tentang Keislaman

Sekolah Muhammadiyah Harus Bisa Menampilkan Daya Tarik Tentang Keislaman

MUHAMMADIYAH.ID, YOGYAKARTA — Selain sebagai waktu untuk mengambil hikmah, pandemic covid-19 menyadarkan bahwa tidak ada satupun kekuatan di bumi ini yang melampui segalanya, pandemi yang terjadi saat ini juga mengajari manusia untuk semakin beradaptasi dengan teknologi yang membantu tetap berjejaring sosial sesama mahluk.

Menurut Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir, ketika dunia sudah bertengger di atas kemajuan revolusi 4.0 dan akan beranjak ke revolusi 5.0, bangsa Indonesia baru mendaki menuju kemajuan revolusi industri 4.0. itu pun Indonesia masih membutuhkan waktu yang panjang untuk menguasai secara teknis pengunaan teknologi informasi.

“Hikmahnya dibalik itu, teknologi apapun memerluka etika, memerlukan akhlak. Ketika kita berzoom, bermusyawarah memerlukan kejujuran dan etika. Karena itu muktamar Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah diundur, karena kita belum bisa menjamin, pertama, bahwa pandemic ini akan berakhir segera, yang kedua penguasaan iptek itu juga etika, kejujuran dan relasi antar kita yang harus tetap dijunjung tinggi,” kata Haedar pada Jum’at (2/10) dalam acara Lustrum SMA Muhammadiyah 2 Yogyakarta sekaligus perayaan Milad ke 70 tahun.

Termasuk dalam media sosial juga memerlukan etika, menurutnya Media Sosial yang digengam saat ini menjadi sangat liberal. Dalam dimensi dunia maya yang saat ini dialami oleh manusia, banyak mengeser pola sosial antar sesama. Di mana dalam media sosial, manusia akan kehilangan rasa, rasa tersebut biasanya hanya didapatkan melalui relasi sosial secara langsung.

“Dimensi rasa itu hilang. Orang bisa menulis apa saja, mereaksi apa saja, menyebarkan apa saja,” imbuhnya

Haedar menekankan bahwa peran perbaikan dari kerusakan yang ditimbulkan oleh Media Sosial bisa ambi oleh dunia pendidikan. Karena dunia pendidikan bertugas mencerdaskan akal budi, pikiran, sikap, dan tindakan manusia agar tetap berkeadaban luhur dan mulia. Terlebih sekolah atau lembaga pendidikan milik Muhammadiyah yang menjadi pelopor pertama pendidikan Islam modern.

Corak pendidikan yang dirintis oleh KH. Ahmad Dahlan adalah pendidikan yang mengabungkan antara iman dan berkemajuan, juga pendidikan yang mengintegrasikan antara ilmu keagamaan dan ilmu pengetahuan. Di mana keberadaan pendidikan Islam modern yang dibangun oleh KH. Ahmad Dahlan adalah suatu pendidikan yang menyempurnakan atau mengkritik pendidikan tradisional yang masih banyak dianut oleh umat Islam saat itu.

“Semua pendidikan Muhammadiyah memiliki dasar yang sama, yakni mengintegrasikan nilai-nilai dan ilmu pengetahuan keagamaan dengan ilmu pengetahuan umum, dan berbagai aspek kehidupan lainnya,” ungkapnya.

Selain itu, pendidikan Muhammadiyah juga mengintegrasikan antara sekolah, keluarga dan masyarakat konsep bisa disebut sebagai pendidikan holistik. Karena itu, sekolah-sekolah umum yang dimiliki oleh Muhammadiyah sudah seyogyanya bisa menampilkan dan mengekspresikan nilai-nilai ke-Islaman, keMuhammadiyahan, dan ilmu pengetahuan umum yang bisa menjadi bekal bagi generasi bangsa.

Baginya sekolah Muhammadiyah harus bisa menampilkan daya tarik tentang ke-Islaman, keMuhammadiyahan dan ilmu pengetahuan umum yang bisa memberi nilai lebih bagi siapapun yang belajar di sekolah Muhammadiyah. Menuju itu, Haedar menyarankan supaya ada usaha yang lebih kualitatif termasuk dalam pendidikan Al Islam dan Kemuhammadiyahan (AIK).

“Mungkin tidak perlu sangat kuantitatif, tetapi membekas dalam jiwa subyek didik. Mungkin akan sulit menghadrikan anak-anak yang tahfidzul qur’an , tetapi didiklah mereka menjadi orang-orang yang cinta Al Qur’an, tetapi jiwanya jiwa Qur’ani,” tuturnya.

Karena ciri ajaran KH. Ahmad Dahlan dan orang Muhammadiyah bukan hanya soal hafal Al Qur’an, tetapi paham dan mengamalkan Al Qur’an. Ini menjadi pesan spesial KH. Ahmad Dahlan bahwa sebagai muslim harus mampu memahami dan mengamalkan Al Qur’an dalam realitas sosial. Namun tetap harus menghargai semangat  Tahfidul Qur’an yang terjadi, sebagai wujud ar ruju’ ila qur’an wa sunnah. Tetapi porsinya tetap sebagaiamana mestinya.

“Jangan sampai hafal untuk hafal, tetapi melupakan pemahaman dan pengamalan Al Qur’an,” Imbuhnya.

Sementara, dalam konteks ke-Indonesiaan, Haedar menyebut etos keilmuan di Indonesia masih rendah. Dengan sistem yang lemah, pendidikan Indonesia sampai sejauh ini dalam kacamatanya masih tertinggal dari Negara tetangga. Bahkan, yang sangat disayangkan saat ini Indonesia meloncat menjadikan pendidikan seperti pabrik atau multinasional korporasi.

“Lupa bahwa pendidikan Indonesia dasarnya adalah mencerdaskan kehidupan bangsa, mecerdaskan akal budi, mendidik agar akal budi luhur, pikirannya cerdas, dan baru berkeahlian. Kalau hanya keahlian, pendidikan tidak lebih dari pabrik,” tegasnya

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *