MUHAMMADIYAH.ID, YOGYAKARTA-- Hari Ketahanan Pangan Dunia yang rutin diperingati pada tanggal 16 Oktober tahun 2020 bertepatan dengan terjadinya wabah pandemi covid-19 yang sudah berlangsung selama lebih dari 9 bulan.
Menyikapi Hari Ketahanan Pangan Dunia yang jatuh di masa pandemi, Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (Food and Agriculture Organization ;FAO) mengajak supaya dijadikan sebagai kesempatan untuk menyerukan kerjasama dan solidaritas global untuk memastikan ketahanan pangan dan mata pencaharian pertanian, serta kelompok yang paling rentan dapat bangkit kembali.
Terjadinya wabah ini meniscayakan dan meyadarkan publik bahwa, setiap orang memiliki peran dalam mengubah sistem pangan dengan cara mengubah sistem produksi, konsumsi dan pengelolaan sisa makanan. Kemudian inovasi dalam sektor pangan disingkronkan dengan kemajuan Teknologi Informasi (TI), dan didukung oleh kebijakan.
Di masa krisis seperti sekarang dibutuhkan kolaborasi yang besar dalam mengubah sistem pangan untuk menyediakan makanan bergizi yang cukup bagi populasi manusia yang terus berkembang. Selain dilakukan secara perorangan dan kebijakan pemerintah, dampak signifikan yang mampu mengeser dan memperbaiki sistem produksi untuk menjaga ketahanan pangan juga sangat dimungkinkan dilakukan oleh Organisasi Non-Pemerintah.
Menurut Ahmad Romadhoni, anggota Divisi Pertanian Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM) PP Muhammadiyah, lebih jauh menyebut yang dibutuhkan adalah Kedaulatan Pangan yang harus digemakan untuk menciptakan Ketahanan Pangan demi menjaga ketersediaan pangan dan mencukupi gizi bagi populasi manusia Indonesia.
Dhoni menjelaskan, kedaulatan pangan merupakan kondisi dimana sebuah negara dapat mengakses dan mengontrol aneka sumberdaya produktif dan mampu menentukan serta mengendalikan sistem produksi, distribusi, dan konsumsi pangan secara mandiri.
Tidak bisa dipungkiri, konsep kedaulatan pangan adalah respon terhadap kekecewaan pembangunan pangan yang terjadi di berbagai dunia. Karena meskipun pembangunan pertanian dan pangan telah mencapai produksi dan produktivitas yang tinggi, namun sebagian petani terutama yang berasal dari negara berkembang hidup dengan kesejahteraan yang rendah.
Dalam konteks masyarakat Indonesia yang mayoritas matapencahariannya adalah petani, Dosen Fakultas Peternakan UGM ini menyebut bahwa persoalan pertanian di Indonesia saat ini cukup kompleks. Seperti tidak adanya supplly dari hasil pertanian itu sendiri, juga permasalahan kesejahteraan yang tidak kurun terselesaikan. Terlebih di saat pandemi yang terjadi sekarang, persoalan yang dialami petani semakin berlipat.
Hari Ketahanan Pangan yang kali ini diperingati bertepatan dengan pandemi covid-19, diupaya untuk mewujudkan ketersediaan makanan. Karena makanan adalah inti dari kehidupan, landasan kebudayaan dan komunitas manusia. Mempertahankan akses ke makanan yang aman dan bergizi adalah menjadi bagian penting dari respons terhadap pandemi covid-19.
Terutama bagi masyarakat miskin dan rentan, yang paling terpukul oleh pandemi dan guncangan ekonomi yang diakibatkannya. Maka, kerja pemberdayaan yang dilakukan oleh Muhammadiyah melalui MPM benar-benar tidak boleh istirahat. Karena sesuai kredonya, “selama rakyat menderita tidak boleh ada kata istirahat.”
Melihat realitas demikian, Muhammadiyah sebagai suatu gerakan pembaharuan harus tampil dan terampil untuk menginterpretasikan ‘bahasa langit’ berupa Al Qur’an dan Sunnah, supaya tetap berpijak dan diaplikasikan dan memberi solusi pada ‘dinamika bumi’ yaitu realitas empiris. Yang darinya menghadirkan pencerahan, kegembiraan dan kemajuan bagi semesta alam. KH. Ahmad Dahlan, secara operasional maupun organisasional menempatkan sosial reform dan community empowerment sebagai salah satu dari empat bidang garap penting Muhammadiyah. Hal itu tercermin dari pembentukan empat majelis ketika itu, yaitu Majaleis Pengajaran, Majelis Tabligh, Majelis Pustaka, dan Majelis Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO).
Dalam posisi sebagai bagian dari social reform, peran MPM tidak lagi harus berkutat dengan wacana dan pergulatan intelektualisme semata-mata (wilayah idealisme), melainkan perlu diejawantahkan di tingkat praksis sosial yang lebih nyata dan lebih responsif terhadap kebutuhan-kebutuhan masyarakat dan ummat.
Namun catatan di atas masih terlalu sempit jika menyoal tentang ketahanan pangan hanya pada sektor pertanian, karena menyoal ketahanan pangan dalam konteks Indonesia terdiri dari dua yang bukan hanya agraria, namun juga bahari. Namun juga bahari yang digarap oleh para nelayan yang kesejahteranya tidak jauh beda dengan para petani. (A'n)