Jum'at, 17 Mei 2024
Home/ Berita/ Persatuan Indonesia adalah Bagian dari Sejarah Muhammadiyah

Persatuan Indonesia adalah Bagian dari Sejarah Muhammadiyah

MUHAMMADIYAH.ID, JAKARTA – Tidak berlebihan jika Duta Besar Republik Indonesia untuk Lebanon Hajriyanto Y Thohari berpendapat bahwa lembaran sejarah Indonesia adalah lembaran sejarah Muhammadiyah. Pernyataan tersebut diucapkan dalam Pengajian Bulanan PP Muhammadiyah Edisi 15 Agustus 2020 silam.
 
Sejak berdiri pada 1912, Muhammadiyah membawa berbagai terobosan melalui bidang pendidikan, sosial dan kesehatan, yang ditujukan tidak hanya untuk mempersiapkan sumber daya manusia dari kalangan pribumi yang matang dan terdidik sebagai pra syarat mewujudkan kemerdekaan, tapi juga untuk membangun kesadaran kebangsaan.
Sebelum kesadaran untuk berbangsa, berbahasa, dan bertanah air satu sebagaimana tiga poin penting muncul dalam 
 
Sumpah Pemuda 1928, majalah Suara Muhammadiyah pada 1922 telah menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantarnya. Suatu hal yang tidak lumrah karena pada umumnya surat kabar pada masa itu menggunakan bahasa Belanda atau bahasa daerah sebagai bahasa pengantar.
 
Tanpa mengesampingkan andil berbagai kelompok pergerakan pra kemerdekaan lainnya, peneliti sejarah Muhammadiyah Muhammad Yuanda Zara berpendapat bahwa kelahiran Muhammadiyah secara tidak langsung telah mendefinisikan gagasan geografis tentang Keindonesiaan.
 
Pembangunan kesatuan kesadaran antar wilayah sebagai gagasan satu bangsa itu menurut Yuanda tercipta sebagai keniscayaan kasualitas karena dalam gelaran Kongres Muhammadiyah di berbagai daerah yang diikuti oleh bermacam perwakilan suku bangsa meniscayakan terjadinya interaksi pemahaman secara timbal balik di antara mereka.
 
“Jadi, orang-orang yang berada di sekitar Kauman atau Jogja, kemudian menyadari, bahwa mereka itu bisa ke tempat-tempat yang berada di luar kampung halamannya. Sesampainya Muhammadiyah di Sumatra kemudian gagasan tentang tanah air itu sudah meluas tidak hanya tentang Jawa tapi juga sampai Sumatra,” tutur Yuanda dalam kesempatan Pengajian Bulanan PP Muhammadiyah Edisi 18 Oktober 2020.
 
Menjaga Ruh Kebersamaan
 
Sedikitnya lima belas tokoh dari Muhammadiyah dan Aisyiyah telah diangkat sebagai Pahlawan Nasional sehingga melihat lembaran sejarah Indonesia tanpa menoleh pada peran Muhammadiyah dapat dianggap sebagai tindakan yang terputus dan ahistoris.
Kendati Muhammadiyah telah menyediakan modal dalam kemerdekaan, termasuk melibatkan banyak tokohnya di dalam perjuangan pra kemerdekaan, proklamasi, mempertahankan kemerdekaan hingga mengisi kemerdekaan, Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir seringkali mewanti-wanti warga Persyarikatan agar tidak terjebak pada kebanggaan identitas semu yang justru menjadikan aktivitasnya ekslusif dan terpisah dari masalah riil yang sedang dihadapi.
 
Dalam kaitannya dengan semangat momen Sumpah Pemuda, tantangan itu semakin terasa di masa-masa sekarang ini. Menguatnya politik identitas, sektarianisme, oligarki, polaritas masyarakat yang berkepanjangan akibat pesta politik melalaikan sesama anak bangsa untuk merawat persatuan.
 
Peringatan Sumpah Pemuda hanya menjadi rutinitas seremonial tahunan. Bahkan, berbagai masalah kebangsaan yang lebih prinsipil seringkali terabaikan oleh berbagai kegaduhan yang tidak perlu namun menguras energi.
 
Sebagai bagian dari kelanjutan rantai sejarah, watak pencerahan Muhammadiyah dituntut untuk senantiasa muncul menghadirkan jawaban sekaligus solusi konkret tanpa berisik dan narsis sebab dua hal itu justru membuat sekat di antara pihak yang berjuang bersama. (afn)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *