Senin, 06 Mei 2024
Home/ Berita/ Jalan Lurus Islam Berkemajuan

Jalan Lurus Islam Berkemajuan

 

Oleh: A’an Ardianto

Secara ideal, Islam bermaksud menyatukan. Bukan memecah belah. Sejarah kemunculan aliran (firqah) dalam dunia Islam adalah konsekuensi dinamika politik, terutama sepeninggal Nabi Muhammad wafat. Kita tahu, hingga hari ini, wajah Islam menjadi tidak seragam, tergantung pada konteks sejarah sosial dan penghayatan budaya religius masing-masing tempat. Barangkali kita tidak perlu terlalu jauh membandingkan ragam pemikiran keagamaan pada muslim di Amerika Utara dan Afrika Selatan. Mari kita tengok “keragaman” itu di sekitar kita. Ada yang mewajibkan qunut ketika salat shubuh, ada pula yang tidak. Ada yang menganggap vaksin dan musik haram. Ada yang mengembalikannya pada asas kebermanfaatan. Ragam ekspresi memperlihatkan betapa luas ajaran Islam dapat diinterpretasikan dan diperdebatkan.

Keberagaman paham beragama Islam di Indonesia, di tanah air adalah niscaya. Barangkali kita tidak perlu melacak terlalu jauh. Kita bisa melihat kenyataan keberagaman ini sebelum dan setelah masa Orde Baru (1967-1998). Selama masa kepemimpinan Soeharto, kita mengenal Islam melalui entitas komunitas muslim yang “diperbolehkan” mengekspresikan tipe kesalehan tertentu. Bentuk-bentuk kesalehan “Islam politik” yang berakar pada Darul Islam dan Masyumi tidak diperbolehkan. Hanya tipe Islam yang dapat “tunduk” atau “beradaptasi” dengan ideologi Pancasila terpusat ala Orde Baru yang bisa bertahan. Maka selama Orde Baru, banyak komunitas muslim yang tidak cocok dengan Soeharto harus jadi gerakan “bawah tanah.” Sehingga corak aliran keislaman di Indonesia tampak “sedikit” dan tidak beragam. Kita hanya akan menemukan kategori klasik soal “santri,” “abangan” dan “priyayi” atau “modern” dan “tradisional.” Pada 1998, ketika reformasi politik bergulir dengan kemarahan banyak kelas sosial, aliran keislaman perlahan dapat membangun kembali pengaruh sosial dan politiknya di bawah janji kebebasan demokrasi. Sekolah Islam dan simbol-simbol Islam publik tampak makin jelas.

Menarik bahwa selama Orde Baru, identitas Islam telah diseragamkan secara politik dan budaya. Selama era ini berlangsung, Islam telah dikonstruksi dan diakomodasi secara terbatas. Meski pada dekade 1990an, kekuatan kelas menengah muslim dirangkul dengan lebih erat daripada sebelumnya.

Tantangan besar bagi kekuatan otoritas keagamaan lama seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) adalah pergeseran rujukan pemikiran keagamaan. Pertama, Muhammadiyah dan NU selama ini dianggap lebih mengakomodasi tipe kelas sosial tertentu. Contohnya kelas menengah muslim dengan orientasi filantropi sosial cenderung berafiliasi atau menghubungkan identitas keagamaan dengan Muhammadiyah. Bagi kelas menengah muslim berbasis pondok pesantren dan santri pedesaan, banyak yang mengidentifikasi diri atau menghubungkan aspirasi sosial dan politik dengan NU. Tapi perkembangan orientasi keagamaan dan otoritas keagamaan sejak 2000an, sangat dinamis. Cara pandang lama bahwa Muhammadiyah merepresentasikan “muslim perkotaan” dan NU dengan “muslim pedesaan” sudah dapat diperdebatkan secara akademik.

Banyak kajian terkini menunjukkan pergeseran otoritas keagamaan. Bagi banyak kelas sosial menengah ke bawah, posisi otoritas keagamaan lama menjadi berubah terutama yang berkaitan langsung dengan “kesalehan baru.” Apalagi bahwa banyak peran sosial dan kebudayaan semakin didominanasi oleh negara. Meski tentu saja, kontribusi pandangan keagamaan Muhammadiyah dan NU pasca reformasi tetap berperan penting. Tapi revolusi teknologi komunikasi mengubah arena dan relasi antara otoritas keagamaan lama dengan kategori “muslim baru” yang kini sebagian besarnya adalah kelas menengah yang gelisah dan galau, kelas menengah ke bawah yang kehilangan akses ekonomi, sosial dan politik, serta kelas bawah yang tanpa harapan. Dalam situasi seperti ini, “kesalehan baru” yang mampu membawa mereka meyakini suatu harapan tertentu menjadi sangat penting.

Satu aspek penting dari fenomena pergeseran otoritas keagamaan ini adalah berkembangnya platform informasi dan komunikasi digital. Melalui kanal TV, musik, podcast, dan media sosial, formasi otoritas keagamaan baru mampu menjangkau banyak kegelisahan dan harapan banyak warga muslim. Revolusi teknologi memberi kesempatan lebih banyak pada otoritas keagamaan baru.  

Bagaimana Muhammadiyah merespon perubahan-perubahan baru ini? tidak ada jawaban tunggal. Banyak aktivis Muhammadiyah melihat bahwa spirit “Islam Berkemajuan” masih dapat digali terus menerus sebagai landasan moral yang senantiasa kontekstual. Secara konseptual, sumbangan pemikiran keagamaan Muhammadiyah telah berkembang luas. Terutama dalam urusan sosial, budaya, lingkungan hidup, kebangsaan dan politik.

Rumusan-rumusan pemikiran keagamaan Muhammadiyah berupaya mengakomodir banyak aspirasi dan kegelisahan warga muslim. Konsep berkemajuan yang digagas oleh Muhammadiyah memiliki kompatibilitas terhadap arah pergeseran zaman. Sehingga sebagai warga persyarikatan, konsep “Islam Berkemajuan” adalah oase keagamaan yang tidak akan pernah habis dikontekstualisasi dan berakselerasi pada zaman-zaman yang akan datang. Karena “berkemajuan” merupakan sebuah konsep multi-interpretatif yang dapat didayagunakan untuk menjawab tantangan zaman.

Dalam konteks berhadapan dengan keragaman pemahaman keagamaan, warga Muhammadiyah perlu melihat ke dalam dirinya sendiri. Bahwa organisasi ini punya satu resep penting. Masa depan agama dan kekuatan umatnya sangat tergantung pada bagaimana mereka merumuskan tantangan zaman serta mendayagunakan kekuataan yang ada. Bagi warga Muhammadiyah jelas. Rumusan Islam berkemajuan adalah suatu resep dakwah Islam yang hidup dan begitu lekat. Islam berkemajuan adalah suatu pembayangan kolektif bahwa Islam haruslah terus maju, apa pun tantangannya. Islam yang terus maju dengan sehormat-hormatnya.

 

Editor: Fauzan AS

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *