Banda Aceh - Gubernur Aceh, Zaini Abdullah dan Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin, meresmikan penggunaan gedung perkuliahan kampus Universitas Muhammadiyah Aceh. Gedung ini merupakan bantuan pemerintah Selandia Baru yang terdiri dari gedung perkuliahan, perpustakaan dan laboratorium senilai 20 Miliar lebih.
"Dengan dibangunnya gedung baru itu, saya berharap munculnya semangat belajar dan kreativitas mahasiswa sebagai generasi Aceh ke masa depan yang lebih cemerlang, ujar Gubernur Aceh, Zaini Abdullah, Banda Aceh, (4/9).
Dalam sambutannya, Gubernur Zaini Abdullah juga mengatakan, kehadiran gedung perkuliahan baru di Universitas Muhammadiyah Aceh ini mampu membangkitkan energi baru bagi mahasiswa dalam menggapai cita-citanya demi kebaikan Aceh nantinya. Selain itu, ia juga berharap kehadiran gedung baru tersebut bisa terus menjalin hubungan persahabatan dengan Selandia Baru, khususnya di bidang pendidikan.
Adapun peresmian gedung perkuliahan itu ditandai dengan penandatangan prasasti dan pemotongan pita di pintu masuk yang dilakukan oleh Gubernur Zaini Abdullah, Ketua DPRA, Hasbi Abdullah, dan Dubes Selandia Baru untuk Indonesia, Mr. David Taylor.
Syariat Islam Jangan Jadi Momok
Ketua Umum PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin, mengatakan, pemberlakuan syariat Islam di Aceh harus disambut dengan pemahaman Islam secara kafah. Pemberlakuan syariat di provinsi ini akan menjadi model bagi daerah-daerah lain, sepanjang penerapan syariat Islam di Aceh berada dalam konteks peradaban yang maju. Tapi bila salah penerapan, maka syariat Islam akan menjadi momok yang menakutkan.
Hal itu dikatakan Din di sela-sela peresmian gedung baru Universitas Muhammadiyah (Unmuha) Banda Aceh bantuan Pemerintah New Zealand, Kamis (4/9) di Kampus Unmuha, Luengbata, Banda Aceh. Menurut Din, syariat Islam jangan hanya menjadi legalitas formal, tapi haruslah dijalankan dengan sungguh-sungguh oleh masyarakat Aceh.
Aceh katanya, punya ciri khas, memiliki keistimewaan karena keislamannya kuat. Di sisi lain, pemerintah pusat telah memberikan kebebasan bagi masyarakat Aceh untuk menerapkan syariat Islam. Namun, katanya, ada tantangan bagi pemimpin dan masyarakat Aceh yang kalau tidak hati-hati, maka program syariat Islam ini menjadi kontraproduktif. Tapi sebaliknya, bila berhasil akan menjadi nilai positif dan menjadi model bagi daerah lain. Dengan keberhasilan itu, katanya, daerah lain akan mengikuti syariat Islam yang diberlakukan di Aceh.
Menurut Din, prinsip syariat Islam itu mendorong kemajuan, progresif, sesuai dengan watak agama Islam sebagai agama kemajuan. Namun, ketika syariat Islam itu hanya dipahami secara sempit dan konservatif, maka jatuhnya pada hal-hal yang bersifat formalistik (formalitas belaka), berorientasi legalitas formal, dan sangat bersifat fiqiyah.
Ia contohkan pemberlakuan syariat di Aceh seperti larangan bagi perempuan untuk duduk mengangkang di atas sepeda motor di Kota Lhokseumawe, wajib perempuan memakai rok di Aceh Barat, dan hukum cambuk bagi warga yang berjudi, minuman keras, dan mesum (khalwat) adalah pernik-pernik kecil dalam pemberlakuan hukum Islam yang sangat relatif dan harus diterapkan sesuai konteks.
Namun, katanya, yang paling hakiki bahwa kehidupan Islam adalah kehidupan berbudaya maju dan modern. “Harus dipahami bahwa agama Islam adalah agama kemajuan dan peradaban,” ujarnya. (dzar)