Bantul - Perdamaian dunia menjadi persoalan yang menarik perhatian banyak pihak, tak terkecuali akademisi. Namun, upaya penyelesaian konflik antarnegara atau kelompok yang bertikai terkadang tidak mendapat porsi khusus dari pemerintah setempat.
Isu tersebut yang kemudian diangkat oleh mantan Wakil Menteri Luar Negeri, Dino Patti Djalal, saat menjadi keynote speech dalam acara Opening Ceremony Mahathir Global Peace School (MGPS) III: 'Interstate Relation and Global Justice for Peace and Conflict Resolution' di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Acara yang diselenggarakan atas kerjasama Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) dengan Perdana Global Peace Foundation (PGPF) ini akan berjalan selama 10 hari, sejak Senin (1/12) hingga Rabu (10/12).
Dino menyebutkan, di Indonesia, pemerintah daerah maupun pusat tidak memiliki catatan ataupun dokumentasi terperinci mengenai resolusi konflik maupun kearifan lokal (local wisdom) untuk dijadikan pelajaran jika menghadapi konflik serupa di kemudian hari. Padahal, kearifan lokal dapat digunakan sebagai salah satu upaya dalam menyelesaikan konflik.
Apalagi, kata Dino, Indonesia merupakan negara yang kaya akan kearifan lokal yang bisa dipakai untuk resolusi konflik. Sebab dalam kearifan lokal, banyak mengandung kebijakan-kebijakan dalam segala aspek kehidupan, termasuk penyelesaian konflik.
“Indonesia harus bisa menggunakan local wisdom ini sebagai salah satu instrumen penyelesai konflik. Namun yang masih disayangkan hingga saat ini, local wisdom yang berasal dari seluruh penjuru Nusantara ini juga tidak terdokumentasikan dengan baik. Indonesia punya banyak local wisdom, tapi tidak punya indeks atau kategori untuk local wisdom itu agar bisa dijadikan salah satu rujukan dalam membangun kerukunan antar individu maupun kelompok,” papar Dino, seperti dikutip dari laman UMY, Kamis (4/12/2014).
Untuk itu, lanjutnya, acara seperti MGPS menjadi salah satu cara bagi Indonesia maupun negara lain untuk terus menggali upaya-upaya penyelesaian konflik di negaranya. Apalagi dengan adanya keinginan untuk menciptakan perdamaian di dunia.
Dia berpendapat, semua negara juga patut saling mengenal keragaman sosial, tradisi, budaya, dan agama di negara lain. Pendiri Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) itu pun mengimbau masyarakat dunia harus menghadapi era globalisasi dengan pikiran terbuka dan positif.
“Era globalisasi saat ini harus kita lihat sebagai sebuah peluang. Kita punya kesempatan lebih di era globalisasi ini untuk bisa berkiprah di dunia internasional, termasuk upaya kita untuk menciptakan perdamaian,” ungkapnya. (dzar)