Yogyakarta- Kekerasan diSMAN 6 Jakarta yang melibatkan pelajar dan wartawan menunjukkan bahwa kekerasan dalam pendidikan masih massif terjadi di Indonesia. Ini bisa dilihat dari ketika masa awal memasuki sekolah dengan digelarnya Masa Orientasi Siswa yang cenderung melakukan kekerasan ditingkat juniornya sebagai balasan ketika siswa tersebut juga merasakan hal yang sama. Selama system pendidikan cenderung doktrinatif, tidak partisipastif yang melibatkan siswa terlibat dalam proses system yang dibangun disekolah, demikian disampaikan Slamet Nur Achmada Effendy (Ketua Umum PP Ikatan Pelajar Muhammadiyah) di PP Ikatan Pelajar Muhammadiyah kantor Yogyakarta 21/09/2011.
Berikutnya adalah, siswa selalu menjadi objek garapan kekerasan yang terintegrasi dengan alumni dengan berbagai latar kelompok yang dibuat ketika disekolah. Sebagai masa training untuk menjadi anggota harus melalui berbagai fase secara fisik untuk akhirnya masuk sebagai anggota resmi. Nilai-nilai aturan disekolahpun siswa selalu menjadi korban, misal mekanisme aturan disekolah sanksi kepada siswa itu murni dibuat oleh sekolah sepihak tanpa melibatkan pelajar sebagai subjek yang terlibat dalam aturan tersebut. Tidak ada keadilan dalam aturan tersebut, ketika misalnya pelanggaran dilakukan oleh stakeholder lain diluar siswa tidak ada sanksi yang sama dipraktekan kepada siswa ujar Slamet Nur Achmada Effendy.
Slamet Nur Achmada Effendy menambahkan untuk meminimalisir kembali terjadinya kekerasan antar pelajar, maka perlu dilakukan pendampingan teman sebaya sebagai proses advokasi dan membangun kesadaran nilai-nilai humanis dari internal pribadi pelajar itu sendiri. Karena hakikatnya pelajar adalah bukan gelas kosong yang seolah tidak memiliki basis potensi dan nilai dalam diri, pendampingan teman sebaya ini bisa menjadi alternatif mewujudkan lingkungan sekolah yang kondusif karena semua warga sekolah terlibat tanpa melihat dari berbagai latar tingkatan. Guru maupun kepala sekolah hadir sebagai fasilitator ketika berinteraksi secara sosial dan secara akademik disekolah.
Masih menurut Slamet Nur Achmada Effendy, Kemendiknaspun perlu terus menggalakan hakikat pendidikan karakter bukan dengan mengajarkan kekerasan melalui berbagai kebijakan misal RSBI yang cenderung membuat sekat pendidikan sebagai jurang pemisah kaya dan miskin, hal inipun bisa dikategorikan sebuah kekerasan karena memuus hak-hak siswa yang tidak mampu secara ekonomi. Lalu, dalam tahun ajaran baru kedepan kemendiknas harus tegas mengeluarkan aturan larangan MOS disekolah yang mengajarkan kekerasan secara fisik dan psikis kepada siswa baru. Untuk pihak sekolah agar membuat kontrak sosial bersama dengan siswa ketika membuat aturan, sehingga kesadaran itu muncul dan kesadaran dimulai secara kolektif.