BANDUNG -- Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof. Dr. Din Syamsuddin menjadi salah seorang pembicara pada Seminar Nasional tentang Dampak Pembatalan UU No 7 Th 2004 tentang Sumber Daya Air, bertempat di Aula Barat Kampus ITB, Bandung, (15/4/2015). Seminar diadakan oleh Fakultas Teknologi Air Tanah ITB bekerjasama dengan Perhimpunan Ahli Airtanah Indobesia menghadirkan antara lain Prof. Surono, Kepala Badan Geologi Nasional, Dirjen Sumber Daya Air Kementerian PUPR, Kadin ESDM Pemprov Jabar, dan Kadin Perindustrian dan Energi Pemprov DKI Jakarta, dan Ketua ASPADIN, dan seminar ini dimoderatori Prof. Lambok Hutasoit dari ITB.
ITB sengaja mengundang Ketum PPM guna meminta penjelasan tentang alasan Pimpinan Pusat Muhammadiyah menggugat UU SDA ke MK. Sebagaimana diketahui MK telah mengabulkan permohonan PP Muhammadiyah dan sejumlah ormas lain terhadap UU SDA secara keseluruhan. Sebagai akibatnya UU tersebut dinyatakan batal dan UU sebelumnya yakni UU No 11 Th 1974 tentang Pengairan diberlakukan sementara.
Din Syamsuddin dlm presentasinya menjelaskan bhw judicial review terhadap sejumlah UU adalah bagian dari Jihad Konstitusi untuk meluruskan Kiblat Bangsa. Hal ini merupakan, lanjut Din, wujud pelaksanaan dari politik amar makruf dan nahyi munkar yang menjadi salah satu watak Muhammadiyah. Jihad Konstitusi ini adalah amanat Muktamar ke-46 Muhammadiyah di Jogyakarta pada 2010 yg lalu. Sejak 2011 Pimpinan Pusat Muhammadiyah, yang langsung dipimpin Ketum Din Syamsuddin, melakukan Judicial Review terhadap UU Migas yang sebagian besar pasal-pasal jantungnya dikabulkan MK, dan kemudian terhadap UU SDA yang dikabulkan seluruhnya. Ada juga UU lain yg digugat, yaitu UU yang berhubungan khusus dengan Muhammadiyah yaitu UU tentang Rumah Sakit, dan UU tentang Organisasi Kemasyarakatan, yang keduanya juga dikabulkan MK.
Dalam banyak kesempatan Din menyatakan bahwa Jihad Konstitusi tidak boleh berhenti. Maka, pada 20 April 2015, PP Muhammadiyah akan mengajukan gugatan terhadap Tiga Undang-Undang sekaligus, yaitu UU tentang Sistem Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar, UU tentang Penanaman Modal, dan UU tentang Ketenagalistrikan. Ketiganya dinilai Muhammadiyah, bertentangan dengan UUD 1945 khususnya Pasal 33. Hal inilah, menurut Din, telah meruntuhkan kedaulatan negara, dan merugikan rakyat warga negara, serta hanya membuka pintu kepada liberalisme ekonomi yang mendorong merajalelanya neo-imperialisme dan neo-kolonialisme di Indonesia. Jihad Konstitusi tidak boleh berhenti karena ada sekitar 115 UU sejak Era Reformasi yang menyimpang dari UUD 1945, dan proses pembentukannya sangat dipengaruhi kepentingan luar.
Seminar Nasional di ITB memberi apresiasi terhadap presentasi Ketum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin. Sebagaimana dikatakan Prof. Sudarto Notosiswoyo, Ketua Panitia Pengarah Seminar, penegasan Ketum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin adalah komitmen moral penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.(mst)