Jum'at, 17 Mei 2024
Home/ Berita/ Menyoal Transparansi Negara, Muhammadiyah Terus Cari Keadilan untuk Siyono

Menyoal Transparansi Negara, Muhammadiyah Terus Cari Keadilan untuk Siyono

JAKARTA -- Isu pemberantasan terorisme tidak ada habisnya untuk diperdebatkan. Begitu pula penguakan motif di balik aksi sergap terduga teroris Siyono yang dilakukan oleh Detasemen Khusus Antiteror 88 (Densus 88) Mabes Polri.

 

Siyono adalah warga Dukuh Brengkungan, Desa Pogung, Kecamatan Cawas, Kabupaten Klaten. Siyono ditangkap pada 8 Maret 2016. Tiga hari setelahnya, dalam penahanan, Siyono ternyata dikabarkan meninggal dunia. Kasus kematian Siyono pun ternyata berdampak panjang.

 

Pimpinan Pusat (PP) Pemuda Muhammadiyah yang sejak awal mendampingi Komnas HAM untuk menguak misteri ini, mengundang pegiat HAM untuk berdiskusi dalam Diskusi Seri 8 Madrasah Antikorupsi (MAK), di Pusat Dakwah Muhammadiyah, Jakarta, Jumat (29/4).

 

"Di belakang itu (kasus Siyono) ada yang namanya perburuan rente," ujar Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak menanggapi persoalan dana perburuan teroris. 

 

Suratmi, istri Siyono, Dahnil mengatakan, sempat menerima sejumlah uang dari pihak tertentu. Namun, uang itu akhirnya diserahkan kepada Muhammadiyah untuk ditelusuri kejelasannya. Dalam jumpa pers di Jakarta, Ketua PP Muhammadiyah Busyro Muqoddas dan Komnas HAM membuka amplop yang berisi uang itu. Terhitung, uang tersebut berjumlah Rp 100 juta.

 

Di sinilah, terang Dahnil, timbul kecurigaan terhadap motif diberikannya uang tersebut. "Potensi korupsi dalam isu terorisme itu sangat besar di uang itu," ujar Dahnil menambahkan.

 

Dahnil memberitahukan, ternyata uang yang diberikan kepada Suratmi diterima dari tempat yang berbeda-beda dan bukan bersumber dari satu rekening. "Ini kecerobohan pihak Densus juga," ujar Dahnil.

 

Sementara itu, terkait sumber uang tersebut, pegiat HAM Todung Mulya Lubis mengatakan, Densus 88 hingga kini pun belum memberikan tanggapan. Dan ini, menurut dia, Densus 88 tidak transparan. "Minim transparansi, minim akuntabilitas," kata Todung yang juga menjadi narasumber dalam diskusi tersebut.

 

Transparansi yang dimaksud, kata Todung, bukan berarti harus mengungkapkan semua kasusnya di media. Namun harus ada keterbukaan dari Densus 88 agar kejanggalan terhadap uang sepuluh gepok tersebut menjadi jelas.

 

Todung pun memberikan masukannya agar pemerintah dan pihak luar, masyarakat sipil, juga turut andil dalam hal pemberantasan terorisme. "Kita tidak ingin Densus 88 jadi monster yang tidak jelas dalam tindak pidana terorisme ini," kata Todung

 

Dalam hal ini, Koordinator KontraS Haris Azhar turut memberikan pandangannya soal transparansi institusi antiteror milik pemerintah Densus 88. "Berani gak liat profil orang-orang Densus?" kata dia menantang DPR RI untuk bertindak mengetahui seluk beluk Densus 88.

 

Haris menuturkan, kontrol DPR RI terhadap kinerja Densus 88 belum memuaskan. Itu terlihat belum adanya transparansi dari Densus 88 tersendiri, dalam hal apapun, terkhusus soal siapa dan karakter apa saja mereka yang menjadi anggota Densus 88 itu.

 

"Kontrol itu macem-macem. Politik di parlemen sampai Presiden," terang dia. Ia juga mengungkapkan kekecewaannya terhadap Komnas HAM karena kurangnya perlindungan terhadap seorang teroris ataupun terduga teroris.

 

Dalam kesempatannya, Haris menyinggung operasi intelejen yang ada. Soal operasi intelejen, menurut Haris, pasti memerlukan sumber keuangan yang besar. Dan ini, kata dia, juga pasti dibutuhkan oleh Densus 88. Hal inilah, Haris mengharapkan, agar sumber keuangan Densus 88 itu dibuka dengan transparan.

 

Di sisi lain, Komisioner Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM), Manager Nasution menduga, banyak pelanggaran HAM yang terjadi dalam kasus Siyono. Diantaranya, kata dia, yaitu hak hidup dan hak tidak disiksa yang diduga diabaikan oleh negara dalam hal ini Densus 88.

 

"Yang sedang kita gugat itu peran negara," ujar Manager  menyoal kasus Siyono dalam diskusi Madrasah Antikorupsi Pemuda Muhammadiyah ini.

 

Manager pun membeberkan runtutan kejadian mengenai sangkut pautnya Muhammadiyah sebagai organisasi Islam yang membantu mencari keadilan untuk Siyono.

 

Sebelumnya, Siyono diakui oleh Kepolisian Republik Indonesia (Polri) telah diautopsi. Ternyata, kajian yang dilakukan Komnas HAM bekerjasama dengan tim forensik Muhammadiyah, Siyono disimpulkan belum pernah diautopsi. Ini dibuktikan dengan detail setelah tim forensik mengautopsi jasad Siyono di Klaten.

 

Komnas HAM melakukan tindakan itu, menurut Manager, demi melindungi hak istri Siyono yang merasa tidak berdaya untuk melakukan autopsi sendiri dalam rangka mencari keadilan. 

 

Seusai autopsi di Klaten itu, keluarga Siyono berusaha untuk membentuk aliansi dengan kekuatan masyarakat sipil. Itu untuk memperjuangkan keadilan terhadap kasus Siyono.

 

"Negara tidak hadir saat itu," kata Manager menegaskan. Komnas HAM, ucap Manager, mensyukuri dengan adanya dokter dari Muhammadiyah sehingga mempermudah Komnas HAM untuk melakukan autopsi dan mengembalikan keadilan yang hilang dari mata masyarakat.

 

Keterangan dari Polri, Siyono meninggal dunia disebabkan pendarahan di rongga kepala bagian belakang. Itu akibat benturan, yang versi Polri, setelah Siyono menyerang anggota Densus 88 di dalam mobil.

 

Sementara itu, hasil  autopsi tim forensik PP Muhammadiyah bekerjasama dengan Komnas HAM, disimpulkan Siyono meninggal dunia dikarenakan adanya benturan benda tumpul ke rongga dada.

 

Siyono pun meninggal, dengan kelima anaknya yang masih hidup diasuhan sang istrinya, Suratmi.

 

Undang-Undang Terorisme dan Orang Dekat Teroris

 

Terorisme memang merupakan tindakan brutal dan membabi buta untuk menciptakan rasa takut di masyarakat. Dan ini, justru mengundang kembali wacana pembahasan Undang-Undang Terorisme.

 

Ketua Pansus Undang-Undang Terorisme, Raden Muhammad Syafii mengatakan, orang-orang yang menjadi teroris banyak yang berpendidikan rendah. Teroris, kata dia, umumnya hanya lulusan SMP, SMA, atau bisa jadi S1.

 

Dan, menurut dia, tidak ada seorang profesor atau ustad yang memilih untuk menjadi teroris. Ironisnya, Syafii melanjutkan, yang pendidikannya kurang itu mendapatkan intimidasi dan dituntut untuk menjadi teroris oleh situasi.

 

Stigma negatif terhadap teroris, ia memberitahukan, terus menguat yang juga berdampak pada keluarga teroris. Bahkan, lebih jauh lagi, kata dia, seseorang yang diduga sebagai teroris dan sudah dibui berefek luas pada orang terdekatnya. "Masih dugaan tapi udah dieksekusi," kata Syafii menyesalkan.

 

Ia menuturkan, waktu yang digunakan untuk penangkapan terduga teroris pun sangat tidak wajar. Masa penahanan, kata Syafii, bisa memakan waktu 6 bulan. Ditambah waktu pemeriksaan, waktu penuntutan dan rangkaian proses pembuian tersebut bisa mencapai 1 tahun 7 bulan. Dimana, terang dia, dalam kurun waktu tersebut keluarga terduga teroris sudah berpotensi dicap buruk di lingkungan masyarakat.

 

Peraturan mengenai pemberantasan terorisme yaitu Undang-undang  No 1 tahun 2002 kemudian disahkan dengan Undang-Undang No 15 tahun 2003. Nyatanya, ujar Syafii, peraturan tersebut masih dirasa kurang.

 

Karena itu, menurut Romo biasa Syafii disapa ini, harus ada perlindungan hukum yang jelas bagi terduga teroris. Dan juga, kata dia, harus ada pengawas yang benar-benar mengawasi kinerja Badan Penanggulangan Terorisme (BNPT). (Reporter: Ilma Aghniatunnisa/ Redaktur: Ridlo Abdillah)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *