Pertanyaan Dari:
M. Hamdah selaku Pemandu Diskusi
Tanya:
Pada tanggal 14 Desember 1997 pukul 19.00 BBWI bertempat di Masjid Thoriqul Jannah, Tawangsari, Kecamatan Trowulan telah diadakan pengajian dan dialog oleh Majlis Tablig PDM Kabupaten/Kodia Mojokerto yang dihadiri oleh semua Piinpinan Muhammadiyah, Aisyiyah, NA, Pemuda Muhammadiyah dan IPM tingkat Cabang dan Ranting sewilayah Kecamatan Trowulan. Dalam acara dialog tersebut ada beberapa pertanyaan yang diajukan. Alhamdulillah PDM Majlis Tablig Kodia Mojokerto telah menjawab pertanyaan jama’ah melalui surat. Tetapi setelah diadakan penelitian dan didiskusikan oleh Bagian Tablig Cabang dan Majlis Taklim al-Huda, jawaban tersebut rupanya bersumber dari ro’yi dan qiyasi.
Oleh karena itu kami menyampaikan beberapa permasalahan yang berasal dari pertanyaan kepada PDM maupun jawaban dari Majlis Tablig PDM Kodia Mojokerto untuk mendapat jawaban yang lebih mendasar dari Majlis Tarjih yang mengasuh Rubrik Fatwa di Suara Muhammadiyah, yaitu sebagai berikut:
1. Apakah ada penjelasan dalam al-Qur’an/Hadis bahwa anak yang belum aqil balig berkewajiban melaksanakan perintah agama, seperti: salat, puasa, zakat dan lain-lain? Persoalan ini muncul ketika memahami hadis Nabi saw tentang perintah zakat fitrah:
فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى اْلعَبْدِ والْحُرِّ وَالذَّكَرِ وَاْلأُنْثَى وَالصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ مِنْ الْمُسْلِمِينَ
Apa arti sebenarnya dari kata as-sagir dalam hadis di atas? Apabila kata as-sagir itu diartikan anak kecil yang belum aqil balig, maka arti tersebut berbenturan dengan tujuan zakat fitrah itu sendiri seperti yang tercantum dalam hadis Nabi saw:
فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنْ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ[رواه أبو داود]
Sedangkan kita mengetahui bahwa anak yang belum balig itu belum berkewajiban melaksanakan perintah agama, seperti puasa, zakat, haji dll. sebagaimana hadis Nabi saw:
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ عَنْ الصَّبِيِّ حَتَّى يَبْلُغَ وَعَنْ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَوَعَنْ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَفِيقَ [رواه ابن ماجه]
Bila kata as-sagir tetap diartikan anak yang belum balig yang berarti tidak dapat melaksanakan perintah agama seperti membayar zakat fitrah, lalu kewajibannya dibebankan kepada orang tuanya, maka hal ini berbenturan dengan ayat 164 surat al-An’am:
قُلْ أَغَيْرَ اللَّهِ أَبْغِي رَبًّا وَهُوَ رَبُّ كُلِّ شَيْءٍ ۚ وَلَا تَكْسِبُ كُلُّ نَفْسٍ إِلَّا عَلَيْهَا ۚ وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَىٰ ۚ ثُمَّ إِلَىٰ رَبِّكُم مَّرْجِعُكُمْ فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ
[الأنعام (6): 164]
Tiga hadis di atas dan ayat al-Qur’an itu benar dan sahih, maka untuk menjelaskan kebenaran dan kesahihan ayat al-Qur’an dan hadis tersebut perlu dicarikan arti yang sebenarnya kata as-sagir yang tidak berbenturan dengan arti hadis lainnya dan ayat-ayat al-Qur’an. Apakah mungkin kata as-sagir dalam hadis di atas diartikan orang yang kecil (kerdil) atau orang yang berpangkat kecil?
2. Kata as-sagir dalam hadis di atas oleh PDM Majlis Tablig Kodia Mojokerto diartikan dengan walidul walad. Dalam penilalan kami jawaban tersebut adalah timbul dari pendapat/ra’yu Apakah bisa ra’yu atau qiyas dipakai untuk menetapkan hukum agama? Padahal sumber tersebut dilarang oleh agama sebagaimana sabda Rasul:
لاَ تَقِيْسُوا الدَّينَ فَإِنَّ الدَّينَ لاَ يُقَاسُ وَأَوَّلُ مَنْ قَاسَ إِبْلِيْسُ لَوْ كَانَ الدِّينُ ِالرَّأْيَ لَكَانَ أَسْفَلُ الْخُفِّ أَوْلَى بِالْمَسْحِ مِنْ أَعْلَاهُ لَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ يَمْسَحُ عَلَى ظَاهِرِ خُفَّيْهِ
Artinya: “Janganlah kamu sekalian mengqiyas-qiyaskan agama, sesungguhnya agama itu tidak boleh diqiyaskan dan yang pertama mengqiyaskan agama itu adalah Iblis, dan bila agama itu sekedar dari hasil pendapat orang, maka orang akan berpendapat bahwa mengusap bawahnya khuf itu lebih baik daripada mengusap atasnya khuf, sesunggubnya aku melihat (kata Ali) bahwa Rasul mengusap atasnya khuf.”
3. Apakah sah/tidak sah orang yang berjamaah salat di belakang imam yang ahli bidah, sedang makmum sudah mengetahui bahwa imamnya ahli bid’ah, antara lain setiap salat subuh membaca qunut, suka menambah kata sayyidina pada tiap-tiap membaca salawat Nabi dan beramal agama yang tidak ada tuntunan dari al-Qur’an dan hadis, seperti salat istigasah umpamanya. Hal ini mengingat adanya hadis Nabi dari Khudaifah yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah:
لَا يَقْبَلُ اللَّهُ لِصَاحِبِ بِدْعَةٍ صَلَاةً وَلَا صَوْمًا وَلَا صَدَقَةً وَلَا حَجًّا وَلَا عُمْرَةً وَلَا صَرْفًا وَلَا عَدْلًا يَخْرُجُ مِنْ الْإِسْلَامِ كَمَا تَخْرُجُ الشَّعَرَةُ مِنْ الْعَجْنِ [رواه ابن ماجه]
Artinya:“Allah tidak akan menerima dari ahli bid’ah salatnya, puasanya, sadaqahnya, hajinya, umrahnya, jihadnya, ibadahnya dan tebusannya. Orang ahli bid’ah itu sebenarnya sudah keluar dari agama Islam sebagaimana keluarnya seuntai rambut dari tepung.”
Menurut PDM bahwa berjama’ah salat di belakang imam ahli bid’ah adalah syah dengan mendasarkan pada hadis Nabi:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلُّونَ لَكُمْ فَإِنْ أَصَابُوا فَلَكُمْ وَلَهُمْ وَإِنْ أَخْطَئُوا فَلَكُمْ وَعَلَيْهِمْ
Kami menyayangkan bahwa PDM Majlis Tablig tidak meneliti arti sebenarnya hadis tersebut. Hadis tersebut sebenarnya menjelaskan adanya imam yang meninggalkan salah satu dari rukun sholat (bukan soal bid’ah). Lihat Sohihul Bukhari juz I sahifah 128 Bab Idza lam yustimmal imamu wa atamma man kholfahu.
Dan baca hadis Nabi:
إِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَإِنَّ أَفْضَلَ الْهُدَي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ وَكُلُّ ضَلَالَةٍ فِي النَّارِ [رواه مسلم]
Menurut kami apabila berjamaah salat di belakang imam ahli bidah itu syah, maka untuk apa kita berjihad mengorbankan sesuatu untuk mencari kebenaran, sampai-sampai membuat masjid sendiri, membuat sekolah sendiri, membuat PAY sendiri dan lain-lain. Kiranya cukuplah gabung saja di masjid-masjid yang sudah ada dan di madrasah-madrasah yang sudah ada demi toleransi, kerukunan dan kedamaian bersama.
Jawab:
Memang benar bahwa anak yang belum aqil balig (balig ditandai dengan ikhtilam/mimpi bagi laki-laki dan menstruasi bagi wanita) belum menerima taklif (bebanan) dari Allah, berdasar hadis Aisyah dari Nabi saw yang telah disebutkan dalam pertanyaan di atas yaitu hadis rufia al-qalam ‘ansalasin … dst.
Meskipun demikian orang tua berkewajiban untuk menyuruh (membiasakan) anak mengerjakan salat sejak umur 7 tahun. Berdasar hadis Amr bin Syu’aib:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُرُوا أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ إِذَا بَلَغُوا سَبْعًا وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا إِذَا بَلَغُوا عَشْرًا [رواه أحمد وأبو داود والحاكم وقال صحيح علي شرط مسلم]
Artinya:“Nabi saw bersabda: Suruhlah anak-anakmu mengerjakan salat bila sudah berumur tujuh tahun, dan pukullah kalau meninggalkannya bila sudah berumur 10 tahun.”
Demikian pula puasa dan amalan-amalan sunnah lainnya, mereka harus dilatih sejak dini. Dengan demikian apabila mereka sudah balig -insya Allah- sudah terbiasa dan tak ada hambatan apa-apa.
Khusus mengenai zakat mal, bila anak-anak mempunyai kekayaan yang mencapai nisab, ia berkewajiban zakat dan walinya yang melaksanakan/mengeluarkan zakatnya dari kekayaan si anak tersebut. Ketentuan ini berdasarkan hadis dari Amr bin Syu’aib, bahwa Nabi saw bersabda:
مَنْ وَلِىَ يَتِيمًا لَهُ مَالٌ فَلْيَتَّجِرْ لَهُ وَلاَ يَتْرُكْهُ حَتَّى تَأْكُلَهُ الصَّدَقَةُ
Artinya:“Barangsiapa mengasuh anak yatim dan mempunyai harta hendaklah diperdagangkan untuk anak itu, jangan dibiarkan habis untuk membayar zakat.” (Hadis ini sanadnya lemah).
Tetapi menurut asy-Syafi’i ada syahidnya hadis mursal. Di samping itu ‘Aisyah pernah mengeluarkan zakat anak yatim yang diasuhnya. Dan para sahabat juga berpendapat seperti itu, yang kemudian diakui oleh Imam Malik, asy-Syafi’i, Ahmad dan Ishaq.
Yang disebut anak yatim adalah anak yang belum mencapai usia balig. Sedangkan mengenai zakat fitrah bagi anak-anak, beban itu dipikulkan kepada orang tuanya, bukan anak itu sendiri. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat Jama’ah (juga riwayat al-Bukhari-Muslim):
قَالَ أَبُو سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ كُنَّا إِذْ كَانَ فِينَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نُخْرِجُ زَكَاةَ الْفِطْرِ عَنْ كُلِّ صَغِيرٍ أَوْ كَبِيرٍ أَوْ حُرٍّ أَوْ مَمْلُوكٍ صَاعًا مِنْ أَقِطٍ ... [رواه البخاري ومسلم]
Artinya:“Kami para sababat di kala Nabi masih berada di antara kami, kami mengeluarkan zakat fitrah dari setiap anak kecil atau orang tua, orang merdeka atau hamba sahaya satu sha’ dari keju ...”
(baca buku Tanya Jawab Agama oleh Tim PP Muhammadiyah Majlis Tarjih jilid IV halaman 192).
Kata as-sagir dalam hadis yang saudara pertanyakan, artinya memang anak kecil atau anak yang belum aqil balig. Sekalipun anak kecil ini belum diperintahkan melaksanakan agama (belum terkena taklif), tetapi khusus dalam soal zakat fitrah diperintahkan kepada orang tuanya untuk mengeluarkannya. Perintah ini tidak bertentangan dengan maksud diperintahkannya zakat fitrah dalam hadis yang saudara sebutkan di atas (farada Rasulullahi saw zakata al-fitri tuhratan li as-saimi ... dst.), karena di antara fungsi zakat fitrah itu selain untuk membersihkan orang yang berpuasa dari kesalahan dan perkataan kotor, juga untuk memberi makan bagi orang miskin (wa tu’matan lil masakin).
Dari hadis ini dapat diketahui bahwa zakat fitrah yang dikeluarkan atas nama anak-anak itu paling tidak mempunyai fungsi sebagai pemberi makan bagi orang miskin. Dengan demikian kewajiban mengeluarkan zakat fitrah bagi anak-anak ini merupakan perintah yang khusus atau sebagai pengecualian menurut ketentuan syara’. Oleh karena itu pula tidaklah bertentangan dengan ayat 164 surat al-An’am yang cakupannya memang umum, sedangkan perintah mengeluarkan zakat fitrah kepada anak-anak yang dalam pelaksanaannya dibebankan kepada orang tua adalah ketentuan yang bersifat khusus. Atas dasar ini pula maka tidak tepat kata as-sagir dalam hadis di atas diartikan kecil dalam arti kerdil atau dalam arti pangkatnya kecil, karena hadis di atas berkaitan dengan perintah zakat fitrah yang konotasinya harta (makanan) yaitu orang yang punya kelebihan makanan pada malam dan siang hari raya Idul Fitri.
Pertanyaan mengenai kebolehan menggunakan ra’yu/qias, dapat kami kemukakan bahwa banyak ayat-ayat al-Qur’an dan hadis yang menganjurkan untuk menggunakan ra’yu/qias, antara lain:
1. Firman Allah:
فَاعْتَبِرُوا يَا أُولِيالْأَبْصَارِ ]الحشر [2:(59)
Artinya: “Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai wawasan.”
Perintah untuk mengambil i’tibar pada akhir ayat 2 surat al-Hasyr di atas berarti (maksudnya) adalah perintah untuk menganalogikan keadaan pada diri sendiri dengan keadaan pada orang lain.
2. Hadis riwayat Ahmad, Abu Daud dan at-Tirmidzi bahwa Nabi saw menyetujui ucapan Mu’az ketika diangkat menjadi qadi di Yaman:
أَجْتَهِدُ رَأْيِى وِلاَ آلُو
(“aku berijtihad dengan pendapatku dan berusaha dengan sekuat tenaga ...)
3. Hadis riwayat al-Bukhari dan an-Nasa’i, bahwa seorang anak boleh melaksanakan nazar haji ibunya yang lebih dahulu mati sebelum terpenuhi. Dalam hal ini Nabi saw mengqiaskan nazar (hutang) kepada Allah dengan hutang kepada manusia. Demikian juga yang terjadi di Indonesia -yang sudah dikerjakan puluhan tahun- yaitu zakat fitrah dengan beras. Bila tidak boleh menggunakan ra’yu/qias konsekuensinya kita harus berzakat fitrah dengan kurma atau gandum, karena yang disebutkan oleh Rasul zakat fitrah itu dengan kurma atau gandum.
Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa qiyas dapat dipakai untuk menetapkan hukum, namun dalam menggunakannya hendaknya mengikuti aturan-arurannya agar tidak tergelincir kepada qiyas yang fasid.
Mengenal salat berjama’ah dan bermakmum kepada imam yang ahli bid’ah, sudah pernah dipertanyakan dan sudah dijawab yang kesimpulannya: Bermakmum salat pada imam yang ahli bid’ah itu ada yang berpendapat salatnya tidak sah, dan ada yang membolehkan.
Bagi yang berpendapat tidak sah beralasan dengan hadis riwayat Abu Daud dan Ibnu Hibban, bahwa Nabi saw melarang imam yang meludah ke arah kiblat. Adapun yang membolehkan beralasan dengan hadis riwayat al-Bukhari bahwa sepuluh orang sahabat pernah makmum kepada orang yang pernah durhaka. Juga hadis riwayat Muslim:
إِنَّ أَبَا سَعِيدٍ اْلخُدرِيِّ صَلَّي خَلْفَ مَرْوَانَ صَلاَةَ اْلعِيدِ وَصَلَّي ابْنُ مَسْعُودٍ خَلْفَ اْلوَلِيدِ بْنِ عُقْبَةَ وَقَدْ كَانَ يَشْرَبُ اْلخَمْرَ وَكَانَ الصَحَابَةُ وَالتَّابِعُونَ يُصَلُّونَ خَلْفَ ابْنِ أَبِي عُبَيدَةَ وكَانَ مُتْهَمًا بِاْلإِلْحَادِ وَدَاعِيًا إِلَي الضَّلاَلِ [رواه مسلم]
Artinya:“Bahwa Abu Sa’id al-Khudri salat ‘Id bermaknum kepada Marwan (ia mendahulukan khutbah dari salat), Ibmu Mas’ud makmum kepada al-Wahid bin Uqbah, ia pernab minum khamr, para sababat dan tabi’in bermakmum kepada Ibnu Abi Ubaidah padabal ia dituduh atbeis dan mengajak berbuat sesat.”
Dalam masalah ini yang menjadi persoalan adalah kriteria “bid’ah”. Apakah meludah ke arah kiblat, membaca qunut pada salat subuh, membaca sayyidina, doa istigasah itu termasuk bid’ah dhalalah yang dilarang oleh Nabi saw dan melebihi orang fasiq/durhaka sehingga tidak boleh jadi imam salat? Tentunya tidak. Oleh karena itu ada sebagian ulama berpendapat makruh bermakmum kepada ahli bid’ah. Yang baik (kalau ada) yang menjadi imam adalah yang memenuhi syarat-syarat jadi imam dan orangnya salih. Tetapi kalau tidak ada dan terpaksa, boleh-boleh saja daripada salat sendirian. Dalam hal ini kita berpedoman pada hadis Abu Hurairah riwayat Ahmad dan al-Bukhari:
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلُّونَ بِكُمْ فَإِنْ أَصَابُوا فَلَكُمْ وَلَهُمْ وَإِنْ أَخْطَئُوا فَلَكُمْ وَعَلَيْهِمْ [رواه أحمد والبخاري]
Artinya: “Mereka itu menjadi imam kamu. Bila benar (salat mereka) maka pahalanya untuk kamu dan mereka. Bila salah, maka pahalanya untuk kamu dan kesalahannya untuk mereka.”