Pertanyaan Dari:

Sdr. Sukarlin Tahuni, NBM. 643832,

Watusalam V/196 RT 06, RW III Buaran, Pekalongan

Tanya:

1.      Pada surat kabar Suara Merdeka, Semarang edisi Rabu 4 Februani 1998 ada tulisan antara lain: “Refleksi atas Dua Penetapan 1 Syawal Ulil Amri dan Arogansi Organisasi”. Isinya antara lain: “Apakah harus salat Ied pada Kamis, 29 Januari seperti yang ditetapkan PP Muhammadiyah atau 30 Januari sebagaimana penetapan Pemerintah … .”

Pada masa khalifah Umar bin Khattab, Umar telah memutuskan puasa disempurnakan 30 hari, tiba-tiba (pada 29 malam atau malam 30) datang seorang Badui yang melaporkan dia melihat bulan (hilal). Apa tanggapan Umar? Dia meminta Badui itu tidak memberi tahu yang lain, namun dia boleh esoknya tidak puasa atau tetap meneruskan puasanya sampai 30 hari dan salat iednya tentu saja bersama-sama.

2.      Seingat saya pada zaman Rasulullah saw pernah terjadi laporan (dari ummat) melihat hilal tanggal 3O Ramadan dan laporan itu sampai ke hadapan Rasulullah saw kira-kira jam 11.00 (sebelum Duhur). Oleh Rasulullah saw Bilal diperintahkan untuk mengumumkan puasa tanggal 30 Ramadan agar dibatalkan (karena ternyata tanggal 1 Syawal) dan salat iednya esok hari (berarti tanggal 2 Syawal).

Pertanyaan saya, asar sahabat Umar ibn Khattab tersebut kuat atau tidak? Sebab bertentangan dengan sunnah Rasulullah saw.

Jawab:

Asar sahabi itu hanyalah merupakan dasar hukum yang bersifat alternatif, artinya boleh pilih apakah mengikuti pendapat Umar, Abu Bakar, Alii, Aisyah dan sebagainya asal pendapat tersebut bersesuaian dengan al-Qur’an dan Hadis. Asar yang anda bawakan itu tidak disebutkan sumber pengambilannya sehingga sulit untuk diteliti kebenarannya. Dalam asar yang anda bawakan itu tercium kelemahannya, yaitu “Umar meminta Badui tidak memberi tahu yang lain”, apakah benar bahwa Umar meminta orang menyembunyikan kebenaran? Kami setuju dengan pertanyaan anda bahwa asar tersebut bertentangan dengan sunnah Rasul.