Sabtu, 20 April 2024

PENETAPAN AWAL BULAN, METODE HISAB MUHAMMADIYAH DAN SHALAT IED DIAM-DIAM KARENA BERBEDA PENETAPAN 1 SYAWAL

Pertanyaan dari:

Saudara Asrir, Tenggiri 12/204 Bekasi Selatan 17144

 

Tanya:

Badan Rukyah dan Hisab Departemen Agama menetapkan 1 Syawal 1418 H pada hari Jum’at, 30 Januari 1998, sedangkan Badan Hisab Muhammadiyah menetapkan 1 Syawal 1418 H jatuh pada hari Kamis, 29 Januari 1998. Sehubungan dengan penetapan awal bulan Syawal dan juga awal bulan Ramadan (surat al-Baqarah ayat 185 dan hadis-hadis tentang rukyatul hilal) perkenankanlah saya mendapatkan informasi perihal berikut:

1.      Apakah terlihat-tidaknya bulan baru (rukyatul-hilal) merupakan syarat sahnya penetapan awal bulan baru? Atau dengan kata lain, apakah 29 atau 30 harinya bulan Ramadan (dan juga bulan Sya’ban) tergantung pada terlihat-tidaknya bulan baru (bulan sabit)?

2.      As-Sayid Sabiq dalam Fiqh as-Sunnah hanya menyebutkan penetapan awal bulan Ramadan dengan rukyatul hilal, dan sama sekali tidak ada menyebut-nyebut berkenaan dengan penetapan secara hisab. Sejak kapankah mulainya penetapan awal bulan Ramadan dengan menggunakan perhitungan hisab dan siapakah pelopornya serta berdasarkan hasil ijtihad siapa?

3.      Data dan metode hisab berbeda dengan data dan metode astronomi, hasilnyapun akan berbeda. Demikian juga data dan metode hisab yang satu berbeda dengan data metode hisab yang lain yang hasilnya juga akan berbeda. Apakah data dan metode hisab yang berbeda-beda itu dapat dipulangkan ke pangkalnya? Dan di mana pangkalnya (sumbernya)? Atau dengan kata lain, apakah ada sumber/induk data dari semua data dan metode hisab yang berbeda-beda itu?

4.      Perhitungan hisab Mansuriyah mengacu kepada data dan metode (tabel) Zaij Sultan Ulugbeik Samarkand (Sulam Nairayain). Data dan metode hisab Muhammadiyah mengacu kepada tabel siapa? Dan di mana pangkalnya/sumbennya? Apakah dapat dipulangkan pada data dan metode astronomi? Di mana pangkal/sumber data tabel Ulugbeik itu?

5.      Dikemukakan bahwa berdasarkan kriteria bulan di atas ufuk, maka hampir seluruh dunia akan berhari raya pada 29 Januani 1998. Tetapi bila menggunakan kritenia rukyat, maka Indonesia kemungkinan besan akan berhari raya pada 30 Januari 1998. Perbedaan akan muncul ketika ada kelompok yang tidak lagi mengakui pemerintah (Menteri Agama beserta Majlis Isbat) sebagai pengambil keputusan tunggal dengan membuat pengumuman sendiri (Republika, Selasa, 23 Desember 1997, halaman 6 ‘Sifat Ijtihadiyah Penentuan Awal Ramadan dan Hari Raya” oleh Dr. T. Djamaludin). Pertanyaan saya: Sah-tidaknya perhitungan hisab apakah memerlukan syahid/dukungan hasil rukyat?

6.      Saya —kata Imam Syafi’i— suka mereka (yang duluan berbuka puasa Ramadan) supaya mengerjakan salat hari raya bagi diri mereka sendiri dengan berjama’ah dan sendiri-sendiri, yang menutup diri. Saya —lanjutnya— melarang mereka bahwa mengerjakan salat hari raya itu dengan terbuka (kitab salat dua hari dalam al-Um as-Syafi’i). Apakah maksud ucapan Imam as-­Syafi’i tersebut?

 

Jawab:

1.      Rukyatul hilal, sebagai salah satu cara untuk menentukan awal bulan qamariah. Cara yang lain ialah dengan memperoleh berita tentang rukyat, menggenapkan bilangan bulan yang sedang berlangsung selama 30 hari (istikmal) dan dengan perhitungan/hisab. Jadi rukyatul hilal tidaklah menjadi satu-satunya cara untuk menetapkan awal bulan.

2.      Penentuan awal bulan dengan hisab dimulai sejak kaum muslimin mengenal Astronomi, yaitu pada zaman Tabiin Besar yang dilakukan oleh mazhab Mutraf ibn Syuhair seperti dinyatakan oleh Ibnu Rusyd dalam kitabnya Bidayah al-Mujtahid juz I halaman 196. Dalam kitab itu disebutkan: “Bila hilal sulit diobservasi maka yang dipegangi ialah hasil hisab, yang merupakan hasil perhitungan peredaran Bulan dan Matahari. Landasan dari hisab ini ialah firman Allah surat Yunus ayat 5:

 

هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ ۚ [يونس (10): 5]

 

Artinya: “Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu) ...”

3.      Bila perhitungan hisab didasarkan kepada sistem dan me­tode yang akurat, hasilnya tidak akan berbeda, kalaupun ada hanyalah pada menit dan detik saja. Hal itu disebabkan karena pembulatan bilangan di belakang koma. Sewaktu-waktu perbedaan itu dapat dikontrol melalui tabel-tabel dan rumus yang dipergu­nakan. Hasil perhitungan hisab yang didasarkan kepada per­hitungan yang akurat itu sudah diuji kebenarannya melalui teori-teori dan observasi, sehingga hasilnya sudah meyakinkan.

4.      Sistem dan metode hisab yang dipergunakan oleh Muham­madiyah didasarkan pada kitab Hisab Urfi dan Haqiqy yang disu­sun oleh K.H. KRT Wardan Diponingrat dan dikembangkan de­ngan sistem dan metode Newcomb, Brauwn, Jean Meus dan teori-­teori astronorni modern yang lain. Metode yang dikembangkan oleh Ulug Beik as-Samarkandi itu bersumber pada Ptolomeus yang menyusun kitab Tabril Majesti. Kitab itu sudah ditinggalkan orang karena masih menganut teori geosentris. Sekarang orang sudah memegangi heliosentris.

5.      Hasil hisab yang dijadikan pegangan pada saat hilal sulit diobservir adalah sah berdasarkan firman Allah dalam surat Yunus ayat 5 di atas dan sabda Nabi saw riwayat al-Bukhari, Muslim, an-­Nasai dan Ibnu Majah:

 

فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوْالَهُ [رواه البخاري ومسلم]

 

Artinya:“Bila bulan itu terhalang untuk dirukyat kadarkan­lah.”

6.      Maksud ucapan Imam as-Syafi’i ialah siapa saja yang berhari raya lebih dahulu supaya bersalat Iedul Fitri secara diam-diam, tidak dilaksanakan secara frontal. Ucapan ini merupakan kebijakan Imam as-Syafi’i sebagai imam dari para pengikutnya. Tetapi Muhammadiyah berpegang pada kaidah yang telah ditetapkan dalam Muktamar dan sudah berjalan bertahun-tahun. Jadi tidak ada keharusan merubah kaedahnya selama belum diadakan perubahan.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *