Selasa, 16 April 2024

Aqidah Islam

Mencerahkan Batin Lewat Membaca Al-Qur’an (1)
Mohammad Damami


Salah satu kegiatan yang utama selama bulan Suci Ramadlan adalah membaca Al-Qur’an. Pada bulan Ramadlan tersebut, di samping umat Islam menyucikan batinnya lewat melakukan shiyaam, juga masih ditambah kegiatan mencerahkan batin. Yaitu dengan cara membaca Al-Qur’an. Bahwa batin yang sedang disucikan perlu segera diisi dengan pesan-pesan dan ajaranajaran yang suci pula dan sekaligus mencerahkan. Apakah benar demikian? Marilah kita ikuti uraian berikut ini.

Dalam Al-Qur’an sendiri disuratkan dan disiratkan bagaimana cara “membaca Al-Qur’an” itu. Kalau kita skemakan, ada 2 (dua) cara besar dalam membaca Al-Qur’ an itu, yaitu: qiraa’ah dan tilaawah. Marilah kita perdalam satu persatu dan sekaligus urutan ini.

Pertama, istilah “qiraa’ah”. Kata ini terambil dari kata kerja qara’a yang semula artinya adalah “menghimpun’’. Dari derivasi makna kata ini sudah  menunjukkan, bahwa dalam kata “qara’a” tersebut ada kemestian untuk memperhatikan apa saja yang sedang dihadapi. Pada dasarnya yang dihadapi manusia itu kalau dipilah secara makro (besar) ada dua, yaitu segala sesuatu yang berupa simbol-simbol yang dipahami manusia dan wujud nyata alam semesta ini. Simbol-simbol yang dimaksud antara lain huruf (aksara), maka di sini manusia berusaha menghimpunnya dengan cara “membaca huruf/aksara” sebagaimana pengertian membaca pada umumnya. Al-Qur’an juga tertulis berupa huruf (aksara) ini.  Karena itu, dalam membaca Al-Qur’an perlu tahu huruf (aksara) Al-Qur’an yang kebetulan berupa huruf (aksara) Arab. Simbol lain adalah angka dan perlengkapannya (seperti tambah, kurang, kali, bagi, akar, pangkat). Di sini manusia mencoba untuk menghimpun sesuatu dengan cara “membaca angka” dengan segala perlengkapannya; dalam pengertian sehari-hari disebut menghitung. Simbol lainnya lagi adalah bentuk-bentuk (seperti bulat, bundar, lonjong, bersegi, panjang/tinggi/panjang/ lebar/tebal/pendek/rendah/ sempit/tipis, tumpul, lancip) dan warna-warni (hitam, putih, merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, ungu). Di situlah manusia mencoba melakukan penghimpunan sesuatu lewat “membaca arti/makna” yang berada di balik segala bentuk dan warna tersebut. Dengan percakapan sehari-hari disebut dengan  menafsirkan. Tiga macam simbol inilah yang paling banyak dan paling disadari manusia ketika mereka mencoba untuk “menghimpun”  (qara’a).

Selanjutnya, manusia juga sanggup “menghimpun” (qara’a) terhadap kenyataan alam semesta, yaitu segala hal yang ada di luar diri  manusia ini entah berupa dunia benda beku (jamadat), benda tumbuh-tumbuhan (nabatat), benda hidup (hayawanat), ruang angkasa yang  berisi planet dan bintang. Benda beku (jamadat) dapat berupa benda padat, cair, dan udara (termasuk eter). Alam semesta ini bak “buku  terbuka” seluas-luasnya dan sebebas-bebasnya tanpa batas. Terserah apa maunya manusia untuk “membacanya”. Dalam bahasa sehari-hari  dipakai istilah membaca tanda-tanda alam. Apa saja yang ada dalam alam ini boleh “dihimpun” (qara’a) menjadi kekayaan pengertian,  pemahaman pengetahuan, dan ilmu. Dengan begitu luasnya cakupan pengertian “qara’a” yang berarti asli “menghimpun”, maka barangkali  itulah sebabnya ayat-ayat Al-Qur’an yang turun pertama kali kepada Nabi Muhammad saw dimulai dengan kata “iqra’” (bacalah!) dan selanjutnya himpunan ayat-ayat yang berupa firman dan kalam Allah SwT disebut “Al-Qur’aan” yang di dalamnya dianjurkan untuk membaca  simbol-simbol dan kitab terbuka berupa alam semesta di atas.

Berdasar uraian di atas, maka “qiraa’ah” terhadap Al-Qur’an tidak pada tempatnya sekedar disempitkan artinya dengan “membaca huruf/aksara” Al-Qur’an (berupa huruf/aksara, Arab) saja, melainkan perlu diperluas  dengan makna kata “qara’a” seperti terurai di atas. Memang, membaca dalam arti sempit, yaitu membaca huruf/ aksara Al-Qur’an telah  dijanjikan pahalanya, namun untuk menangkap “pencerahan” yang dikandung dalam Al-Qur’an barangkali tidak cukup hanya dengan cara  seperti itu. Oleh karena itu, mengingat muatan kata “qiraa’ah” yang berasal dari derivasi “qara’a” di atas, maka mudah dimengerti kalau Al- Qur’an memberikan istilah-istilah lain untuk mengutuhkan pemahaman istilah “qiraa’ah” itu, yaitu: tartil, tadabbur, tadzkir, dan dirasat. Satu  persatu akan diuraikan berikut ini.

Tartil (pelafalan aslinya “tartiil”) berasal dari kata “ratala” yang aslinya berarti serasi dan indah. Di sini yang  dimaksud adalah “membaca huruf/aksara”. Untuk itu perlu serasi dan indah. Artinya, perlu dibaca pelan-pelan, agar jelas pelafalan huruf/ aksaranya (makhraj), jelas kata-kata (kosa kata) dipakai, jelas susunan kalimatnya, dan jelas pokok-pokok pesan yang dimuat dalam susunan  ayat-ayat Al-Qur’an itu. Jadi, dalam tartil ini yang dipentingkan adalah kejelasan dalam membaca huruf/aksara. Sebab, beda pengucapan  (pelafalan) dan beda panjangpendekpembacaan akan berakibat beda arti pesan yang dikandungnya. Karena itu, pembacaan huruf/aksaranya  arus tepat. Dahulu, ketika ayat perintah untuk membaca secara tartil ini turun, masyarakat  Arab masih sering mengukur  kehebatan pesan itu lewat kekuatan sastra. Dengan pembacaan ayat-ayat Al-Qur’an secara tartil, maka pihak-pihak yang belum mempercayai Rasulullah saw menjadi kalah mutu dan kalah mendalam dengan isi pesan yang termuat dalam kata-kata (kosa kata), kalimat, dan gaya  bahasa Al-Qur’an.Mereka menjadi terdiam karenanya. Hal ini, jelas termaktub dalam Al-Qur’an (Q.s.  Al-Muzammil [73]: 4): wa  rattili-’l’qur’aana tartiilan = dan bacalah Al-Qur’an dengan pelan-pelan. Di sini terdapat pembelajaran, bahwa membaca Al-Qur’an itu perlu dengan jelas, pelan-pelan, agar orang lain yang mendengarkannya dapat ikut memahami atau menikmatinya.l BERSAMBUNG

Menu Terkait