Jum'at, 26 April 2024

Tanya Jawab Al-Islam

Haruskah Khatib Jum’at Sekaligus Imam Shalat Jum’at

 

Pertanyaan:

 Kefasihan dan bagusnya bacaan imam shalat, khususnya shalat Jum'at, merupakan daya tarik tersendiri bagi jamaah dan merupakan syiar bagi masjid bersangkutan apalagi kalau masjid itu adalah masjjd besar. Dalam pemahaman yang umum berkembang di kalangan kami, imam haruslah khatib yang berkhutbah pada hari itu. Artinya khatib dan imam bukan orang yang berbeda. Akan tetapi masalahnya adalah bahwa khatib yang bagus khutbahnya tidak selalu baik bacaannya karena dia bukan seorang qari yang bagus. Pertanyaannya dalam kasus shalat Jum'at apakah memang harus imam itu adalah orang yang berkhutbah? Apakah tidak boleh imam dan khatib itu orang yang berbeda?

Ketua PWM Sumbar disampaikan secara lisan (langsung) saat launching (peluncuran) Imsakiah Ramadlan 1432 H di Padang, hari Sabtu, 16 Juli 2011 (Disidangkan pada Jum'at, 19 Ramadlan 1432 H / 19 Agustus 2011 M)

 

Jawaban:

Terima kasih kepada bapak Ketua yang mengajukan pertanyaan di atas Masalah ini banyak ditanyakan dan telah beberapa kali dijawab oleh Majelis Tarjih dan jawabannya dimuat dalam Tanya-Jawab Agama, jilid 3 (terbit tahun 1995) dan jilid 6  (terbit tahun 2010). Pertanyaan ini terkait dengan kebiasaan yang banyak berlaku  di Indonesia di mana kebanyakan masjid  tidak mengangkat imam tetap untuk shalat  Jum'at, sehingga imamnya adalah khatib  yang berkhutbah pada hari Jum'at ber sangkutan.

Dalam menjawab pertanyaan tersebut ada perkembangan ijtihad fiqih Majelis Tarjih. Dalam buku Tanya-Jawab Agama jilid 3 (h. 91-92) dijelaskan bahwa "praktik yang dilakukan oleh Rasulullah saw adalah bahwa beliau menjadi khatib dan sekaligus menjadi imam dalam shalat Jum'at." Selain itu Hadits di bawah ini juga menunjukkan bahwa orang yang bertindak sebagai khatib sekaligus bertindak sebagai imam. Hadits dimaksud adalah sabda Rasulullah saw yang diriwayatkan dari Jabir ra

Artinya: Apabila seseorang kamu masuk ke masjid ketika imam sedang berkhutbah, maka hendaklah ia shalat dua rakaat (shalat tahiyatul masjid), dan hendaklah mempercepatnya (HR Muslim dan Ahmad).

Dalam Hadits di atas terdapat kata "ketika imam sedang berkhutbah." Jadi Hadits ini menyatakan bahwa yang berkhutbah itu adalah imam. Dengan kata lain khatib dan imam adalah orang sama. Demikian dijelaskan dalam buku Tanya-Jawab Agama jilid 3.

Kemudian dalam fatwa tahun 2003 (yang dibukukan dalam jilid 6 dari buku Tanya-Jawab Agama yang terbit tahun 2010) terjadi perubahan fatwa di mana Majelis Tarjih dan Tajdid menegaskan bahwa tidak harus imam itu adalah orang yang berkhutbah, bisa saja orang lain yang bacaan dan pengetahuan Al-Qur'annya lebih baik. Dalam fatwa tahun 2003 itu ditegaskan bahwa dari Hadits Jabir di atas dan Hadits-Hadits lain serupa tidak dapat ditarik kesimpulan bahwa imam harus merangkap khatib Jum'at. Memang sebaiknya khatib merangkap menjadi imam apabila memenuhi syarat menjadi imam. Namun hal itu bukan keharusan. Bila dipandang perlukhatib tidak merangkap sebagai imam. Dikatakan pula, "Bahwa Nabi saw selalumenjadi khatib dan imam adalah sunnah fi'liah yang tidak menimbulkan keharusan untuk melakukan atau mengikutinya" (6: 87).

  Orang yang menganggap babwa imam harus khatib yang berkhutbah mendasarkan pendapatnya kepada diahir Hadits di atas yang di dalamnya ada pernyataan "ketika imam berkhutbah. Sedangkan ketidakbolehan orang lain yang bukan khatib untuk menjadi imam didasarkan kepada mafhum mukhalafah (argumentum a contrario)dari pernyataan tersebut, yaitu orang yang tidak berkhutbah tidak menjadi imam. Dalam fatwa tahun 2003 (SM No. 8/2003) penggunaan mafhum mukhalafah dari Hadits Jabir untuk mengingkari kebolehan orang yang bukan khatib untuk menjadi imam telah ditolak.

Alasannya adalah bahwa keterangan kualifikasi atau gaid "berkhutbah" dalam Hadits Jabir tidak merupakan penjelasan alasan hukum, melainkan hanya sebagai penjelasan hal saja atau untuk takzim belaka. Untuk mudahnya dapat dikatakan bahwa "berkhutbah" bukanlah alasan (ilat) hukum agar orang boleh menjadi imam shalat Jum'at. Oleh karena itu bisa saja imam adalah orang lain yang bukan khatib.

  Pada fatwa yang sekarang ini kami menegaskan dan memperkuat fatwa kedua (tahun 2003 yang dimuat dalam jilid 6: 85- 88) bahwa imam shalat Jum'at tidak harus orang yang berkhutbah, melainkan bias saja khatib dan imam itu adalah orang yang berbeda dengan tambahan alasan, yaitu bahwa Hadits Jabir di atas bukanlah nas tentang khatib harus sekaligus merangkap imam. Hadits di atas adalah nas tentang bahwa orang yang masuk masjid hendaklah melakukan shalat tahiyatul masjid meskipun imam sedang berkhutbah. Bahwa Hadits itu menyiratkan bahwa yang menjadi imam adalah orang yang menjadi khatib adalah makna dlahir saja, bukan makna nas dari Hadits bersangkutan.

 Dalam usul fiqih yang dimaksud makna dlahir adalah suatu makna sekunder yang terpantul ke dalam pikiran pembaca dari pemyataan itu sendiri, tetapi makna tersebut tidak menjadi tujuan pokok dari pemyataan (teks) bersangkutan. Wahbah az-Zuhaili mendefinisikan diahir sebagai "suatu pernyataan yang menunjukkan makna melalui ungkapan itu sendiri, namun makna itu bukan makna orisinal dan tujuan pokok dari pernyataan bersangkutan" (Az-Zuhaili, al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh, h. 175). Dalam Hadits Jabir di atas makna bahwa imam adalah orang yang menjadi khatib memang tertuang dalam ungkapan Hadits itu sendiri yang menyebutkan "ketika imam sedang berkhutbah." Namun makna tersebut bukan maksud pokok dan orisinal dari Hadits itu, melainkan hanyalah makna sekunder belaka. Maksud pokok Hadits Jabir di atas adalah untuk menegaskan sangat disunatkannya Shalat Tahiyatul Masjid bagi setiap orang yang masuk masjid walaupun saat itu imam sedang berkhutbah yang khutbahnya harus didengarkan. Oleh karena itu, Shalat Tahiyatul Masjidnya hendaklah dicepatkan agar bisa mendengarkan khutbah imam.

  Sedangkan nas adalah suatu pernyataan yang menunjukkan makna yang menjadi maksud pokok yang hendak disampaikan pemyataan itu. Dalam kasus Hadits di atas nasnya adalah menerangkan masalah Shalat Tahiyatul Masjid. Dalam kaidah usul fiqih, apabila makna dlahir itu tidak selaras dengan makna nas, maka didahulukan makna nas. As-Sarakhsi (w. 483\1090) menegaskan bahwa nas lebih  diutamakan dari dlahir (As-Sarakhsi, al- MuharrarfiUshulal-Figh,I:123).

 Dalam kaitan ini, makna nas yang me nunjukkan siapa yang harus menjadi imam  disebutkan dalam Hadits riwayat Muslim  dari Abu Mas ud al-Anshari (w. 42\662), Artinya Dari Abu Mas ud al-Anshari  (diriwayatkan bahwa) la berkata: Rasului lah saw telah bersabda: Suatu jamaah diimami oleh orang yang paling baik bacaannya (paling qari) tentang Kitab Allah (Al-Qur'an). Jika mereka sama dalam hal qiraat (bacaan), maka orang yang paling memahami Sunnah. Jika mereka sama dalam memahami Sunnah, make orang yang paling dahulu berhijrah. Jika mereka sama dalam hijrah, maka orang yang paling dulu masuk lslam  ... (HR Muslim).

Hadits ini adalah nas tentang siapa yang harus menjadi imam, yaitu orang yang paling baik bacaannya.

Artinya makna yang menjadi tujuan pokok yang hendak disampaikan dalam Hadits ini adalah siapa yang harus dijadikan imam dalam shalat, dalam hal ini adalah orang yang paling baik qiraatnya. Termasuk baik qiraatnya (bacannya) adalah baik penguasaannya dan baik bacaannya itu sendiri. Dalam kaidah usul fiqih seperti dikemukakan terdahulu makna nas didahulukan atas makna dlahir. Artinya adalah bahwa Hadits ini, yang nasnya mengharuskan imam itu adalah orang yang baik bacaannya, didahulukan atas Hadits Jabir yang  diahirnya menyatakan imam itu adalah khatib yang berkhutbah.

       Perlu dicatat bahwa sejumlah pensyarah yang sempat ditelaah tidak pernah mengaitkan Hadits pertama (Hadits Jabir) dengan keharusan imam itu adalah orang yang berkhutbah. An-Nawawi (w. 676/ 1277) yang mensyarah Hadits Jabir dalam Syarh Shahih Muslim (\\\: 256) menyebutkan beberapa kandungan Hadits Jabir di atas, tetapi tidak menyebutkan bahwa Hadits itu berisi juga penegasan bahwa imam adalah khatib yang berkhutbah. Dengan demikian, seperti ditegaskan dalam fatwa tahun 2003 (SM No.8/2003 dan No. 22/2003), imam shalat Jum'at tidaklah harus orang yang berkhutbah, terutama bilamana giraatnya kurang baik dan tidak fasih. Dapat saja ditunjuk orang lain yang lebih baik qiraat dan lebih fasih bacaannya untuk menjadi imam. Memang ada perbedaan pendapat ulama apakah yang menjadi imam itu diutamakan orang yang lebih qari atau yang lebih fakih. Yang jelas Hadits Abu Mas'ud di atas tegas menyebutkan bahwa imam adaiah orang yang lebih qari. Muslim dalam Syarah Shahih Muslim menyatakan hadits ini merupakan dalii bagi orang  yang mengatakan bahwa untuk menjadi  imam lebih didahulukan orang yang lebih  qan danpada orang yang lebihfakih. ini adalah  pendapat Abu Hanifah, Ahmad dan sejumfah  pengikut mazhab kami. Malik, asy-Syafi'I  dan pengikutnya menyatakan bahwa orang  lebih fakih lebih didahuiukan atas orang yang  lebih qari ... Akan tetapi frasa "Jika mereka  sama dalam hal qiraat, maka imam itu  adalah orang yang lebih memahami  sunnah"merupakan dalil lebih didahuluka nya orang yang iebih qari (An-Nawawi, Syarh Shahih Muslim,\\: 476).

       Imam yang fasih dan bagus qiraatnya  dapat memberikan sentuhan kalbu yang  daiam kepada jamaah dan dapat menim bulkan kekhusyukan shalat. Selain itu dari segi syiar masjid, qiraat imam yang bagus pada masjid itu akan menjadi daya tarik bagi masyarakat untuk mengunjungi dan shalat di masjid tersebut. *sy

Menu Terkait