Shalat Tahiyyatul Masjid Ketika Shalat Jum’at, Adzan Subuh Dua Kali, Nishab Zakat Padi, Dan Penggunaan Mikropon Masjid
Pertanyaan
1. Kenapa orang yang baru masuk masjid di hari Jum’at tidak langsung shalat tahiyatul masjid, ketika bilal (muadzin, pen)untuk mendengarkan adzan, bukan langsung shalat kemudian mendengarkan khutbah. Apa Hadits pegangan orang itu?
2. Adzan subuh kan dua kali, kenapa kebanyakan tidak diamalkan oleh banyak orang?
3. Tiap subuh hari Jum’at orang shalat subuh (membaca) ayat sajdah, apa dasar perintahnya, tolong sebutkan Hadits yang menjadi dalilnya.
4. Nishab zakat padi dsb berapa … l (liter) beras atau ... kg beras. Ini bisa jadi perhitungan kami dengan gantang atau ketiding di daerah kami
5. Berapa persen zakat padi yang ongkosnya banyak (pupuk, obat, upah, pengairan dengan kincir angin, mesin, irigasi?
6. Pemakaian mikrofon untuk shalat/ khatib Jum’at, hubungan dengan ayat 110 Al-Israa’? Sangat mengganggu kekhusukan jamaah, lebih-lebih jarak masjid dengan masjid + 500 m
7. Tiap masjid “meribut” dengan mikrofon setengah jam sebelum adzan tiap waktu dengan “Qur’an” dan “ustadz kaset”, apa hukumnya.
H. Ali Akbar Pelanggan SM No. 00615,
Batusangkar, Sumatera Barat
(disidangkan pada hari Jum’at, 29 Syawal
1431 H / 8 Oktober 2010)
Jawaban:
Terima kasih atas pertanyaan yangsaudara ajukan. Berikut ulasan dan jawaban
dari Tim Fatwa:
.
1. Pertanyaan kedua saudara ini pernah ditanyakan pada kami dan jawabannya termuat pada Buku Tanya Jawab Agama jilid 5, halaman 57, yang diterbitkan oleh Suara Muhammadiyah, di mana saudara bisa memeriksanya. Namun ada baiknya kami ringkaskan di sini.
Shalat tahiyyatul masjid adalah salah satu sunnat yang disyariatkan pada setiap waktu, di mana pelaksanaannya adalah
ketika masuk ke dalam masjid sebelum duduk. Hal itu sesuai dengan sabda Rasulullah saw.: Artinya: “Diriwayatkan dari Amru bin Sulaim az-Zuraqi yang mendengar dari Abu Qatadah bin Rib’i al-Anshari ra., bahwa Nabi saw. bersabda: Apabila salah seorang di antaramu memasuki masjid, janganlah ia duduk hingga shalat dua rakaat.” (H.R. al-Bukhari, 1145)
Dari nash Hadits di atas, para ulama di antaranya; Imam an-Nawawi, Ibnu Taimiyyah, dan Ibnu al-Jauzi sepakat menghukuminya sunnah (Majmu Fatawa, 23:219, Nailul Authar, 3:68).
Terdapat Hadits lain yang terkait dengan shalat tahiyatul masjid pada hari Jum’at saat khatib menyampaikan khutbahnya yaitu: Artinya: “Seseorang masuk masjid pada hari Jum’at dan Rasulullah berada di atas mimbar sedang berkhutbah, Rasul memerintahkan kepada orang tersebut untuk melakukan shalat dua rakaat.” (H.R. lima ahli Hadits (selain al-Bukhari dan Muslim) juga Abu Dawud tidak meriwayatkannya).
Bagi yang berkeberatan dengan shalat tahiyyatul masjid di kala khatib sedang berkhutbah berpendapat, bahwa Hadits tersebut zhahirnya bertentangan dengan (a) firman Allah SwT dalam surat Al-A’raf [7]: 204; Artinya: “Dan apabila dibacakan Al- Qur’an, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.” Juga dianggap bertentangan dengan (b) sabda Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari: Artinya: “Jika kamu berkata kepada sahabatmu ‘diamlah’ (sewaktu khatib sedang berkhutbah), maka sesungguhnya engkau telah berbuat sia-sia.” Juga dianggap bertentangan dengan (c) Hadits yang diriwayatkan oleh ath- Thabrani:
Artinya: “Apabila seseorang di antaramu masuk masjid dan imam sedang di atas mimbar (berkhutbah), maka kamu jangan shalat dan berkata-kata hingga imam selesai khutbah.”
Hemat kami, untuk (a) firman Allah di atas bermakna bahwa yang didengarkan dalam teks ayat tersebut adalah ayat Al- Qur’an, dan perlu diingat bahwa khutbah itu bukanlah Al-Qur’an. Untuk maksud Hadits (b) adalah larangan berbicara sesama jamaah Jum’at, bukan dalam konteks berbicara dalam shalat (membaca bacaan shalat). Untuk dalil (c), Hadits tersebut dinilai dha’if (lemah) oleh para ahli Hadits karena di dalamnya terdapat seorang rawi yang bernama Ayub bin Nuhaik. Abu Zur’ah dan Abu Hatim bahkan berpendapat bahwa Hadits itu adalah munkar.
Berdasarkan keterangan di atas, kami berpendapat bahwa lebih kuat untuk melakukan shalat tahiyyatul masjid, walaupun imam sedang berkhutbah di kala shalat Jum’at.
2. Tentang adzan subuh yang dikumandangkan dua kali. Adzan adalah pemberitahuan tentang masuknya waktu shalat dengan kalimat-kalimat tertentu. Adzan dikumandangkan di awal waktu, tanpa memajukan atau mengundurkannya, kecuali pada adzan subuh, maka dianjurkan memajukannya dari awal waktu jika dimungkinkan sehingga dapat membedakan antara adzan pertama dengan adzan kedua agar tidak simpang-siur. Abdullah bin Umar ra menyatakan: Artinya: “Bahwa Nabi saw bersabda: “Bilal adzan pada malam hari, maka makan dan minumlah sampai terdengar Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan.” [HR. al-Bukhari dan Muslim]
Hikmah dari kebolehan mendahulukan adzan Subuh dari waktunya adalah seperti yang diterangkan dalam Hadits riwayat Ahmad dan lainnya, dari Ibnu Mas’ud bahwa Rasulullah saw bersabda: Artinya: “Jangan sampai adzan Bilal menghentikan makan sahur kalian, karena dia adzan —atau beliau berkata: dia menyerukan adzan— untuk mengingatkan orang yang shalat malam di masjid agar kembali ke rumah, dan untuk membangunkan orang yang tidur.”
Dan dari nash-nash di atas, ada ulama yang cenderung memahami bahwa adzan subuh dua kali hanya dilakukan ketika bulan Ramadlan. Mungkin banyak orang sebagaimana yang bapak tanyakan melakukannya dengan mengambil pendapat ini.
3. Hadits yang menunjukkan dasar perintah membaca surat As-Sajdah di pagi hari Jum’at di antaranya adalah: Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra., ia berkata: adalah Nabi saw membaca ketika fajar hari Jum’at “Alif lam mim. Tanzil” (yaitu surat as-Sajdah) dan “Hal ata ‘ala al-insan” (yaitu surat Al- Qiyamah).” (Muttafaq alaih)
4. Tentang nishab zakat padi, sebagaimana tertera dalam Himpunan Putusan Tarjih, Kitab Zakat (2005: 154) dan dalam al-Amwal fil-Islam, Keputusan Muktamar Tarjih ke-20 di Garut Jawa Barat 1976, adalah 5 wasaq atau kurang lebih 7,5 kwintal. Silakan dikonversikan dengan alat ukur yang umum dipakai di daerah saudara.
5. Adapun kadar zakat yang harus dikeluarkan untuk padi yang penanamannya menggunakan sarana pengairan (irigasi) dan yang lain seperti yang saudara sebutkan di atas, adalah seperduapuluhnya atau 5% dari hasil tanaman tersebut. (lihat HPT Kitab Zakat dan al-Amwal fil-Islam, Keputusan Muktamar Tarjih ke-20 di Garut Jawa Barat 1976) Dasarnya adalah Hadits
yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar ra, bahwa Nabi saw bersabda: Artinya: “Pada tanaman yang tersiram hujan dari langit dan dari mata air atau yang digenangi air selokan, dikenakan zakatnya sepersepuluhnya (10%), sedang bagi tanaman yang disiram dengan sarana pengairan, seperduapuluhnya (5%).” [HR. al-Bukhari]
6.Untuk pertanyaan No. 7 yaitu mengenai pemakaian microphone (pengeras suara) untuk adzan, imam shalat, dan khatib Jum’at, hal itu merupakan efek dari perkembangan pengetahuan dan teknologi pada awal abad ke-20. Para ulama membolehkannya karena unsur kemashlahatan, yaitu jangkauan suara yang lebih luas, di mana penduduk suatu wilayah mampu mendengar suara adzan dengan lebih jelas.
Suatu masjid yang besar dengan ribuan jamaah, seperti Masjid al-Haram di Mekah; Masjid Istiqlal di Jakarta; dan Masjid al-Markaz di Makassar, penggunaan pengeras suara pada imam shalat dan khatib ketika pelaksanaan ibadah Jum’at sangat diperlukan, agar setiap jamaah yang memenuhi tiap sudut masjid dapat mendengar suara Imam shalat atau khatib.
Mengenai firman Allah dalam surat al- Isra’ (17) ayat 110: Artinya: “Katakanlah (Hai Muhammad): Serulah Allah atau serulah ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al-Asmâul-Husna (namanama yang terbaik) dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan jangan pula merendahkannya, dan carilah jalan tengah di antara kedua itu.”
Salah satu kandungan dan maksud ayat di atas, menurut para mufassir adalah panduan bagi kita tentang bagaimana sebaiknya membaca bacaan dalam shalat. Allah berfirman; wahai Muhammad! janganlah kamu membaca bacaan dalam shalatmu dengan keras, agar orang musyrik tidak mendengarnya. Karena jika mendengarnya, mereka pasti akan mencerca al-Qur’an. Tapi juga jangan terlalu lirih, hingga orang yang makmum di belakangmu tidak mendengarnya. Carilah jalan tengah dengan menyeimbangkannya, tidak terlalu keras, juga jangan terlalu lirih. Hal ini didasarkan pada sebuah riwayat dari Ibnu Abbas ra., yang juga merupakan asbabunnuzul ayat ini.
Artinya: “Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra. tentang firman-Nya “Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan jangan pula merendahkannya”, diturunkan (ayat ini) ketika Rasulullah saw sedang bersembunyi di Mekah, di mana apabila shalat dengan para sahabatnya, ia mengeraskan suaranya. Ketika orangorang musyrik mendengarnya, mereka mencela al-Qur’an; siapa yang telah menurunkannya; dan pada siapa diturunkan.
Maka Allah berfirman pada Nabi-Nya saw: “Dan janganlah kamu mengeraskan suara dalam shalatmu”, artinya dalam bacaannmu hingga dapat mendengarlah orang- orang musyrik lalu mencela al-Qur’an. “Dan jangan pula merendahkannya” dari para sahabatmu hingga mereka tidak mendengar. “Dan carilah jalan tengah di antara kedua itu”.” [HR. al-Bukhari, kitab Tafsir al- Qur’an]
Cakupan luasnya, ayat dan hadits di atas menjadi pedoman bagi kita agar ketika melaksanakan sesuatu dengan seimbang, tidak berlebihan, juga tidak dalam arti pada posisi merendah-kekurangan. Sebagaimana sebuah hadits dari Nabi Saw.: Artinya: “Sebaik-baik urusan adalah pertengahannya” [al-Baihaqi, Syu’ab al- Imân: 6601]
Bacaan Imam yang terlalu keras (terutama ketika menggunakan pengeras suara) dan atau terlalu lirih, hemat kami juga akan mengganggu kekhusyukan makmum. Jika terlalu keras, maka suara Imam menjadi tidak enak didengar lagi memekakkan telinga. Jika terlalu lirih, makmum yang berada di shaf belakang akan susah mendengar perintah/bacaan imam. Oleh karena itu, penggunaan pengeras suara untuk sarana ibadah (adzan, shalat, khutbah dan lain-lain) dibolehkan dengan syarat menggunakannya dengan baik, seimbang lagi seperlunya, tidak berlebih-lebihan. Seperti memakai pengeras suara luar hanya untuk adzan dan iqamah saja.
Bahkan pada zaman Nabi saw, Bilal bin Rabah ra -muadzin Nabi saw-, mengumandangkan adzan di menara/tempat yang tinggi, tetapi ketika iqamah mengumandangkannya di dalam masjid. Maka beberapa ulama berpendapat, bahwa iqamah adalah hak untuk orang yang sudah hadir di masjid. Ketika imam memimpin shalat atau khatib berkhutbah, sebaiknya digunakan pengeras suara dalam ruangan, sehingga masyarakat sekitar masjid, di mana terdapat orang yang lemah dan sakit; bayi yang tidur; orang yang ingin beristirahat; mereka yang non Muslim, tidak merasa terganggu. Bahkan benar sebagaimana saudara, jika setiap masjid menggunakan pengeras suara (khususnya suara luar) untuk adzan, shalat, dan khutbah Jum’at, maka akan menggangu kekhusukan jamaah yang berada di masjid lain yang bersebelahan atau yang jaraknya tidak jauh.
Di samping itu, pengeras suara yang dipasang di masjid juga memberikan banyak kemanfaatan sosial, seperti untuk mengumumkan berita lelayu dan pengumuman lainnya yang telah disepakati penggunaannya oleh masyarakat. Oleh karena itu, anjuran bagi takmir masjid agar ketika menggunakan pengeras suara, volume suara perlu diatur agar pas, tidak terlalu melengking, tapi juga tidak terlalu rendah.
7. Tentang pemutaran kaset “Al-Qur ’an” dan “ceramah ustadz” dan hal lain yang terkait sebelum adzan, kami tidak menemukan dalil terkait. Pemutaran kaset dua jenis di atas sebelum adzan, meskipun dirasa baik dan dari masjid, tapi hemat kami tetap berpotensi mengganggu ketenangan masyarakat. Merasa itu suatu perbuatan baik karena masyarakat akan diperdengarkan
dengan lantunan Al-Qur’an dan nasehat nasehat agama dari ustadz saja tidak cukup, tapi hendaknya suatu perbuatan itu dilandasi dengan dalil syariat dan dalam hal ini, dilandasi semangat untuk tidak menimbulkan mafsadah (kerusakan dan kerugian) bagi orang lain. Allah SwT berfirman: Artinya: “(yaitu) orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka mengira bahwa mereka telah berbuat sebaik-baiknya.” (Q.s. Al-Kahfi [18]: 104]
Artinya: “Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang Mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.”(Q.s. Al-Ahzab [33]: 58)
Apalagi tidak ada amalan tertentu yang disyariatkan sebelum dan sesudah adzan, kecuali terdapat beberapa doa yang diajarkan oleh Nabi saw. Demikian. Wallahu a’lam bish-shawab. *mr).
1. Kenapa orang yang baru masuk masjid di hari Jum’at tidak langsung shalat tahiyatul masjid, ketika bilal (muadzin, pen)untuk mendengarkan adzan, bukan langsung shalat kemudian mendengarkan khutbah. Apa Hadits pegangan orang itu?
2. Adzan subuh kan dua kali, kenapa kebanyakan tidak diamalkan oleh banyak orang?
3. Tiap subuh hari Jum’at orang shalat subuh (membaca) ayat sajdah, apa dasar perintahnya, tolong sebutkan Hadits yang menjadi dalilnya.
4. Nishab zakat padi dsb berapa … l (liter) beras atau ... kg beras. Ini bisa jadi perhitungan kami dengan gantang atau ketiding di daerah kami
5. Berapa persen zakat padi yang ongkosnya banyak (pupuk, obat, upah, pengairan dengan kincir angin, mesin, irigasi?
6. Pemakaian mikrofon untuk shalat/ khatib Jum’at, hubungan dengan ayat 110 Al-Israa’? Sangat mengganggu kekhusukan jamaah, lebih-lebih jarak masjid dengan masjid + 500 m
7. Tiap masjid “meribut” dengan mikrofon setengah jam sebelum adzan tiap waktu dengan “Qur’an” dan “ustadz kaset”, apa hukumnya.
H. Ali Akbar Pelanggan SM No. 00615,
Batusangkar, Sumatera Barat
(disidangkan pada hari Jum’at, 29 Syawal
1431 H / 8 Oktober 2010)
Jawaban:
Terima kasih atas pertanyaan yangsaudara ajukan. Berikut ulasan dan jawaban
dari Tim Fatwa:
.
1. Pertanyaan kedua saudara ini pernah ditanyakan pada kami dan jawabannya termuat pada Buku Tanya Jawab Agama jilid 5, halaman 57, yang diterbitkan oleh Suara Muhammadiyah, di mana saudara bisa memeriksanya. Namun ada baiknya kami ringkaskan di sini.
Shalat tahiyyatul masjid adalah salah satu sunnat yang disyariatkan pada setiap waktu, di mana pelaksanaannya adalah
ketika masuk ke dalam masjid sebelum duduk. Hal itu sesuai dengan sabda Rasulullah saw.: Artinya: “Diriwayatkan dari Amru bin Sulaim az-Zuraqi yang mendengar dari Abu Qatadah bin Rib’i al-Anshari ra., bahwa Nabi saw. bersabda: Apabila salah seorang di antaramu memasuki masjid, janganlah ia duduk hingga shalat dua rakaat.” (H.R. al-Bukhari, 1145)
Dari nash Hadits di atas, para ulama di antaranya; Imam an-Nawawi, Ibnu Taimiyyah, dan Ibnu al-Jauzi sepakat menghukuminya sunnah (Majmu Fatawa, 23:219, Nailul Authar, 3:68).
Terdapat Hadits lain yang terkait dengan shalat tahiyatul masjid pada hari Jum’at saat khatib menyampaikan khutbahnya yaitu: Artinya: “Seseorang masuk masjid pada hari Jum’at dan Rasulullah berada di atas mimbar sedang berkhutbah, Rasul memerintahkan kepada orang tersebut untuk melakukan shalat dua rakaat.” (H.R. lima ahli Hadits (selain al-Bukhari dan Muslim) juga Abu Dawud tidak meriwayatkannya).
Bagi yang berkeberatan dengan shalat tahiyyatul masjid di kala khatib sedang berkhutbah berpendapat, bahwa Hadits tersebut zhahirnya bertentangan dengan (a) firman Allah SwT dalam surat Al-A’raf [7]: 204; Artinya: “Dan apabila dibacakan Al- Qur’an, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.” Juga dianggap bertentangan dengan (b) sabda Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari: Artinya: “Jika kamu berkata kepada sahabatmu ‘diamlah’ (sewaktu khatib sedang berkhutbah), maka sesungguhnya engkau telah berbuat sia-sia.” Juga dianggap bertentangan dengan (c) Hadits yang diriwayatkan oleh ath- Thabrani:
Artinya: “Apabila seseorang di antaramu masuk masjid dan imam sedang di atas mimbar (berkhutbah), maka kamu jangan shalat dan berkata-kata hingga imam selesai khutbah.”
Hemat kami, untuk (a) firman Allah di atas bermakna bahwa yang didengarkan dalam teks ayat tersebut adalah ayat Al- Qur’an, dan perlu diingat bahwa khutbah itu bukanlah Al-Qur’an. Untuk maksud Hadits (b) adalah larangan berbicara sesama jamaah Jum’at, bukan dalam konteks berbicara dalam shalat (membaca bacaan shalat). Untuk dalil (c), Hadits tersebut dinilai dha’if (lemah) oleh para ahli Hadits karena di dalamnya terdapat seorang rawi yang bernama Ayub bin Nuhaik. Abu Zur’ah dan Abu Hatim bahkan berpendapat bahwa Hadits itu adalah munkar.
Berdasarkan keterangan di atas, kami berpendapat bahwa lebih kuat untuk melakukan shalat tahiyyatul masjid, walaupun imam sedang berkhutbah di kala shalat Jum’at.
2. Tentang adzan subuh yang dikumandangkan dua kali. Adzan adalah pemberitahuan tentang masuknya waktu shalat dengan kalimat-kalimat tertentu. Adzan dikumandangkan di awal waktu, tanpa memajukan atau mengundurkannya, kecuali pada adzan subuh, maka dianjurkan memajukannya dari awal waktu jika dimungkinkan sehingga dapat membedakan antara adzan pertama dengan adzan kedua agar tidak simpang-siur. Abdullah bin Umar ra menyatakan: Artinya: “Bahwa Nabi saw bersabda: “Bilal adzan pada malam hari, maka makan dan minumlah sampai terdengar Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan.” [HR. al-Bukhari dan Muslim]
Hikmah dari kebolehan mendahulukan adzan Subuh dari waktunya adalah seperti yang diterangkan dalam Hadits riwayat Ahmad dan lainnya, dari Ibnu Mas’ud bahwa Rasulullah saw bersabda: Artinya: “Jangan sampai adzan Bilal menghentikan makan sahur kalian, karena dia adzan —atau beliau berkata: dia menyerukan adzan— untuk mengingatkan orang yang shalat malam di masjid agar kembali ke rumah, dan untuk membangunkan orang yang tidur.”
Dan dari nash-nash di atas, ada ulama yang cenderung memahami bahwa adzan subuh dua kali hanya dilakukan ketika bulan Ramadlan. Mungkin banyak orang sebagaimana yang bapak tanyakan melakukannya dengan mengambil pendapat ini.
3. Hadits yang menunjukkan dasar perintah membaca surat As-Sajdah di pagi hari Jum’at di antaranya adalah: Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra., ia berkata: adalah Nabi saw membaca ketika fajar hari Jum’at “Alif lam mim. Tanzil” (yaitu surat as-Sajdah) dan “Hal ata ‘ala al-insan” (yaitu surat Al- Qiyamah).” (Muttafaq alaih)
4. Tentang nishab zakat padi, sebagaimana tertera dalam Himpunan Putusan Tarjih, Kitab Zakat (2005: 154) dan dalam al-Amwal fil-Islam, Keputusan Muktamar Tarjih ke-20 di Garut Jawa Barat 1976, adalah 5 wasaq atau kurang lebih 7,5 kwintal. Silakan dikonversikan dengan alat ukur yang umum dipakai di daerah saudara.
5. Adapun kadar zakat yang harus dikeluarkan untuk padi yang penanamannya menggunakan sarana pengairan (irigasi) dan yang lain seperti yang saudara sebutkan di atas, adalah seperduapuluhnya atau 5% dari hasil tanaman tersebut. (lihat HPT Kitab Zakat dan al-Amwal fil-Islam, Keputusan Muktamar Tarjih ke-20 di Garut Jawa Barat 1976) Dasarnya adalah Hadits
yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar ra, bahwa Nabi saw bersabda: Artinya: “Pada tanaman yang tersiram hujan dari langit dan dari mata air atau yang digenangi air selokan, dikenakan zakatnya sepersepuluhnya (10%), sedang bagi tanaman yang disiram dengan sarana pengairan, seperduapuluhnya (5%).” [HR. al-Bukhari]
6.Untuk pertanyaan No. 7 yaitu mengenai pemakaian microphone (pengeras suara) untuk adzan, imam shalat, dan khatib Jum’at, hal itu merupakan efek dari perkembangan pengetahuan dan teknologi pada awal abad ke-20. Para ulama membolehkannya karena unsur kemashlahatan, yaitu jangkauan suara yang lebih luas, di mana penduduk suatu wilayah mampu mendengar suara adzan dengan lebih jelas.
Suatu masjid yang besar dengan ribuan jamaah, seperti Masjid al-Haram di Mekah; Masjid Istiqlal di Jakarta; dan Masjid al-Markaz di Makassar, penggunaan pengeras suara pada imam shalat dan khatib ketika pelaksanaan ibadah Jum’at sangat diperlukan, agar setiap jamaah yang memenuhi tiap sudut masjid dapat mendengar suara Imam shalat atau khatib.
Mengenai firman Allah dalam surat al- Isra’ (17) ayat 110: Artinya: “Katakanlah (Hai Muhammad): Serulah Allah atau serulah ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al-Asmâul-Husna (namanama yang terbaik) dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan jangan pula merendahkannya, dan carilah jalan tengah di antara kedua itu.”
Salah satu kandungan dan maksud ayat di atas, menurut para mufassir adalah panduan bagi kita tentang bagaimana sebaiknya membaca bacaan dalam shalat. Allah berfirman; wahai Muhammad! janganlah kamu membaca bacaan dalam shalatmu dengan keras, agar orang musyrik tidak mendengarnya. Karena jika mendengarnya, mereka pasti akan mencerca al-Qur’an. Tapi juga jangan terlalu lirih, hingga orang yang makmum di belakangmu tidak mendengarnya. Carilah jalan tengah dengan menyeimbangkannya, tidak terlalu keras, juga jangan terlalu lirih. Hal ini didasarkan pada sebuah riwayat dari Ibnu Abbas ra., yang juga merupakan asbabunnuzul ayat ini.
Artinya: “Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra. tentang firman-Nya “Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan jangan pula merendahkannya”, diturunkan (ayat ini) ketika Rasulullah saw sedang bersembunyi di Mekah, di mana apabila shalat dengan para sahabatnya, ia mengeraskan suaranya. Ketika orangorang musyrik mendengarnya, mereka mencela al-Qur’an; siapa yang telah menurunkannya; dan pada siapa diturunkan.
Maka Allah berfirman pada Nabi-Nya saw: “Dan janganlah kamu mengeraskan suara dalam shalatmu”, artinya dalam bacaannmu hingga dapat mendengarlah orang- orang musyrik lalu mencela al-Qur’an. “Dan jangan pula merendahkannya” dari para sahabatmu hingga mereka tidak mendengar. “Dan carilah jalan tengah di antara kedua itu”.” [HR. al-Bukhari, kitab Tafsir al- Qur’an]
Cakupan luasnya, ayat dan hadits di atas menjadi pedoman bagi kita agar ketika melaksanakan sesuatu dengan seimbang, tidak berlebihan, juga tidak dalam arti pada posisi merendah-kekurangan. Sebagaimana sebuah hadits dari Nabi Saw.: Artinya: “Sebaik-baik urusan adalah pertengahannya” [al-Baihaqi, Syu’ab al- Imân: 6601]
Bacaan Imam yang terlalu keras (terutama ketika menggunakan pengeras suara) dan atau terlalu lirih, hemat kami juga akan mengganggu kekhusyukan makmum. Jika terlalu keras, maka suara Imam menjadi tidak enak didengar lagi memekakkan telinga. Jika terlalu lirih, makmum yang berada di shaf belakang akan susah mendengar perintah/bacaan imam. Oleh karena itu, penggunaan pengeras suara untuk sarana ibadah (adzan, shalat, khutbah dan lain-lain) dibolehkan dengan syarat menggunakannya dengan baik, seimbang lagi seperlunya, tidak berlebih-lebihan. Seperti memakai pengeras suara luar hanya untuk adzan dan iqamah saja.
Bahkan pada zaman Nabi saw, Bilal bin Rabah ra -muadzin Nabi saw-, mengumandangkan adzan di menara/tempat yang tinggi, tetapi ketika iqamah mengumandangkannya di dalam masjid. Maka beberapa ulama berpendapat, bahwa iqamah adalah hak untuk orang yang sudah hadir di masjid. Ketika imam memimpin shalat atau khatib berkhutbah, sebaiknya digunakan pengeras suara dalam ruangan, sehingga masyarakat sekitar masjid, di mana terdapat orang yang lemah dan sakit; bayi yang tidur; orang yang ingin beristirahat; mereka yang non Muslim, tidak merasa terganggu. Bahkan benar sebagaimana saudara, jika setiap masjid menggunakan pengeras suara (khususnya suara luar) untuk adzan, shalat, dan khutbah Jum’at, maka akan menggangu kekhusukan jamaah yang berada di masjid lain yang bersebelahan atau yang jaraknya tidak jauh.
Di samping itu, pengeras suara yang dipasang di masjid juga memberikan banyak kemanfaatan sosial, seperti untuk mengumumkan berita lelayu dan pengumuman lainnya yang telah disepakati penggunaannya oleh masyarakat. Oleh karena itu, anjuran bagi takmir masjid agar ketika menggunakan pengeras suara, volume suara perlu diatur agar pas, tidak terlalu melengking, tapi juga tidak terlalu rendah.
7. Tentang pemutaran kaset “Al-Qur ’an” dan “ceramah ustadz” dan hal lain yang terkait sebelum adzan, kami tidak menemukan dalil terkait. Pemutaran kaset dua jenis di atas sebelum adzan, meskipun dirasa baik dan dari masjid, tapi hemat kami tetap berpotensi mengganggu ketenangan masyarakat. Merasa itu suatu perbuatan baik karena masyarakat akan diperdengarkan
dengan lantunan Al-Qur’an dan nasehat nasehat agama dari ustadz saja tidak cukup, tapi hendaknya suatu perbuatan itu dilandasi dengan dalil syariat dan dalam hal ini, dilandasi semangat untuk tidak menimbulkan mafsadah (kerusakan dan kerugian) bagi orang lain. Allah SwT berfirman: Artinya: “(yaitu) orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka mengira bahwa mereka telah berbuat sebaik-baiknya.” (Q.s. Al-Kahfi [18]: 104]
Artinya: “Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang Mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.”(Q.s. Al-Ahzab [33]: 58)
Apalagi tidak ada amalan tertentu yang disyariatkan sebelum dan sesudah adzan, kecuali terdapat beberapa doa yang diajarkan oleh Nabi saw. Demikian. Wallahu a’lam bish-shawab. *mr).