Sabtu, 20 April 2024

Tanya Jawab Al-Islam

Pertanyaan:
Tetangga saya berselisih pendapat dalam menyelesaikan pembagian warisan dari anggota keluarganya yang meninggal dunia,  tetapi karena saya kurang mengetahui penyelesaiannya saya minta tolong kepada bapak untuk membantu menyelesaikan pembagian warisan tetangga saya tersebut. Kasusnya sebagai berikut: Seorang wanita yang mempunyai dua (2) orang anak  angkat kawin dengan seorang laki-laki (duda) yang sudah mempunyai tiga (3) orang anak. Dari perkawinannya yang kedua ini  tidak mempunyai anak. Isteri selain mempunyai 2 anak angkat juga mempunyai lima (5) orang keponakan lakilaki, tiga (3) orang  anak dari kakak lakilaki kandungnya dan 2 (dua) orang lagi anak dari adik laki-laki kandungnya, kemudian si istri  meninggal dunia. Harta peninggalannya sebagian besar merupakan harta bersama atau gono gini. Pertanyaannya: Bagaimana  cara menyelesaikan pembagian warisan mereka. Siapa saja ahli waris yang berhak mendapat warisan, apakah tiga  (3) anak laki-laki dari suaminya juga berhak mendapat warisan?

R. Indra P, Jakarta, HP 08572931XXXX (pertanyaan  disampaikan melalui sms)

Jawaban: Sebelum dilakukan pembagian warisan terlebih dahulu harus diketahui apa saja harta  peninggalan atau tirkah pewaris, yang dalam al-Qur’an surat an-Nisa’ [4] ayat 11,12 disebut dengan ma taraka ( ) yaitu  segala sesuatu yang ditinggalkan pewaris. Untuk mengetahui apa saja yang dimiliki seseorang dalam harta keluarga perlu diketahui dan dilakukan pemilahan; pertama adalah harta asal atau harta bawaan atau gawan, yaitu kekayaan yang dimiliki   olehseseorang yang diperoleh sebelum melakukan perkawinan, baik atas usaha sendiri,  dari warisan, hibah, hadiah. Harta asal   setelahpemiliknya kawin dapat berubah wujud,  seperti semula sebidang tanah menjadi sebuah rumah. Perubahan wujud ini   tidak menghilangkan esensi harta asal. Kedua, harta bersama atau gono gini ialah harta yang diperoleh oleh suami isteri atau  oleh salah satunya setelah melakukan perkawinan dan selama terjadi ikatan perkawinan. Sekalipun dua macam harta ini berasal dari urf Indonesia yang merupakan kondisi riil masyarakat, akan tetapi tidak bertentangan dengan hukum Islam, artinya hukum Islam dapat membenarkan pemilahan seperti ini, termasuk bisa menyetujui adanya harta gono gini atau harta bersama.

Harta  bersama merupakan urf dalam sebuah masyarakat yang adat istiadatnya tidak memisahkan antara hak milik suami dan isteri  yang diperoleh dan selama mereka terikat dalam perkawinan. Dalam urusan rumah tangga tidak dipisahkan harta penghasilan suami dan penghasilan isteri. Harta pencaharian suami bercampur baur dengan harta penghasilan isteri. Dalam rumah tangga  seperti ini rasa kebersamaan lebih menonjol dan menganggap akad nikah mengandung persetujuan kongsi (syirkah) dalam  membina rumah tangga, bahkan lebih kuat dari sekedar syirkah yang dikenaldalam muamalah, karena dalam perkawinan suami  isteri telah bersyarikat lahir dan batin. Dengan demikian seluruh harta yang diperoleh selama perkawinan dianggap sebagai  harta bersama suami isteri, tanpa mempersoalkan jerih payah siapa yang lebih banyak menghasilkan dalam usaha memperoleh  harta itu. Oleh karena itu sifat kegotongroyongan lebih menonjol dalam masyarakat seperti ini. Di Indonesia, adat  kebiasaan seperti ini menjadilebih kuat karena telah dituangkan ke dalam peraturan perundang-undangan, yaitu dalam Pasal  35 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menyebutkan bahwa “Harta benda yang diperoleh  selama perkawinan menjadi harta bersama”. Jika salah seorang suami isteri meninggal dunia, masalah pertama yang harus  diselesaikan sebelum pembagian harta warisan adalah penyelesaian pembagian harta bersama.

Untuk melihat lebih lanjut  posisi harta bersama atau harta gono gini, dapat dilihat dari kajian muamalat, bahwa harta gono gini dapat dikategorikan  sebagai hasil syirkah atau join antara suami isteri. Dalam perkawinan, suami dan isteri dipandang telah melakukan syirkah atau  kongsi. Dalam konteks konvensional, suami merupakan tulang punggung keluarga, beban ekonomi keluarga adalah hasil  pencaharian suami, sedangkan isteri sebagai ibu rumah tangga bertindak sebagai manajer yang mengatur manajemen ekonomi  rumahtangganya. Dalam kondisi seperti ini, sekalipun isteri secara riil tidak bekerja menghasilkan harta, akan tetapi  telah dipandang mempunyai kongsi, menyumbangkan tenaga dan pikiran untuk mengurus rumah tangga, sehingga bekerja  tidak harus selalu diartikan bekerja di luar rumah. Syirkah yang seperti ini dalam muamalah bisa dikategorikan ke dalam syirkah  abdan yang oleh hukum Islam diperbolehkan. Lebih-lebih apabila isteri selain mengatur manajemen ekonomi rumah tangga,  juga ikut bekerja secara riil menghasilkan harta, maka syirkah seperti ini disebut syirkah inan yang juga diperbolehkan oleh  hukum Islam.

Apabila suami isteri itu bercerai atau salah seorang suami isteri meninggal dunia, harta bersama atau gono gini  dibagi dua bagian, sebagian untuk suami dan se-bagian lagi untuk isteri. Apabila dihubungkan dengan pertanyaan saudara,  maka harta peninggalan pewaris adalah harta bawaan atau harta asal milik isteri (kalau ada) ditambah separoh dari bagian  gono gini. Seandainya pewaris pada waktu hidupnya ada meninggalkan hutang dan atau wasiat, dari harta peninggalannya  terlebih dahulu dikeluarkan untuk membayar hutang dan wasiatnya, sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an:
Artinya: “…  sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu …” [QS. an-Nisa’ (4) ayat 11]

Adapun  para ahli waris yang berhak mendapat warisan ialah: suami dan lima (5) orang keponakan laki-laki. Anak angkat bukan ahli waris,  akan tetapi kepada anak angkat yang belum menerima wasiat atau hibah bisa diberikan wasiat wajibah sebanyak- banyaknya sepertiga (1/3) bagian dari harta peninggalan sesudah dikeluarkan untuk membayar hutang dan wasiat terlebih  dahulu. Pemberian wasiat wajibah ini didasarkan kepada ketentuan Pasal 209 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam yang  menyebutkan: “Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya sepertigadari harta   arisan orang tua angkatnya”.

Besarnya bagian para ahli waris sebagai berikut: Bagian suami adalah separoh (1/2) bagian  arena pewaris (isteri yang  meninggal dunia) tidak mempunyai keturunan.  al ini sebagaimana disebutkan dalam  ayat 12 surat  an-Nisa’: Artinya: “Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak  mempunyai anak …” [QS. an-Nisa’ (4) ayat 11]

Bagian lima (5) keponakan laki-laki sebagai ahli waris pengganti dari saudara  laki-lakinya pewaris yang sudah meninggal lebih dahulu mendapat sisa setelah diambil bagian suami. Dua (2) orang saudara  laki-laki pewaris sebagai ‘asabah atau qarabah menurut istilah lainnya. Ahli waris ‘asabah memperoleh sisa setelah diambil  bagiannya ahli waris zawu al-furud, dalam kasus ini yaitu suami. Dengan demikian bagian lima orang keponakan laki-laki  sebesar setengah bagian, yaitu sisa setelah diambil bagiannya suami setengah (1/2) bagian. Dari setengah bagian ini harus  dibagi dua lebih dahulu, seperempat (1/4) bagian diberikan kepada tiga orang keponakan yang menggantikan ayahnya (kakak  laki-laki dari pewaris) lalu dibagi rata kepada tiga orang dan seperempat (1/ 4) bagian lagi diberikan kepada dua orang keponakan, menggantikan ayahnya (adik laki-laki dari pewaris) dan dibagi rata antara dua orang keponakan tersebut.

Sebagai  contoh, apabila harta bersamanya senilai Rp. 360.000.000,- lalu dibagi dua bagian terlebih dahulu, separoh (Rp.  180.000.000,-) sebagai haknya suami dan separohnya lagi (Rp. 180.000.000,-) merupakan bagian isteri. Bagian isteri sebesar  Rp. 180.000.000 (kalau ada ditambah harta bawaannya) yang merupakan tirkah atau harta peninggalan pewaris yang akan   dibagi di antara para ahli waris. Dari Rp. 180.000.000 diambil dahulu sepertiga (1/3) bagian yaitu Rp 60.000.000,- untuk  melaksanakan wasiat wajibah dan diberikan kepada dua (2) orang anak angkatnya isteri, masing-masing memperoleh Rp.  30.000.000,- Sisa setelah dikeluarkan untuk wasiat wajibah  (Rp. 180.000.000 – Rp. 60.000.000) = Rp. 120.000.000,- dibagikan  epada suami dan lima orang keponakan. Bagian suami adalah ½ x Rp. 120.000.000,- = Rp. 60.000.000,- dan sisanya (Rp.  120.000.000 – Rp. 60.000.000) = Rp. 60.000.000 diberikan kepada lima orang keponakan sebagai ahli waris pengganti dari  ayah mereka, yaitu dua (2) orang kakak laki-laki dan adik laki-lakinya pewaris. Bagian dua orang saudara sebesar Rp.  60.000.000,- dibagi dua bagian, sebagian (Rp. 30.000.000) merupakan bagian kakak laki-lakinya pewaris kemudian diberikan kepada tiga orang anaknya, masing- masing mendapat Rp. 10.000.000,- Separohnya lagi (Rp. 30.000.000) sebagai bagian adik  laki-lakinya pewaris dibagikan kepada dua orang anak laki-lakinya, masing mendapat Rp. 15.000.000,-.

Adapun tiga orang  anak laki-laki dari suami pewaris bukan ahli waris, karena ia sebagai anak tiri yang tidak ada hubungan nasab/kekerabatan  dengan pewaris.

Pertanyaan:

Saya seorang isteri dari seorang lakilaki yang telah meninggal dunia, mempunyai permasalahan  mengenai warisan. Untuk itu mohon penjelasan dan jawaban. Adapun permasalahannya, almarhum suami saya meninggal  dunia dan meninggalkan seorang isteri, tidak ada keturunan anak, tetapi mempunyai saudara kandung 3 (tiga) orang, yang 2  (dua) orang sudah meninggal dunia, tinggal 1 (satu) orang sudara laki-laki saja. Almarhum membuat wasiat 1/3 (sepertiga) bagian dari seluruh harta warisan untuk kepentingan agama Islam antara lain untuk Persyarikatan Muhammadiyah Yogyakarta dan Jakarta. Adapun yang saya tanyakan: Pertama, apakah peraturan Pengadilan Agama/ Kompilasi Hukum Islam sejalan  dengan putusan Majelis Tarjih Muhammadiyah? Kedua, apakah wasiat dikeluarkan dari keseluruhan harta atau dari pembagian setelah gono gini/ harta bersama?

Seorang ibu di Tanah Abang Jakarta  pusat (nama dan alamat lengkap ada pada redaksi)

Jawaban: Terima kasih atas pertanyaannya semoga jawaban kami bisa difahami oleh ibu. Pertanyaan ibu yang pertama,  apakah Kompilasi Hukum Islam sejalan dengan putusan Majelis Tarjih? Perlu ibu ketahui bahwa materi Kompilasi Hukum Islam  (KHI) terdiri dari tiga buku, Buku I tentang Hukum Perkawinan, Buku II tentang Hukum Kewarisan, dan Buku III tentang Hukum Perwakafan. Penyusunan KHI ini dipandang penting karena sampai saat itu belum terdapat buku standar, Kitab Hukum  Islamyang dijadikan pegangan dan rujukan bersama para hakim di Peradilan Agama dalam menyelesaikan perkara yang  menjadi wewenangnya, sehingga bisa terjadi kasus yang sama dapat lahir putusan berbeda jika ditangani oleh hakim yang  berbeda.

Dari sudut teori hukum, produk peradilan agama bertentangan dengan prinsip kepastian hukum. Untuk itu pemerintah  memprakarsai pembuatan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Materi KHI tersebut pada mulanya disiapkan oleh sebuah tim (yang dibentuk atas kerjasama antara Departemen Agama dan Mahkamah Agung. Dalam pembuatan draftnya tim tersebut telah  bekerja dengan melibatkan berbagai unsur, antara lain pihak Perguruan Tinggi dalam hal ini IAIN, terutama untuk mengkaji  berbagai kitab fiqh, para alim ulama dan pihak-pihak lain yang dipandang mempunyai kemampuan dalam bidang hukum  Islam. Materi KHI juga digali dari yurisprudensi peradilan agama,  dan dari hasil studi banding kepada beberapa Negara.   Selanjutnya draft tersebut dibahas dalam lokakarya dengan para alim ulama, tanggal 2 sampai 5 Februari 1988 dan setelah  mendapat penyempurnaan kemudian untuk pemasyarakatannya dibuat dalam bentuk Instruksi Presiden, yaitu Inpres Nomor 1 Tahun 1991.

Sepengetahuan kami, tidak semua  materi KHI didasarkan kepada al-Qur’an  dan as-Sunnah as-Sahihah,  melainkanada juga hasil ijtihad yang dalam beberapa hal juga memperhatikan urf Indonesia. Oleh karena sebagiannya  merupakan hasil ijtihad, bisa saja berbeda dengan pandangan Majelis Tarjih kalau kami membahas persoalan tersebut. Namun  demikian kami belum melakukan pembahasan terhadap keseluruhan materi KHI, sehingga kami belum bisa menyampaikan  apakah seluruh materi KHI sejalan atau tidak dengan pandangan Majelis Tarjih Muhammadiyah. Hanya saja perlu ibu ketahui,  pabila suatu persoalan diajukan untuk dimintakan penyelesaian kepada Pengadilan Agama dan Pengadilan Agama  memutuskan dengan mendasarkan kepada ketentuan yang ada dalam KHI, maka putusan tersebut mengikat bagi para pihak.

Pertanyaan ibu yang kedua, apakah wasiat dikeluarkan dari keseluruhan harta atau dari pembagian setelah gono gini/ harta bersama. Dapat kami kemukakan bahwa suami ibu berwasiat yang besarnya 1/ 3 itu sudah benar, karena menurut hukum Islam  seseorang berwasiat maksimal 1/3  harta (demikian juga menurut ketentuan Pasal 195 ayat (2) KHI). Oleh karena itu  alau ada  orang yang berwasiat melebihi  sepertiga, maka kelebihannya batal, kecualikalau disetujui oleh semua ahli waris. Bahwa  wasiat  itu maksimal sepertiga adalah sebagaimana disebutkan dalam hadis Nabi saw diriwayatkan oleh imam al-Bukhari dari ‘Amir bin Sa’ad bin Abi Waqqas dari bapaknya  radiyallahu ‘anhu, sebagai berikut:.  Artinya: “bahwasanya Rasulullah saw mengunjungiku pada tahun haji wada’ di waktu saya sedang menderita sakit keras. Saya berkata, sesungguhnya saya sedang menderita sakit keras dan saya mempunyai banyak harta dan tidak ada yang akan mewarisiku kecuali seorang anak perempuan saya, apakah boleh saya bersadaqah (berwasiat) sebanyak duapertiga hartaku? Rasul menjawab, jangan. Saya bertanya lagi, kalau seperduanya?, jangan, jawab Rasulullah,  lalu Rasul berkata, cukup sepertiga saja karena sepertiga itu besar dan banyak.  Sesungguhnya apabila kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan yang cukup adalah lebih baik daripada kamu meninggalkan mereka dalam keadaan miskin yang meminta-minta kepada orang banyak...”

Selanjutnya mengenai harta yang  diwasiatkan, menurut hukum Islam seseorang hanya bisa berwasiat terhadap harta kepunyaannya sendiri, tidak bisa berwasiat  dari harta orang lain. Dalam urf Indonesia yang tidak bertentangan dengan hukum Islam, harta keluarga itu bisa terdiri dari  beberapa bagian. Ada yang berupa harta bawaan, ada juga harta bersama atau harta gono gini. Harta bersama merupakan  kepunyaan suami isteri. Oleh karena itu kalau suami isteri itu bercerai atau meninggal dunia, maka harta bersama dibagi dua  bagian dahulu, sebagian merupakan haknya suami dan sebagian lagi merupakan miliknya isteri. Oleh karena itu terhadap  pertanyaan ibu dapat dijawab bahwa pertama-tama harta gono gini dibagi dua bagian terlebih dahulu, sebagaian merupakan  haknya ibu dan sebagian lagi merupakan haknya almarhum suami ibu. Dengan demikian sepertiga wasiat suami ibu adalah  sepertiga (1/3) dari harta gono gini yang merupakan bagiannya suami ditambah harta bawaan suami (kalau ada) karena  setengah dari harta bersama itulah yang merupakan harta miliknya suami yang nanti setelah dikeluarkan untuk membayar wasiat akan dibagi di antara ahli waris, termasuk ibu sebagai isteri masih berhak mendapat ¼ bagian sebagai ahli waris dari harta gono gini-nya suami ibu, karena pewaris tidak mempunyai anak/keturunan.

Hal ini sebagaimana disebutkan dalam al- Qur’an surat an-Nisa (4) ayat 12: Artinya: “… Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak  mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan  sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu”. [QS. an-Nisa’  (4) ayat 12].l  Bersambung

Sumber: SM 26 SHAFAR - 11 RABIULAWAL 1432 H

Menu Terkait