Jum'at, 29 Maret 2024

Akhlaq

Berhala Kekuasaan
MUHSIN HARIYANTO
Dosen Tetap FAI-UMY dan Dosen Tidak tetap STIKES ‘Aisyiyah Yogyakarta


Di zaman jahiliyah, Hubal — sebuah arca dan terletak di dalam Kakbah — oleh penduduk Makkah dipersepsi sebagai pengawas Kakbah, Mereka memujinya dan memberi sesaji dengan ritual suci yang dipersembahkan baginya, bagi Sang Berhala yang dipertuhankan dengan pelbagai ragam upacara. Dan persembahan seperti inilah yang sejak zaman Nabi Ibrahim as hingga Nabi Muhammad saw berkembang pesat menjadi bagian dari budaya masyarakat jahiliyah.

Nabi Muhammad saw bukan saja tidak sepakat dengan budaya ini. Sebagai ‘urf fâsid (budaya yang rusak dan merusak), pemberhalaan terhadap arca diupayakan untuk dikikis habis. Tidak ada kata “toleran” untuk budaya yang rusak dan merusak sendisendi tauhid yang seperti ini. Karena, kalimat lâ ilâha illallâh yang menjadi intisari ajaran tauhid Islam sama sekali tak memberi ruang bagi budaya seperti ini.

Saat ini, ‘Hubal’ yang pernah ada di dalam Kakbah memang sudah tidak ada lagi, tetapi berhala-berhala lain yang bentuknya lebih beragam muncul bak jamur di musim hujan. ‘Sang Hubal’ yang menjadi bidikan Nabi Muhammad saw telah berubah menjadi ‘berhalaberhala modern’, yang kini terus mengalami perubahan bentuk tanpa sedikit pun mengalami perubahan substansi, berubah menjadi lebih memukau dan secara berkesinambungan mengikuti perkembangan zaman. Menyikapi fenomena pemberhalaan terhadap apa pun, kita bisa belajar pada Nabi Ibrahim as ketika mengawali pengembaraan keshalihannya. Dia dengan gagah berani bersikap kritis terhadap patung-patung ciptaan ayahnya sendiri. Benda-benda yang menurut
pandangannya akan dapat mengikis sikap tauhidnya kepada Allah tidak hanya sekadar dicela, bahkan sebagian dihancurkan untuk menandai sikap antisyiriknya. Tentu saja sikap ini bukan tak berisiko. Tetapi, karena Nabi Ibrahim as harus memilih, maka dia harus memilih untuk mencintai dan dicintai Allah daripada harus bersahabat dengan setan, yang dengannya ‘dia’ harus menerima kemurkaan dari Allah.

Semangat antisyirik Nabi Ibrahim as inilah yang kini seharusnya digerakkan menjadi ‘gerakan moral’, berupa sikap kritis terhadap segala bentuk pemberhalaan terhadap apa pun, yang diprediksi akan bermuara pada penyekutuan Allah. Konteks aktualnya tentu saja bisa beragam. Misalnya, dalam dunia politik adalah simbolisasi “sesembahan” yang berupa pemberhalaan terhadap uang dan kekuasaan. Karena sekarang ini, uang dan kekuasaan tengah dan cenderung akan tetap menjadi sahabat karib untuk menjadi alat yang cukup efektif untuk mendapatkan ‘kesuksesan’ duniawi. Karena, tidak
berlebihan jika dikatakan bahwa dalam dunia politik sekarang berhala kehidupan itu mengerucut ke dalam bentuk ‘uang dan kekuasaan’, dua sejoli yang selalu menjadi sahabat karib.

Fenomena korupsi — misalnya — yang benar-benar telah menghancurkan sendi-sendi kehidupan bangsa, tak pelak lagi merupakan ekspresi ke-segala-an; betapa para pelakunya telah menembus sekat sosial dan keshalihan. Bahkan orang-orang yang kita yakini memahami masalah moralitas dan agama pun tak sedikit yang terjangkiti penyakit ini. Banyak nilai kebaikan dalam kehidupan yang ditabrak oleh kekuatan sikap pemberhalaan terhadap dua berhala modern ini (uang dan kekuasaan).

Kita ambil contoh, kalau bukan karena memberhalakan uang, tentu tak akan muncul orang seperti Gayus Tambunan. Kalau bukan karena kekuatan pemberhalaan, tak akan muncul para wajib pajak dari perusahaan-perusahaan yang lebih memilih untuk menyetorkan kewajibannya kepada Gayus dan kawan-kawan ketimbang keharusan memenuhinya ke kas negara. Kalau bukan karena pertemuan kepentingan berhala-berhala kekuasaan dan uang, tak akan berkembang fenomena pelecehan dalam berbagai modusnya terhadap hukum negara.

Mereka yang memberhalakan jabatan rela mengorbankan apa saja demi terwujudnya impian menggenggam jabatan dambaan. Pemberian sesaji yang lazim dipersembahkan penganut paganisme sering dilakukan pencinta kekuasaan. Bentuk sesaji itu telah dimodifikasi agar sesuai tuntutan zaman. Sesaji di zaman modern ini bukan lagi ‘nasi tumpeng’ dan ‘kepala kerbau’. Tetapi berupa kucuran uang untuk menyuap orang tertentu demi ambisi dapat merangkul berhala jabatan. Tidak perlu diusut dan diketahui asal-usul uang sesaji itu, apakah bersumber dari hasil keringat sendiri, harta warisan atau mungkin uang panas pemberian ‘orang-orang misterius’.

Seperti tradisi para penyembah berhala di zaman jahiliah, pemberian sesaji menjadi sarana untuk memperdekat diri dengan berhala jabatan yang diincar. Sesaji yang telah dikeluarkan itu biasanya dapat ditarik kembali setelah yang bersangkutan menguasai berhala jabatan dambaan. Uang sesaji miliaran rupiah yang telah dikucurkan itu nantinya akan masuk kembali ke rekening pemilik berhala, melalui penyunatan uang negara, penggelapan pajak hingga pemerasan terhadap orang lemah dengan berbagai modus operandinya. Kecintaan berlebihan pada berhala kekuasaan itu terlihat
dari wujud kegigihan dan pengorbanan yang ditunjukkan. Uang miliaran rupiah menjadi hal lumrah dikeluarkan oleh para politisi dan kandidat pejabat tertentu dalam masa pra-pemilihan. Penghamburan uang yang dapat diibaratkan sebagai bentuk lain dari sesaji itu dikucurkan dalam beragam bentuk: bagi-bagi amplop, distribusi sembako, pemberian santunan, hingga pemberian fasilitas apa pun pada pihak yang dianggap bisa memberi keuntungan,

Penulis menengarai, jika calon penguasa lebih menghanyutkan diri pada pemberhalaan uang dan kekuasaan, maka yang terjadi salah satunya adalah berlakunya manajemen politik berbasis ekonomi. Pilkada – misalnya — pada akhirnya bisa bermakna ritual pembelian kekuasaan. Sebuah peragaan transaksi ekonomi dan politik. Layaknya sebuah investasi, Sang Investor bukan saja berharap kembalinya modal yang telah ditanam, namun harus lebih dari modal tersebut.

Berkaca dari uraian di atas, penulis hanya bisa berharap agar mereka yang telah telanjur mengidolakan jabatan secara berlebihan, segera bertaubat. Selain meminta ampun kepada Allah karena telah terlena oleh godaan jabatan, juga berupa kerja keras untuk memenuhi semua janji yang pernah diikrarkan, jangan lagi berupaya untuk mengembalikan uang sesaji yang telah dikeluarkan di masa suksesi dengan cara menggunting uang rakyat, apalagi memeras orang lemah untuk memenuhi pundi-pundi pribadi.l

Menu Terkait