Sabtu, 20 April 2024

Akhlaq

Membangun Tradisi Ta’awun
MUHSIN HARIYANTO
Dosen Tetap FAI-UMY dan Dosen Tidak tetap STIKES ‘Aisyiyah Yogyakarta


Rasulullah saw pernah bersabda: “innal mu.mina lil mu’mini kal bunyâni, yasyuddu ba’dhuhu ba’dhan, wa syabbaka ashâbi’ahu, seorang Mukmin dengan Mukmin lainnya seperti satu bangunan yang tersusun rapi, sebagiannya menguatkan sebagian yang lain. Dan beliau pun —mengisyaratkan dengan— merekatkan jari-jemarinya”. (Al-Bukhari dari Abu Musa al-Asy’ari). Sementara itu, Allah SwT memerintahkan kita untuk berta’âwun (bekerja sama) di dalam kebajikan dan ketakwaan, dan melarang dari berta’awun di dalam perbuatan dosa dan permusuhan. Sebagaimana firman-Nya: “... wa ta’âwanû ‘alal birri wat taqwâ, wa lâ ta’âwanû ‘alal itsmi wal ‘udwân... , dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan (lakukan) tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran..”. (Al-Mâidah [5]: 2)

Hadits dan ayat tersebut memberikan panduan pada diri kita – umat Islam – untuk membangun tradisi “ta’âwun” dalam bingkai prinsip syari’ah. Hanya saja, hingga kini konsep yang ditawarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah masih menjadi wacana akademik yang belum membumi dalam realitas kehidupan umat Islam.

Sebenarnya ruh ta’âwun – mengutip sebuah artikel yang berjudul Nubdzatul ‘Ilmiyyah fit Ta’âwun asy-Syar’iy wat Tahdzîr minal Hizbiyyah, yang diterbitkan dalam bentuk mansyûrât (selebaran) oleh Markaz al-Imâm al-Albani, nomor 3, Rabi’ul Awwal 1422 H., dengan beberapa modifikasi, konsep ta’âwun dalam Islam bisa diterjemahkan menjadi delapan macam:

Pertama, ta’awun di dalam kebajikan dan ketakwaan, yang mencakup kebajikan universal (al-birr) dalam bingkai ketaatan sepenuh hati (at-taqwâ) yang akan membawa akibat kepada kebaikan masyarakat Muslim dan keselamatan dari keburukan serta kesadaran individu akan peran tanggung jawab yang diemban oleh masing-masing pribadi Muslim. Karena ta’awun di dalam kehidupan umat merupakan manifestasi dari kepribadian setiap muslim dan merupakan fondasi yang tak bisa ditawar dalam kerangka pembinaan dan pengembangan peradaban umat.

Kedua, Ta’awun dalam, bentuk wala’ (loyalitas) kepada antarMuslim. Setiap Muslim harus berkesadaran bahwa dirinya adalah bagian dari Muslim yang lain. Siapa pun yang mengabaikan saudara sesama Muslim dan menelantarkannya, maka pada hakikatnya ia adalah seorang yang dapat diragukan ke-Islamannya. Karena loyalitas antarMuslim merupakan konsekuensi keber-Islaman mereka.

Ketiga, Ta’awun yang berorientasi pada penguatan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat dan dan saling-melindungi. Sebagaimana sabda Rasulullah saw yang secara eksplisit telah menyerupakan ta’âwun kaum Muslimin, persatuan dan berpegang teguhnya mereka (pada agama Allah) dengan bangunan yang dibangun dengan batu bata yang tersusun rapi kuat sehingga menambah kekokohannya. Kaum Muslimin akan semakin bertambah kokoh dengan tradisi ta’âwun seperti ini.

Keempat, Ta’awun dalam upaya ittihâd (persatuan). Ta’awun dan persatuan selayaknya ditegakkan di atas kebajikan dan ketakwaan, jika tidak, akan mengantarkan pada kelemahan umat Islam, berkuasanya para musuh Islam, terampasnya Tanah Air, terinjak-injaknya kehormatan umat. Seorang Muslim haruslah memiliki solidaritas terhadap saudaranya, ikut merasakan kesusahannya, ta’âwun di dalam kebajikan dan ketakwaan harus diorientasikan agar umat Islam dapat menjadi seperti satu tubuh yang hidup.

Kelima, ta’âwun dalam bentuk tawâshî (saling berwasiat) di dalam kebenaran dan kesabaran. Saling berwasiat di dalam kebenaran dan kesabaran termasuk manifestasi nyata dari ta’awun di dalam kebajikan dan ketakwaan. Kesempurnaan dan totalitas ta’âwun dalam masalah ini adalah: dengan saling berwasiat di dalam konteks amar ma’ruf nahi munkar.

Keenam, di antara bentuk manifestasi ta’awun di dalam kebajikan dan ketakwaan adalah menghilangkan kesusahan kaum Muslimin, menutup aib mereka, mempermudah urusan mereka, menolong mereka dari orang yang berbuat aniaya, mencerdaskan mereka, mengingatkan orang yang lalai di antara mereka, mengarahkan orang yang tersesat di kalangan mereka, menghibur yang sedang berduka cita, meringankan mereka yang tertimpa musibah, dan menolong mereka dalam segala hal yang baik.

Ketujuh, jangan pernah berta’âwun yang berpotensi menimbulkan perpecahan, karena perpecahan pada dasarnya telah menghilangkan esensi ta’awun (kerjasama). Perpecahan merupakan syi‘ar (semboyan) kaum musyrikin, bukan syi‘ar kaum muwahhidin (orang yang bertauhid). Oleh karena itu berhati-hatilah terhadap budaya tahazzub (berpartai-partai) dan tafarruq (bergolong-golongan), yang berorientasi pada ta’ashshub (fanatisme) kelompok.

Kedelapan, kita telah merasakan dan melihat sendiri apa yang telah dilakukan oleh kelompok Muslim partisan yang bersikap eksklusif. Mereka sering —secara tidak sadar (atau mungkin juga dengan kesadaran penuh)— mengintroduksi rasa permusuhan dan kebencian di antara umat Islam atas nama Islam, dikarenakan mereka berinteraksi dengan asas hizbiyyah (kepartaian). Loyalitas mereka hanyalah untuk hizb (partai) dan tanzhim (organisasi), tidak untuk Islam dalam arti yang sebenarnya. Mereka lebih mendahulukan ukhuwwah hizbiyyah (persaudaraan kepartaian) daripada ukhuwah
imaniyah (persaudaraan keimanan). Menurut mereka, ta’awun disyaratkan haruslah ‘berafiliasi’ dulu dengan partai mereka.

Menutup penjelasan tentang arti pentingnya ta’âwun antarkita (umat Islam), menurut ceritera teman saya yang pernah ke Jepang, “orang Jepang” sangat mengutamakan kerjasama dalam sebuah sistem yang menawarkan budaya ‘saling mendukung’ dalam memacu keberhasilan seseorang atau sebuah tim kerja. Inilah yang —dalam istilah manajemen— disebut dengan Total Quality Management atau prinsip KAIZEN, untuk mencapai yang terbaik, seseorang atau suatu tim harus selalu memperbaiki dan menyempurnakan diri terusmenerus secara kompetitif dalam prinsip kebersamaan.l

Menu Terkait