Sabtu, 20 April 2024

Akhlaq

Menyoal Integritas Mubaligh Kita
MUHSIN HARIYANTO
Dosen Tetap FAI-UMY dan Dosen Tidak tetap STIKES ‘Aisyiyah Yogyakarta


‘Guru Ngaji’, sebutan Mubaligh di kampung kami, adalah simbol moralitas-Muslim. Kata orang, mereka bukanlah sekadar orang pintar, bahkan jamaahnya mengidolakannya sebagai figur teladan Tetapi, kini keberadaan mereka sebagai simbol moralitas-Muslim mulai dipertanyakan, karena perilakunya yang dianggap telah menodainya sebagai ikon keshalihan.

Bagi jamaah, satu tindakan ‘menyimpang’ dari standar keshalihan yang dilakukan oleh ‘Sang Mubaligh’ sudah bisa menjadikan pamornya –di kalangan jamaah pengajian yang diasuhnya– jatuh, bahkan mungkin mereka tiba-tiba ‘terjerembab’ dalam lembah nista dalam ukuran para jamaahnya.

‘Sang Guru Ngaji’ harus pandai dalam menjaga citra dirinya dengan standar moralitas tertentu. Bukan dalam makna membangun perilaku kosmetikal yang lebih bernuansa artifisial. Tetapi, benar-benar jujur dan ikhlas untuk menjadi ‘orang shalih’ di tengah para jamaahnya. Ada proses yang sebegitu rumit dan melelahkan untuk menjadi ‘Sang Idola’, tetapi sebaliknya ada proses yang sebegitu cepat dan mudah untuk menjadi yang terpuruk dalam citra diri sebagai manusia yang ‘tak berharga’. Kadang-kadang para jamaah pengajian tiba-tiba menjadi musuh ‘Sang Guru Ngaji’, setelah sekian lama menjadikan dirinya sebagai ‘Sang Idola’.

Dalam urusan politik praktis, misalnya, para sosiolog yang peduli terhadap nasib ‘Sang Guru Ngaji’ berkali-kali mengingatkan, mengapa para ustadz (guru ngaji) ikut-ikutan terlibat dalam urusan dukung-mendukung bahkan mengeluarkan fatwa politik yang sarat kepentingan? Ketika ‘Sang Guru Ngaji’ terjun dalam dunia politik praktis, kata para sosiolog itu, dia sesungguhnya tengah mempertaruhkan integritasnya.

Menghadapi momentum pilkada di beberapa daerah, misalnya, para ‘guru ngaji’ dihadapkan pada pilihan yang terkadang amat sulit. Di satu pihak, ia harus menjaga integritasnya sebagai simbol moralitas- Muslim dengan netralitasnya terhadap siapa pun yang tengah berkompetisi (kalau tidak sedang ‘berkongkurensi’, karena kecurangannya. Di lain pihak, mereka setiap hari harus berhadapan langsung dengan para jamaahnya yang selalu menunggu dan bertanya mengenai sikapnya terhadap para calon yang tengah bersaing untuk meraih ‘kue kekuasaan’. Mereka – para jamahnya — tidak mempunyai
banyak pilihan. sehingga akhirnya harus menentukan pilihan politiknya. Apalagi, ‘Sang Guru Ngaji’ juga bisa memanfaatkan momentum pilkada itu untuk —misalnya— meraih keuntungan melalui konsesikonsesi tertentu dari ‘cabup-cawabup’ (atau yang setara dengannya) yang bisa dengan terus-terang ‘didukungnya’, bila ia mau menggalang dukungan melalui ketaaatan para jamahnya.

Risiko dari setiap langkahnya dalam pelibatan dirinya di dunia poilitik praktis —seperti apa pun— memang selalu “ada’, sehingga
ia harus bersikap ekstra hati-hati untuk menentukan sikap dalam berpartipasi politik. Ia harus menjadi manusia ‘cerdas’ yang mau tidak mau harus memiliki sikap bijak dalam memilih untuk menjadi apa dan siapa dalam konteks kehidupan berpolitik, termasuk di kawasan di mana dia harus berperan aktif menjadi ‘Sang Idola’ yang akan terus diikuti oleh para jamahnya karena sikap bijaknya.

Sayangnya, mereka ‘Sang Guru Ngaji” sering kali kehilangan akal sehatnya, nuraninya tersembunyi karena tarikan kuat tawaran yang sangat menggiurkan dari para kandidat beserta tim suksesnya, yang tidak jarang menggunakan beragam cara yang kurang, atau bahkan sama sekali tidak ‘elegan’ untuk menarik ‘Sang Idola’ itu untuk menjadi bagian dari partisan salah satu kandidat, sehingga pendidikan politik yang seharusnya didakwahkan oleh mereka (Sang Guru Ngaji), tiba-tiba berubah menjadi menjadi serangkaian upaya penggalangan dukungan. Yang biaya politiknya bisa diduga, pada saat di mana Sang Guru Ngaji itu berbuat sesuatu yang salah karena sikap ‘sembrono’-nya, dia akan –bisa jadi– terpuruk menjadi “bagian dari orang yang dicurigai”, dan bahkan – dengan ke’nekat’annya untuk menjadi pendukung salah satu calon yang tak dimaui oleh para jamaahnya, dirinya akan menjadi seseorang yang ditinggalkan oleh para jamaahnya?

Saat ini, banyak ‘Guru Ngaji’ yang ditinggalkan oleh para jamaahnya, di samping karena persolaan kompetensinya, dalam banyak hal karena integritasnya. Integritas yang berasal dari bahasa Inggris, integrity, yang diartikan sebagai `the state of being honest, up right and sincere’. Atau dalam bahasa Indonesia, diartikan sebagai keterpaduan, kebulatan, keutuhan, jujur, dan dapat dipercaya. Atau dalam makna yang lebih luas, orang yang memiliki integritas adalah: “orang yang bersikap jujur, bisa menjaga komitmen dan berperilaku konsisten.

Bicara integritas, umumnya terkait dengan kepemimpinan. Sebagaimana kepemimpinan ‘Sang Guru Ngaji’ bagi para jamaahnya. Integritas memang mutlak diperlukan dalam kepemimpinan. Integritas diidentifikasi sebagai karakter yang mutlak harus dimiliki oleh seorang pemimpin, termasuk untuk para guru ngaji. Karena itu, seorang ‘Guru Ngaji’ yang telah kehilangan integritas sebagai ‘seorang pemimpin’ bagi para jamaahnya dalam konteks ruang dan waktu (tidak hanya dalam wilayah politik praktis), tiba-tiba bisa saja ditinggalkan oleh para jamaahnya, “dilupakan” seolah-olah (dirinya) tak pernah ada di tengahtengah jamaahnya. Ironis, memang! Tetapi itulah fakta-empiriknya.

Oleh karena itu, berhati-hatilah dalam melangkah. Bahkan untuk ‘Sang Guru Ngaji’: “sebaiknya bisa melangkah dengan ekstra hati-hati”.

Menu Terkait