Praduga Tak Bersalah
MUH ZUHRI
Divisi Fatwa MTT Pwm Jawa Tengah
Salah satu ajaran penting dari hak asasi manusia yang dianut oleh hampir seluruh penduduk bumi ini adalah Praduga Tak Bersalah, terhadap penjahat yang telah ditangkap polisi sekalipun. Praduga bersalah saja tidak boleh, apalagi main hakim sendiri. Kalau ajaran ini dipatuhi, boleh jadi suasana di bumi di mana kita tinggal tidak sepanas dan seribut sekarang. Hiruk pikuk konflik dan pertikaian, apakah antarbangsa, antarumat beragama, antarpendukung partai, selalu didasari kecurigaan, yang dalam istilah lain disebut berprasangka negatif. Tetapi boleh jadi para penjahat, baik itu berpenampilan keren atau bersahaja, semakin manja dan leluasa karena kendati sering berbuat jahat merasa aman-aman saja, sebab tetap harus disangka tak bersalah. Kalau begitu, mana yang benar, berprasangka apa tidak? Itu barang kali pertanyaan selanjutnya.
Hadits Melarang Berprasangka Buruk
Ajaran agama, sebagaimana disebutkan dalam Hadits, berprasangka itu dilarang. Bunyi haditsnya: Hadits dari Abu Hurairah, dari Nabi saw, beliau berkata “Janganlah kalian berprasangka (buruk) karena sesungguhnya prasangka (buruk) itu percaturan yang paling berdusta; janganlah kalian mencaricari kesalahan dan menyelidiki kesalahan, jangan saling membenci, jangan saling membelakangi, dan jangan pula saling membenci, tetapi jadilah hamba Allah yang bersaudara. (Hadits riwayat al-Bukhari, Muslim, al-Turmudzi, Abu Daud, Ahmad, dan Malik).
Hadits ini shahih, diriwayatkan dengan redaksi yang sedikit berbeda antara seorang imam Hadits dengan yang lainnya,ada yang redaksinya agak panjang dan ada pula yang redaksinya singkat. Hadits ini tidak berdiri sendiri, tetapi agaknya penegasan terhadap ajaran Al-Qur’an, “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (Q.s. Al-Hujurat [49]: 11).
Nash Al-Quran dan Hadits di atas yang tersiar lebih dari 14 abad yang lalu itu ada kesamaan pesan dengan ajaran Hak Asasi Manusia produk PBB. Kalau PBB menekankan “Prasangka tak bersalah” maka Al-Qur’an dan
Hadits melarang berprasangka buruk kepada orang lain, melarang mencari-cari kesalahan, dan perbuatan lain yang sifatnya menimbulkan kebencian apalagi permusuhan. Sebaliknya, Islam mengedepankan husnudz dzann (baik sangka). Dengan menggunakan nalar sehat, semua orang mengakui bahwa buruk sangka adalah awal dari konflik dan permusuhan. Tetapi tidak semua orang dengan suka rela menghindarinya.
Agama tidak hanya menganjurkan untuk tidak berbuat sesuatu berupa tidak berprasangka, tetapi lebih jauh lagi, menganjurkan secara aktif berbuat, menutupi aib orang lain, meringankan beban orang lain serta melarang berbuat dlalim kepada orang lain. Sebuah Hadits shahih dapat kita baca,
Abdullah ibn Umar menyampaikan khabar bahwa Rasulullah saw bersabda, “Orang Muslim itu bersaudara dengan Muslim lain, tidak boleh berbuat dlalim kepadanya. Siapa berhajat membantu saudaranya, maka Allah berhajat pula membantu meringankan beban kepadanya. Barangsiapa melonggarkan orang lain atas kerepotan orang lain dalam kepentingan dunia, maka Allah akan membalasnya di Hari Kiamat. Barangsiapa menutupi aib orang Muslim lain, maka Allah akan menutupi baginya pada Hari Kiamat.” (Hadits riwayat Imam al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, Ibn Majah, dan Ahmad). Banyak ajaran indah dari Nabi untuk menciptakan suasana damai dan sejuk, tetapi sedikit orang yang mau melakukannya.
Masyarakat Kita
Sebagai elemen bangsa, kita merasakan betapa penting mewujudkan dan memelihara kebersamaan. Bhineka tunggal ika. Ragam suku, daerah, adat dan kekuatan politik adalah modal yang kuat untuk memajukan bangsa. Dalam keragaman terlihat keindahan, dan dalam keragaman itulah kita dituntut membuktikan bagaimana berdemokrasi. Demokrasi dapat dibuktikan hanya dalam keragaman. Demokrasi mengelola keragaman, masing-masing elemen menyumbangkan keunikannya untuk saling melengkapi kekurangan pihak lain. Keragaman mengandung kekayaan yang dapat dinikmati bersama dengan sistem demokrasi. Bangsa yang tidak beragam merasa iri karena miskin budaya. Ibarat orang makan, keragaman masakan lebih menyenangkan dari pada hanya satu jenis makanan.
Bangsa kita menyadari bahwa dalam keragaman harus diberlakukan demokrasi. Contoh demokrasi yang banyak kita anut adalah demokrasi yang diterapkan bangsa- bangsa modern di Barat, demokrasi yang memberi kebebasan warganya untuk berekspresi. Dalam berpolitik, suatu negara mempunyai partai-partai untuk bersaing meraih posisi memimpin pemerintahan. Kekuatan politik yang meraih suara terbanyak diakui sebagai pemenang dalam kompetisi, karenanya berhak memimpin. Tetapi pada sisi lain, kita perlu melihat bahwa negara-negara Barat itu tidak beragama dalam suku bangsa seperti yang dirasakan di Indonesia. Setiap negara dimiliki/ didominasi oleh satu bangsa. Negara Perancis itu milik bangsa Perancis, negara Belanda milik bangsa Belanda, negara Jerman milik bangsa Jerman, dan seterusnya, masing- masing tampil sebagai bangsa yang wilayahnya tidak begitu luas seperti Indonesia. Di benua yang tidak terlalu besar, bangsa Eropa memiliki jumlah negara yang banyak. Sebaliknya kita, wilayah yang begitu luas dengan suku bangsa yang banyak hanya mempunyai satu negara.
Bangsa Eropa tidak bisa bersatu mendirikan sebuah negara. Masingmasing bangsa mendirikan negaranya sendiri-sendiri. Dengan demikian, beban kita lebih berat dari mereka arena satu negara dimiliki oleh banyak bangsa. Belum lagi dilihat dari latar belakang agama dan tradisi. Inggris dikuasai oleh satu agama, Protestan; begitu juga Belanda. Sementara, Perancis atau Spanyol, dipegang oleh penganut Katholik. Indonesia, kendati mayoritas penduduknya beragama Islam namun penganut agama lain unya kebebasan bukan saja melaksanakan amalan agamanya, tetapi juga kebebasan ikut “mewarnai” dinamika bernegara. Maka bila kita dapat berdemokrasi dalam suasana damai, barangkali akan menjadi percontohan bagi mereka.
Demokrasi yang isinya menjamin hak asasi dalam berekspresi dan mengemukakan pendapat dipahami sebagai kebebasan berbuat apa saja, termasuk mencaci, melecehkan, mengganggu ketenteraman orang lain. Banyak politisi yang dalam kiprahnya mendahulukan kepentingan pribadi atau golongan meskipun dalam ucapan mengatakan sebaliknya. Koalisi kekuatan politik, baik yang pro pemerintah maupun “oposisi” kerjanya mengintai dan mencari kesalahan pihak lawan dengan alasan melakukan kontrol atau membela kebenaran. Saling curiga, mengumpat dan memfitnah dipandang perlu untuk menegakkan demokrasi.
Banyak orang berpendirian bahwa memaksakan kehendak kepada pihak lain termasuk bagian dari demokrasi. Mengapa? Karena demokrasi itu kemenangan peraih suara terbanyak. Akibatnya, demokrasi adalah legitimasi atas kemauan kekuatan besar. Kelompok yang kekuatannya minim selalu akan kalah dalam bersaing, pendapatnya boleh dikesampingkan. Coba kita perhatikan di ujung dunia mana pun sekarang ini demokrasi itu melindungi kekuatan besar, dan mengabsahkan segala aksinya. Dalam pepatah Jawa ada ungkapan, “Asu gedhe menang kerahe,” anjing besar kalau bertengkar selalu menang, sejalan dengan kaedah the fish law.
Implementasi Larangan Berprasangka
Di muka disebutkan bahwa agama melarang manusia berprasangka buruk, terlebih-lebih sampai menyakiti dan menyakitkan orang lain, itu dlalim. Para tokoh masyarakat harusnya menyadari bahwa H A D I T S peran mereka menyejahterakan masyarakat, lahir dan batin, bukan mengejar kesejahteraan atas derita rakyat. Sebaiknya, para tokoh yang kesehariannya tampil di media masa sebagai unsur yang bertengkar secepatnya bertaubat. Kasihan rakyat yang akan meniru. Kepada para wakil rakyat, tunjukkan bahwa ungkapan Gus Dur tempo dulu tidak benar menilai Anda seperti anak TK. Namun demikian, ajaran ini tidak oleh pula dijadikan tameng bagi penjahat agar kejahatannya dibiarkan. Ajaran tersebut dimaksudkan untuk menciptakan suasana persaudaraan, kedamaian dan kesejukan, bukan melindungi penjahat. Larangan berprasangka buruk itu juga punya maksud agar jangan ada pihak yang berbuat sesuatu sehingga memancing orang lain berprasangka buruk. Agama memperlakukan penjahat secara wajar. Penjahat tetap diancam dan dijatuhi hukuman sesuai kejahatannya dengan terlebih dahulu pembuktian atas kejahatannya.
Interaksi sosial yang diliputi prasangka buruk atau curiga kepada pihak lain hanya akan melahirkan ketegangan, kehidupan sosial ang tidak sehat. Kecurigaan itu senjata yang boleh digunakan dalam keadaan mendesak saja. Dalam Ilmu Hadits, untuk menyelidiki Hadits itu shahih apa tidak, diperlukan informasi yang mendalam apakah seorang periwayat Hadits terpuji atau cacat. Dalam menyacat, apabila dengan satu point cacat seorang periwayat sudah ketahuan “belangnya”, maka tidak dibolehkan menambah informasi cacat orang tersebut. Dengan cara ini, meskipun orang punya segudang aib hanya diungkap aib secukupnya, aib yang lain tidak tersebar luas.l
SUARA MUHAMMADIYAH 05 / 96 | 1 - 15 MARET 2011