POLITIK UANG ITU RISYWAH! (1)
WAWAN GUNAWAN ABDUL WAHID
Alumni Pondok Pesantren Darul Arqam Muhammadiyah Garut, Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Alumni Pondok Pesantren Darul Arqam Muhammadiyah Garut, Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Ada kosakata baru dalam belantara praktik perpolitikan Indonesia yang jika dirujuk secara verbatim dalam nomenklatur kamus politik mana pun tidak akan ditemukan. Kosakata dimaksud adalah politik uang. Politik uang biasa dimaknai sebagai upaya untuk memengaruhi pemilih dengan cara memberikan sesuatu untuk tidak memelih seseorang atau partai tertentu dalam rangka memilih orang atau partai yang memberikan sesuatu itu. Dalam praktik sesuatu yang diberikan itu berupa uang, sembako,pakaian atau konsesi-konsesi tertentu yang bernilai uang. Semakin besar nilai yang diberikan semakin besar peluang orang atau partai yang memberi untuk mendulang suara yang membawanya ke posisi “kursi panas” di legislatif, eksekutif bahkan yudikatif sekalipun. Ditengarai bahwa praktik sedemikian saat ini merambah organisasi massa baik Islam maupun non Islam. Hal itu, antara lain, terbaca dari terpilihnya orang-orang tertentu yang justru tidak dikehendaki umat. Bagaimana respons Islam terhadap praktik politik uang itu? Tidak akan ditemukan satu kata seharfiyah kata politik uang dalam Al- Qur’an dan Al-Hadits. Hemat penulis, kata yang dapat dipadankan dengan praktik politik uang itu adalah kata arrisywah.Karena itu dalam uraian adits kali ini penulis ajak para pembelajar untuk membaca kembali dua Hadits sekaligus berikut ini:
Dari Tsauban ra dia berkata: ”Rasulullah saw melaknat orang yang melakukan suap dan orang yang menerima suap serta orang yang menjadi perantara antara penyuap dan penerima suap.” (Hadits Riwayat Ahmad).
Dengan terang Hadits diatas menginformasikan bahwa praktik suap adalah perbuatan yang melanggar agama. Islam menempatkan penyuapan sebagai perbuatan yang dilaknat. Dalam satu tarikan nafas Hadits di atas menegaskan bahwa yang terlaknat itu yang meyuap, penerima suap, juga orang yang menjadi perantara terjadinya penyuapan.
Apa itu arrisywah?
Para ahli hukum Islam menegaskan bahwa salah satu ekspresi korupsi itu adalah perbuatan pidana yang disebut arrisywah. Kata arrisywah berasal dari rasya yarsyu yang dalam bahasa Arab memiliki beberapa makna yang saling berdekatan sebagaimana dikompilasi oleh Abu al-Fadlal Jamaluddin Muhammad bin Mukrim atau lebih dikenal dengan nama Ibnu Manzhur al-Mishri, dalam kamus monumentalnya, Lisan al-Arab (IV:322- 323). Satu pendapat mengatakan bahwa kata arrisywah berasal dari kata ar-risyaau yang bermakna al-hablu, tali. Dan arrasyaa- u dikatakan sebagai alladzii yutawassalu bihi ilal-maai sesuatu (tali) yang dapat mengantarkan (ember) pada air. Ar-risywah juga dimaknai sebagai alju’lu artinnya hadiah. Ada juga yang memaknai ar-risywah sabagai al-wushlah ila haajah bilmushaana’ah, cara sampai pada satu keperluan dengan berbagai rekayasa. Dari seluruh pemaknaan yang disajikan diperoleh pengertian bahwa arrisywah adalah sesuatu berupa hadiah, komisi, pemberian, konsesi dan lain sebagainya yang diberikan oleh penyuap (ar-raasyii) yang mempertalikan antara dirinya dengan orang yang menerima suap (al-murtasyii) dengan bantuan perantara (ar-raaisy) untuk merekayasa sesuatu dalam rangka memperoleh sesuatu yang disepakati antarmereka yang terlibat. Sesuatu yang diperoleh oleh penyuap bisa beberupa pekerjaan, barang, kedudukan atau jabatan, bahkan putusan pengadilan (Surat [2] yat 188) dan lain sebagainya.
Memosisikan politik uang sebagai risywah
Politik uang yang dipraktikkan oleh para pelakunya merupakan tindakan yang melanggar norma negara dan agama sekaligus. Pelanggaran ini dalam kenyataannya seringkali ijumbuhkan dengan sekedar hubungan timbal balik yang mutualistik berupa pemberian yang diberikan oleh satu pihak dan diterima oleh pihak lain yang kebetulan memerlukan. Karena “kebaikan” ini diberikan secara musiman sering juga disebut sebagai kebaikan lima tahunan. Di lain pihak masyarakat yang menerima taburan politik uang itu pun menyatakan, bahwa pemberian sembako, uang dan lain sebagainya kepada masyarakat -apalagi masyarakat yang kelas ekonomi lemahsama sekali tidak merugikan mereka. “Enak lah wong dapat sembako dan uang gratis tanpa susah payah apalagi kalau saya dapat dari eberapa orang dan beberapa partai...” demikian, antara lain yang terucap dari lisan anggota masyarakat yang terbiasa menerima kucuran sembako, uang, dari para caleg atau partai yang ikut pemilu. Tentu saja pandangan tersebut di atas adalah penilaian yang tidak benar karena senyatanya politik uang itu dikategorikan sebagai tindakan pidana sebagaimana disebutkan alam Undang- Undang No. 3 tahun 1999 Pasal 73 ayat 3 yang berbunyi “Barangsiapa pada saat diselenggarakannya pemilihan umum menurut undang-undang ini dengan pemberian atau janji menyuap seseorang, baik supaya orang itu tidak menjalankan haknya untuk memilih maupun supaya ia menjalankan haknya dengan cara tertentu, dipidana dengan pidana hukuman penjara paling lama tiga tahun. Pidana itu dikenakan juga kepada pemilih yang menerima suap berupa pemberian atau janji terbuat sesuatu”.
Politik uang semacam itu pun tentu saja melanggar ajaran agama, karena pada hakekatnya memberikan sesuatu untuk memperoleh sesuatu secara tidak benar ini pantas dikelompokkan perbuatan arrisywah. Karena unsur-unsur yang terdapat dalam ar-risywah ditemukan dalam tindakan politik uang. Unsur-unsur dimaksud mencakup adanya orang yang memberikan sesuatu (ar-raasyii), adanya orang yang menerima sesuatu (almurtasyii), ada target yang diinginkan dari pemberian itu. Dengan demikian sebagaimana halnya ar-risywah praktik politik uang pun dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang dilaknat Allah dan Rasul-Nya.
Bahaya politik uang
Islam melaknat praktik politik uang yang sesungguhnya merupakan salah satu tindakan penyuapan yang meluluhlantakkan tatanilai dalam masyarakat yangsejatinya dipelihara dan dijunjung tinggi serta diejawantahkan. Karena itu politik uang sama dengan ”virus” yang menggerogoti dan melemahkan moral dan etos kerja asyarakat.”Virus” politik uang yang membahayakan itu setidaknya terlihat dari tiga hal efek negatif yang ditimbulkannya. Pertama, memanjakan dan membuat masyarakat malas. Kedua, menjadi pemicu terjadinya lingkaran setan korupsi. Ketiga,munculnya pemimpin tidak sejati.
Pertama, politik uang memanjakan sekaligus berpotensi membuat masyarakat malas ekerja karena sembako, uang dan pemberian yang digelontorkan oleh seorang kontestan pemilu, pilkada bahkan pemilihan presiden, membuat masyarakat terbiasa menerima sesuatu tanpa bekerja keras. Jika berlangsung dalam waktu lama dapat membuat sebagian anggota masyarakat terlatih dan terbiasakan dengan menerima pemberian-pemberian secara gratis. Jika kondisi ini menjadi pemandangan umum di tengah masyarakat maka dapat membahayakan sendi-sendi kemandirian asyarakat, sekaligus akan lebih memiskinkan masyarakat yang sudah terjatuh dalam kemiskinan.
Kedua, politik uang menjadi pemicu pertama terjadinya lingkaran setan korupsi karena ketika seorang kontestan menginvestasikan jumlah tertentu untuk meraih emenangannya dia sudah berhitung untuk mendapatkan kembali uang yang diinvestasikannya itu selama dia bekerja sebagai anggota legislatif, bupati, gubernur dan lain sebagainya. Dari mana pengembalian uang itu diperoleh? Dari berbagai kasus orupsi yang dilakukan Kepala Daerah Tingkat Kabupaten dan Daerah diketahui bahwa H A D I T S investasi yang mereka bayarkan untuk menduduki jabatan penting itu dibayar dari“penyunatan” berbagai anggaran milik kabupaten dan provinsinya tau melalui penggelembungan anggaran. Ada juga bupati dan gubernur yang dibantu pemunculannya oleh para pengusaha hitam yang tentu saja tidak gratis. Para pengusaha ini telah menyiapkan daftar permintaan konsesi berupa proyek yang diberikan kepada mereka yang biasa berakhir dengan hasil pembangunan proyek yang berharga mahal tapi berkualitas “rendah”. aik rendah dalam arti fisiknya maupun rendah dalam pengertian merendahkan nilai-nilai agama dan norma masyarakat.
Ketiga, politik uang melahirkan pemimpin tidak sejati, karena pemimpin yang muncul dari hasil politik uang adalah tipe pemimpin yang sejak awal tidak memiliki kesejatian untuk memimpin. Ia memerlukan pencitraan yang berbiayamahal. encitraan ini diperlukan untuk memake up habis dirinya dari seorang yang semula memang biasa saja menjadi seorang berbeda sehingga tampak layak untuk dipilih sebagai pemimpin. Dari sisietika fiqih siyasah politik uang jelas memperlihatkan praktik “pencurian hak”. Karena politik uang yang dilakukan oleh seseorang mengakibatkan berpindahnya hak memimpin yang semestinya pantas untuk diperoleh oleh seseorang dan beralih kepada orang yang bukan berhak menerimanya.l BERSAMBUNG
SUARA MUHAMMADIYAH 06 / 96 | 16 - 31 MARET 2011