POLITIK UANG ITU RISYWAH! (2)
WAWAN GUNAWAN ABDUL WAHID
Alumni Pondok Pesantren Darul Arqam Muhammadiyah Garut, Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Praktek politik uang dalam ormas Islam Ditengarai bahwa politik uang telah juga merambah ke berbagai ormas Islam. Hal itu diakui oleh mantan pimpinan salah satu ormas dalam salah satu kesempatan acara Persyarikatan di Universitas Muhammadiyah Malang seraya berharap bahwa Muhammdiyah tidak mengalami apa yang terjadi pada ormas yang diikutinya (2010). Jika kalkulasinya uang yang diobral, apa yang diharapkan dari ormas Islam sehingga pemilihan ketuanya menggunakan politik uang? Dan darimana sang ketua ormas memiliki uang demikian banyak. Ditengarai politik uang yang terjadi dalam ormas Islam dimaksudkan untuk mencegat salah satukandidat pemimpin yang bersikap kritis terhadap pemerintah yang berpotensi membawa kekuatan ormasnya menjadi oposisi bagi kekuasan. Selain itu dari sang ketua yang dibantu oleh penguasa atau pengusaha ini diharapkan untuk memengaruhi umat di kalangan ormasnya sehingga menjadi lumbung suara yang memilih partai tertentu yang menyokong kekuasaan. Jika itu terjadi maka sang pemimpin ormas pada hakikatnya telah menjual harga dirinya dan mencederai ormasnya sebagai alat transaksi dengan kekuasaan yang sementara itu. Pada saat yang sama tanpa disadarinya sang pemimin ormas ini telah menistakan umat pengikut ormas sebagai individu-individu yang disamakan dengan kambing yang ditotok hidungnya yang dapat diatur serta dibawa kesana kemari sesuai dengan keinginannya.
Para pembelajar yang bijak, ada juga praktik politik uang yang dijalankan dalam satu proses pemilihan pimpinan yang sama sekali tidak mengeluarkan uang dan sembako tapi ujung dari praktek ini adalah kedudukan dan prestise sosial yang tak jarang menghasilkan uang. Perhatikanlah dengan seksama oleh para pembelajar, bagaimana proses pemilihan pimpinan yang sarat dengan konsesi yang disepakati antarcalon yang dipilih dengan yang memilihnya. Salah satu indikator termudah untuk memastikankasus ini benar-benar terjadi adalah terpilihnya salah satu dua pemimpin yangkurang mumpuni tetapi suara pemilihnya mengalahkan kandidat yang lebih kredibel. Dan hanya berselang beberapa waktu setelah terpilihnya pimpinan itu “Ketua Rombongan” yang memberikan pengarahan kepada para pemilih itu mendapatkan kedudukan yang sesungguhnya lebih pantas dipegang oleh “saudaranya” baik karena faktor kelayakan (profesional) maupun karena faktor urut kacang (proporisonal). Terpilihnya pemimpin “transaksional” sepertiini tentu saja membahayakan roda organisasi dan ummat secara keseluruhan karenaberpotensi pada terjadinya transaksitransaksi lainnya yang dijadikan “satu paket” dalam konsesi. Salah satu efek negatif yang dirasakan oleh organisasi adalahnya macetnya regenerasi yang sudah didesain demikian lama yang terganggu dengan munculnya figur dadakan yang juga tak jarang menciptakan kekisruhan dan ketidaknyamanan berbagai pihak i dalamnya. Di sisi lain, ummat secara pelan namun pasti disuguhi tontonan perjalanan organisasi yang tidak layak dijadikan uswah.
Bahaya lain pun dapat mengikuti terpilihnya pemimpin “transaksional” yang dipilih dengan politik uang model ini. Sering kali pimpinan yang terpilih menciptakan lingkaran khusus bersama “Pimpinan Rombongan” yang ditempatkannya bersama dengan kroni yang dipandang dapat dipercaya dan mendukungnya. Mereka pun dengan seirama akan saling mendukung satu sama lain untuk berbagai program dan projek dalam organisasi dan dengan atas nama organisasi mereka ciptakan berbagai kreasi program yang sesungguhnya “keluardari khithah”. Yang dikhawatirkan adalah jika “projek” mereka ini diikuti orangorang yang terbius dengan retorika yang disuguhkan maka patut ditengarai bila mereka berumur panjang dan tetap berada dalam lingkaran suatu organisasi mereka pada akhirnya akan membawa organisasi itu sesuai dengan cita-rasa mereka. Ciri mereka sama dengan para pemimpin yang lupa diri dan telinganya terlalu sensitif untuk menerima kritik, sikapnya tidak rendah hati untuk mendengar saran dan masukan saudara-saudaranya dalam organisasi. Ketika dengan terang mereka melakukan kesalahan mereka sulit untuk mengakuinya bahkan mencari hilah dan argumentasi sebagai pembenar perilakunya.
Melawan politik uang dengan kesejatian pemimpin
Ajaran agama menegaskan bahwa kepemimpinan itu diserahkan kepada orang terbaik sehingga ia dapat memimpin dan membawa ummat yang dipimpinya ke gerbang kemenangan dan kemajuan. Demikian dinyatakan oleh Abu al-Husain Ali bin Muhammad bin Habib al-Bashri yang lebih dikenal dengan al-Mawardi dalam karya magnum opusnya, al-Ahkam as-sulthaaniyyah wa al-Wilaayaat addiiniyyah (1985:5-7). Pemimpin yang baik ini tentu saja seorang pemimpin sejati yang tidak menghajatkan pencitraaan karena sudah menabungnya sejak lama dalam berbagai karya nyata yang dilihat langsung oleh masayarakatnya. Ia pun tidak akan menggunakan politik uang karena sejak awal masyarakat sudah mengenalnya sebagai seorang pemimpin yang harus dipilih oleh mereka. Boleh jadi masyarakatlah yang dengan ikhlas beramai-ramai mengumpulkan dukungan itu guna membantu untuk melancarkan keterpilihannya sebagai seorang pemimpin. itu terjadi disini sebagaimana terlihat dari segelintir pemimpin yang sejak lama meniti karir sebagai seorang pegawai kecamatan, menjadi Camat,Bupati dan menjadi Gubernur bahkan kemudian ada yang ditunjuk menjadi Mentri. Seluruh pemilihan atas dirinya sama sekali tidak menggunakan politik uang.
Pembiaran terhadap politik uang sama dengan membiarkan ahirnya seorang pemimpin tidak sejati yang menjadi awal musabab terjadinya kebangkrutan kepemiipinan yang berefek pada “kegaduhan” umat dan kebangkrutan masyarakat bahkan bangsa. Hal sedemikian dilarang agama sebagaimana ditegaskan oleh hadis Nabi berikut ini:
Dari Abu Hurairah dia berkata:”ketika Nabi saw berada pada suatu majlis sedang berbicara kepada orang banyak Nabi didatangi seorang Arab Badui lalu ia bertanya kapan kehancuran itu terjad? Rasulullah saw tetap berbicara kepada orang banyak. Sebagian orang berkomentar bahwa Nabi mendengar pertanyan orang tadi dan tidak hendak menjawabnya, sebagian berkata Nabi tidak mendengar pertanyaannya. Ketika Nabi menyelesaikan nasihatnya Nabipun bertanya”mana yang bertanya tentang kehancuran tadi?”. Akulah wahai Rasulullah! kemudian Nabi bersabda:” Ketika amanat tu disia-siakan maka nantikanlah kehancuran itu. Lalu ia berkata lagi. Bagaimana amanat itu disiaaiakan?Ketika suatu perkara iserahkan kepada orang bukan ahlinya tunggulah kehancuran” HR al-Bukhari.
Akhirul kalam, dari awal hingga akhir tulisan ini kiranya para pembelajar dapatmenarik benang merah pembelajaran bahwa politik uang adalah perbuatan arrisywah yang membahayakan ummat, bangsa dan negara yang karena itu layak diganjar sebagai tindakan kejahatan yang melanggar aturan negara dan agama sekaligus. Dalam bahasa negara para pelakunya yang terdiri dari pemberi, penerima dan perantara dapat dikenai hukuman. Sedangkan dalam bahasa agama, para pelakunya dikenai laknat Allah dan RasulNya.
Wallahu A’lam bish-Shawab.l
SUARA MUHAMMADIYAH 07 / 96 | 1 - 15 APRIL 201