Rabu, 24 April 2024

Tanya Jawab Al-Islam

Qadla (Membayar) Puasa Ramadlan

Pertanyaan:
Assalamu’alaikum wr. wb
Kepada Pak Ustadz/Bu Ustadz yang terhormat, langsung saja pada pertanyaan. Ada teman yang karena sakit membatalkan puasanya ketika  Ramadlan. Masalahnya, teman saya itu lalai sehingga sampai lewat Ramadlan berikutnya masih belum terbayar juga. Bagaimana mengatasi hal ini? Bisakah diqadla meskipun sudah lewat Ramadlan? Haruskah juga membayar fidyah selain qadla? Bagaimana jika lewatnya bukan  hanya satu Ramadlan tapi dua Ramadlan dan masih belum bayar? Mohon pencerahannya, terimakasih. Wassalamu’alaikum wr. wb

Daru Hagni, alamat:
daru_hagni@yahoo.com.sg
(disidangkan pada hari Jum’at, 25 Sya’ban
1431 H / 6 Agustus 2010)
Jawaban:
Terima kasih atas pertanyaan saudara.
Pertanyaan yang sama pernah dibahas dalam Tanya Jawab Agama Jilid 1 halaman 106, namun demikian perlu kami perjelas kembali  sebagai berikut.

Untuk menjawab pertanyaan saudara, ada baiknya kita pelajari kembali surat Al- Baqarah [2]: 184;

Artinya: “(yaitu) dalam  beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka) maka (wajiblah baginya berpuasa)  sebanyak hari yang ditingggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang  lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (Al-Baqarah [2]:184)

Dari ayat tersebut dapat diambil pelajaran bahwa ada beberapa golongan yang mendapat rukhsah (keringanan) untuk tidak melaksanakan  puasa Ramadlan, tetapi dibebankan kepada mereka untuk mengganti puasa yang mereka tinggalkan. Adapun golongan tersebut adalah  sebagai berikut:

Pertama, orang yang sakit dan orang yang dalam perjalanan boleh tidak berpuasa pada bulan Ramadlan tetapi orang tersebut wajib mengganti (qadla) pada hari lain. Adapun yang dimaksud hari yang lain adalah hari di luar bulan Ramadlan. Golongan ini  sama dengan perempuan yang sedang haid dan tidak berpuasa Ramadlan, maka wajib mengganti puasa (qadla) di luar bulan Ramadlan  sebagaimana disebutkan dalam Hadits yang diriwayatkan dari Aisyah ra: Artinya: “Diriwayatkan dari Aisyah ra, bahwa ia berkata: Kami kadang- kadang mengalami itu (haid), maka kami diperintahkan untuk mengganti puasa dan tidak diperintahkan untuk mengganti shalat.”(Muslim)

Kedua, orang yang merasa berat untuk berpuasa maka ia wajib mengganti dengan membayar fidyah, tidak perlu menggantidengan puasa  (qadla). Adapun yang termasuk dalam golongan ini adalah orang yang sudah tua seperti Hadits dari Ibnu Abbas: Artinya: “Diriwayatkan dari  Ibnu Abbas, bahwa ia berkata: Telah diringankan bagi orang yang sudah tua untuk berbuka puasa (di bulan Ramadlan) dan memberi makan  (fidyah) kepada orang miskin setiap hari (sesuai dengan hari yang ia tidak puasa) dan tidak wajib mengganti dengan puasa (qadla).”  (al-Hakim, Hadits ini shahih menurut syarat al-Bukhari)

Juga termasuk di dalamnya adalah perempuan yang hamil dan perempuan yang sedang dalam masa menyusui, sebagaimana perkataan Ibnu Abbas kepada seorang ibu yang hamil: Artinya: “Engkau termasuk orang yang  berat berpuasa, maka engkau wajib membayar fidyah dan tidak usah mengganti puasa (qadla).” (al-Bazar dan dishahihkan ad-Daruquthni) Artinya: “Diriwayatkan dari Anas binMalik, bahwa ia berkata: Rasulullah saw telah bersabda: Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah  membebaskan puasa dan separuh shalat bagi orang yang bepergian serta membebaskan puasa dari perempuan yang hamil dan menyusui.”  (an-Nasa’i)

Adapun kaitan dengan pertanyaan saudara bahwa penyebab batalnya puasa adalah karena sakit, maka caranya adalah mengganti dengan puasa (qadla) di harilain di luar bulan Ramadlan, tidak perlu membayar fidyah. Hal ini karena fidyah hanya diperuntukkan  bagi orang tertentu yang dalam katagori “yutiqunahu” atau orang yang berat untuk berpuasa.

Sedangkan waktu untuk  membayar puasa adalah pada hari-hari lain di luar bulan Ramadlan, dan berdasarkan keumuman ayat tersebut tidak ada batas akhir waktu  kapan harus mengganti puasa (qadla). Namun demikian baik sekali jika mengganti puasa dilaksanakan sebelum Ramadlan berikutnya. Tetapi  jika tidak bisa melakukannya karena ada hal yang membuat terhalang, maka tetap harus diganti setelah Ramadlan berikutnya. Selain itu, orang yang telah lalai tersebut agar beristigfar, memohon ampun dan bertaubat untuk tidak mengulangi kelalaiannya dan tetap wajib  membayar hutang puasanya setelah Ramadlan berikutnya.

Wallahu a‘lam bish-shawab. *ay)l 

Hukum Memakai Jilbab Bagi Muslimah

Pertanyaan:
Kita sudah maklum bahwa banyak perempuan Muslim yang belum memakai jilbab. Bahkan ada anggota Aisyiyah dan guru-guru perempuan  sekolah Muhammadiyah yang berjilbab hanya pada waktu berkegiatan di organisasi dan di sekolah. Sedangkan, waktu di rumah dan tidak  berkegiatan di sekolah mereka melepas jilbabnya. Mungkin mereka belum tahu hukumnya. Tanya: Apakah hukumnya memakai jilbab bagi  perempuan Muslim itu berbeda dengan hukumnya shalat, puasa dst?

Bambang Soemedhi, NBM. 565.255, Denpasar Bali (disidangkan pada  hari Jum’at, 4 Muharram1432 H / 10 Desember 2010)

Jawaban: Saudara yang terhormat, berikut ini jawaban atas pertanyaan saudara:

Seorang Muslimah itu apabila telah baligh (tandanya adalah keluar darah haid) wajib menutup auratnya dari penglihatan orang yang bukan  mahramnya. Dan auratnya itu adalah seluruh tubuhnya selain wajah dan telapak tangan. Adapun ketika berada di dalam rumah bersama  mahramnya, seperti ayah, kakak dan adik laki-lakinya, maka dia boleh membuka kerudungnya dan memakai pakaian rumah yang sopan. Dasar  semua itu adalah firman Allah:

Artinya: “Katakanlah kepada wanita yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya dan     menjaga kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah  mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya,dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra- putra suami mereka, atau saudarasaudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara lelaki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau   pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan  janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung’”. (An-Nur [24]: 31)

Di dalam ayat ini Allah memerintahkan nabi-Nya untuk menyuruh   kaum Mukminat menahan pandangan dan menjaga kemaluan mereka, serta melarang mereka menampakkan perhiasan kecuali yang biasa nampak. Mereka juga diperintahkan untuk menutupkan kain kerudung sampai ke dada sehingga menutupi telinga dan leher, dan tidak  menampakkan perhiasan kecuali kepada mahram-mahram mereka. Ini semua menunjukkan bahwa kaum Mukminat itu wajib memelihara  aurat mereka dari penglihatan orang-orang asing.

Dan firmanNya: Artinya: “Hai nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu  dan istri-istri orang Mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Ahzab  [33]: 59)

Di dalam ayat ini Allah memerintahkan nabi-Nya untuk menyuruh anak-anak perempuan dan istri-istri beliau sendiri serta kaum  Mukminat pada umumnya untuk memakai jilbab. Jilbab ialah sejenis baju kurung lapang yang menutup kepala, muka dan dada. Menurut  al-Qurtubi, jilbab adalah pakaian yang menutup seluruh badan. Dengan kata lain, ayat ini menyuruh kaum Mukminat yang telah baligh untuk  menutup aurat mereka supaya mudah dikenali sehingga tidak mendapat gangguan.

Dan Hadits Nabi saw berikut: Artinya: “Diriwayatkan  dari Aisyah ra. bahwa Asmak binti Abu Bakar mendatang Rasulullah dengan memakai baju yang tipis sehingga Rasulullah saw.  berpaling darinya dan bersabda: “Hai Asmak, sesungguhnya perempuan itu jika telah mencapai usia haid maka tidak boleh tampak  darinya kecuali ini dan ini”. Beliau menunjuk wajah dan kedua telapak tangannya” (Abu Dawud dan beliau berkata: Ini adalah Hadits mursal   Khalid bin Duraik, dia tidak pernah bertemu dengan Aisyah ra.)

Hadits ini menguatkan isi kandungan kedua ayat di atas, yaitu kewajiban  seorangwanita Muslimah yang telah baligh untuk menutup auratnya, dan auratnya itu — menurut Hadits ini— adalah seluruh badannya kecuali wajah dan telapak tangannya.

Namun realitanya seperti apa yang saudara katakan. Masih banyak wanita Muslimah yang tidak  menaati ajaran Islam yang mulia dan memuliakan wanita ini. Dalam memahami dan melaksanakan perintah Allah yang wajib hukumnya ini   kaum Muslimat berbeda-beda peringkatnya. Ada yang memahami kewajiban berjilbab lalu melaksanakannya dengan baik sebagaimana diperintahkan. Ada pula, yang memahaminya tapi melaksanakannya setengah- setengah atau pilih-pilih tempat seperti yang anda   ungkapkan. Dan ada pula yang memahaminya tapi malas atau enggan melaksanakannya karena beberapa alasan seperti merasa malu atau  tertekan atau susah berjilbab karena tidak biasa sejak kecil dan seterusnya. Padahal kewajiban menutup aurat ini sama dengan kewajibankewajiban lainnya dalam ajaran Islam seperti shalat, puasa dan haji.

Hukum wajib itu artinya harus atau mesti dilaksanakan dan  tidak boleh ditinggalkan, dan bagi yang melaksanakannya akan di beri pujian dan pahala oleh Allah, sementara orang yang  meninggalkannya akan mendapat celaan dan dosa. Namun perlu dijelaskan pula bahwa dalam ajaran Islam, halhal yang diwajibkan itu  meskipun samasama berdosa jika ditinggalkan, tapi dosadosa itu juga berperingkat-peringkat. Contohnya, Muslimah yang tidak mau berjilbab  karena malas atau enggan dosanya tidak sama dengan dosa Muslimah yang tidak mau shalat lima waktu karena malas atau enggan    misalnya. Ini karena shalat itu rukun Islam sementara berjilbab itu bukan. Contoh lain, Muslimah yang menampakkan sebagian kecil auratnya   tentu dosanya berbeda dengan Muslimah yang menampakkan sebagian besar auratnya. Ini karena menampakkan sebagian besar    aurat lebih berat dibanding menampakkan sebagian kecilnya. Demikian seterusnya.

Yang jelas, melihat realita yang ada di alam masyarakat  kita ternyata berbeda dengan perintah Allah dan Rasul-Nya tersebut, maka sudah menjadi kewajiban kita semua untuk beramar-makruf dan   nahimunkar. Hal ini tentu seharusnya dimulai dari diri kita sendiri dan keluarga kita masing- masing. Hendaknya kita mendidikkan perintah  Allah dan Rasul-Nya dalam masalah menutup aurat ini kepada anak istri dan perempuan-perempuan yang menjadi tanggungan kita.  Kemudian, kaum wanita yang satu dakwah dan pergerakan dengan kita. Lalu barulah masyarakat luas yang ada di sekeliling kita. Semoga  dengan demikian ajaran menutup aurat yang mulia dan memuliakan kaum wanita ini dilaksanakan oleh kaum Muslimat dengan penuh  kerelaan dan kesadaran yang tinggi. Amin.

Wallahu a’lam. *mi)l
 

Menu Terkait